[SEG Event] Redemption

poster-redemption.jpg

 

Tittle                : Redemption

Starring           : Oh Sehun (EXO), Cha Seyoung (OC), Noh Jinhee (OC), Ken (VIXX), etc.

Genre              : AU, Fluff, Drama, Romance.

Rating                         : PG-15

Length             : Oneshot

Poster by         : afina_23 @ Poster Channel [posterfanfictiondesign.wordpress.com]

 

-Happy Reading-

 

“SAMPAI KAPAN KAU AKAN BERDIAM DIRI SEPERTI INI HUH?!” bentak Presdir Choi pada Seyoung yang sudah membeku di hadapannya.

“Presdir…”

“Aku tahu Seyoung-ah, kau memang terkenal akan karyamu yang selalu akurat, tapi aku tak mau kau bersantai setelah berhasil mencapai puncak karirmu. Kenapa akhir-akhir ini karyamu rasanya hambar dan kurang menarik? Aku ingin semua anggota perusahaanku bisa menghasilkan informasi yang menarik dan kritis, bukan seperti ini, Seyoung-ah.” Keluh Presdir Choi seraya melempar sebuah surat kabar.

Surat kabar itu berjudul “Mewahnya Kehidupan Para Menteri Masa Kini”. Mungkin bila dilihat dari judulnya, surat kabar itu bagus dan terbesit dalam benak tentang praktek korupsi para oknum pejabat negara. Tidak, jika kalian memikirkan itu, kalian salah besar, surat kabar itu berisi tentang kehidupan glamor para petinggi negara dan lebih terkesan mempromosikan produk-produk berkelas para keluarga menteri. Wajar saja bila Presdir Choi mengatakan kalau surat kabar karya Seyoung terasa ‘hambar’.

“Cha Seyoung, apa kau punya impian? Kalau punya, katakan.” tanya Presdir Choi menahan emosi.

“Aku hanya ingin menjadi seorang jurnalis dan hidup bahagia dengan pasanganku kelak.” Jawab Seyoung sembari terus menunduk.

“Kalau begitu lakukanlah. Tinggalkan perusahaan ini dan carilah perusahaan yang bisa menghargai dan menerima karyamu!” kalimat Presdir Choi  cukup mewakili perasaan Seyoung, ‘menghargai dan menerima karya’.

“Berikan aku satu kesempatan, Presdir. Kumohon.” Seyoung berlutut di hadapan Presdir Choi

Presdir Choi hanya mendengus pasrah.

“Nona Cha, bangunlah.”

Dengan ragu, Seyoung berdiri namun tetap menunduk.

“Kau kuberi satu kesempatan lagi. Lakukan pekerjaanmu dengan baik, aku memaafkanmu. Aku menantikan karya terbaikmu lagi.” Presdir Choi menepuk pundak Seyoung pelan lalu berlalu meninggalkannya.

“Hufft, untunglah.”

Dengan langkah gontai, Seyoung menyeret kakinya menuju meja kerjanya. Ia terus menghela nafas malas, membuatnya mendapatkan tatapan aneh dari para staff yang berlalu lalang.

Begitu sampai di meja kerjanya, Seyoung langsung mendudukan tubuhnya dan menjatuhkan kepalanya ke meja kerja yang sebenarnya tidak empuk sama sekali.

“Kau kenapa?” tanya Hyunjoo yang baru saja datang membawa 2 cup caramel macchiato

“Hyunjoo-ya..” Seyoung berhamburan memeluk Hyunjoo.

“Ss-sss-seyoung-ah, aku tak bisa nafas. Menyingkirlah, minumanku nanti tumpah.”

“Maaf. Aku tak tahu kenapa aku seperti ini.” Seyoung menjatuhkan kepala ke mejanya ‘lagi’.

“Ada apa? ‘Hambar’ lagi?”

Hyunjoo tahu betul karakter Seyoung sehabis diomeli Presdir Choi karena karyanya ‘hambar’.

“Aku tak tahu berita apa yang bisa kujadikan incaran sekarang. Tapi aku tak mau meninggalkan perusahaan ini.”

“Eum, Seyoung-ah. Kemarilah.” Hyunjoo menatap keadaan sekitar dan memberikan isyarat agar Seyoung mendekat.

“Kenapa?” Seyoung mendekatkan telinganya pada bibir Hyunjoo.

“Kau tahu Oh Sehun? Pemilik Oseh Grup yang tampan itu, apa kau mengetahuinya?”

“Tak tahu.” Jawab Seyoung acuh dan menjauhkan dirinya dari Hyunjoo.

Hyunjoo memukul lengan Seyoung keras.

“YAK! SAKIT!” keluh Seyoung.

“Dengarkan aku, bodoh!” titah Hyunjoo sebal.

Seyoung menurut, ia mendekatkan dirinya pada Hyunjoo lagi.

“Ia memiliki seorang kekasih yang sangat kaya raya. Mereka romantis sekali. Tapi akhir-akhir ini banyak kabar miring yang menerpa mereka. Kau bisa mencari tahu tentang kebenaran hubungan mereka. Tapi, jangan beri tahu siapa-siapa, Oh Sehun sangat detil dan perfeksionis, ia tak suka diliput media.” Bisik Hyunjoo.

“Kau bilang ia tak suka diliput, kenapa kau memberi tahuku, eoh?”

“Kau bisa menyelidikinya dengan cara ‘Dispatch’. Mereka lihai dalam membuntuti public figure. Cobalah, ini akan menarik, belum ada jurnalis yang berani mencari tahu tentang CEO Oseh Grup.” Saran Hyunjoo.

“Apa kau yakin Presdir Choi akan menyukainya?” tanya Seyoung ragu

“Presdir sangat suka dengan berita yang hangat diperbincangkan dan jarang terpublikasi, ia suka berita eksklusif, semangat Seyoung-ah!”

“Baiklah, akan kucoba.”

Mereka ber-high five ria. Seyoung tersenyum penuh makna. Ia sudah tidak sabar akan merebut gelar ‘jurnalis teladan’ lagi di kantornya itu.


Malam pun tiba, Seyoung sudah siap dengan pakaian serba hitam serta kamera SLR-nya. Tak lupa, ia juga membawa note kecil catatan hariannya dan sebuah pensil bermotif kulit sapi yang dianggapnya sebagai jimat keberuntungan.

“Yap, semoga berhasil Cha Seyoung.” Seyoung menyemangati dirinya sendiri.

Seyoung mengunci apartemennya rapat-rapat dan segara menuju mobil sedan hitamnya. Ia menyalakan GPS dan memasukan alamat apartemen CEO Oseh Grup yang baru saja dicarinya. Ia sedikit takut, terlebih lagi ucapan Hyunjoo yang mengatakan kalau CEO Oseh Grup tak suka diliput.

Ponsel Seyoung bergetar, Seyoung terlonjak kaget, mungkin ia terlalu tegang. Ponselnya menampilkan nama ‘Junmyeon oppa’. Ia segera mengangkat telfon dari Junmyeon tersebut.

“Ya, oppa.” Ucap Seyoung

“Apa kau sedang bertugas lagi?” tanya Junmyeon to the point

“Tentu, ada apa?”

“Siapa yang kau incar sekarang?”

“Rahasia.”

“Tolong jangan macam-macam dengan orang yang jarang terpublikasi. Kau tak akan aman nantinya.”

Dari mana Junmyeon mengetahui sasaran Seyoung?

“Aku akan berhati-hati, oppa. Doakan saja.”

“Ya, kalau kau ada waktu, pulanglah ke Busan, eomma merindukanmu.”

Usut punya usut, Junmyeon adalah kakak angkat Seyoung, ia  seorang pekerja swasta di Busan. Seyoung tidak punya keluarga kandung, seluruh anggota keluarganya merupakan korban dari tragedi maut di Busan. Seluruh keluarganya dibunuh saat Seyoung pergi berkemah dengan temannya. Hal itulah yang membuat Seyoung menjadi jurnalis, ia ingin mengungkap siapa pembunuh keluarganya.

“Aku mencintaimu, oppa. Aku akan segera pulang.” Seyoung hampir menangis, setiap Junmyeon menghubunginya, ia teringat akan keluarganya yang meninggal tragis.

“Ya, aku juga. Semangatlah.” Junmyeon memutus sambungan telfonnya.

Tak terasa, Seyoung sudah sampai di apartemen daerah Gangnam-gu. Apartemen elit yang biasanya dihuni kalangan artis dan orang-orang penting saja.

“Hartanya pasti banyak.” Ucap Seyoung begitu melihat penampakan luar apartemen itu.

Tak lama, sebuah mobil berhenti tepat di samping Seyoung. Seorang wanita keluar dari mobil itu dan membanting pintu kencang-kencang. Sontak, Seyoung menengok dan memperhatikan kejadian tersebut.

“Berhenti menjadi egois Noh Jinhee!” ucap sebuah suara serak khas seorang pria.

Pria itu keluar dari mobil yang sama seperti wanita sebelumnya.

“Oh Sehun.” Seyoung menganga saat melihat siapa pria tersebut.

Sebelumnya, Seyoung sudah mencari tahu asal-usul serta wajah Oh Sehun. Jadi wajar bila ia langsung hafal wajah Sehun.

“Pergilah, Sehun-sshi.” Ucap wanita itu frustasi memegangi kepalanya.

Seyoung yakin kalau wanita itu kekasih Oh Sehun, dan namanya Noh Jinhee.

“Jinhee-ya.” Sehun menggapai jemari Jinhee lalu menariknya ke dalam pelukan.

Seyoung mati kutu, ia tak tahu harus bagaimana lagi. Ia harus memotret tapi kalau ia memotret ia akan ketahuan, ia harus pergi tapi kakinya tak mau bergerak sedikit pun.

“Maaf.” Ucap Seyoung reflek lalu mulai menjauh dari kedua sejoli itu.

Sehun melepaskan pelukannya lalu menatap Seyoung sinis. Matanya dan mata Seyoung bertemu. Terlihat kilat misterius dari mata Sehun, Seyoung semakin penasaran dengan siapa sebenarnya Oh Sehun itu.

Seyoung berlari menjauh dari tempat itu. Ia memutuskan untuk membeli minum dan menghilangkan kegugupannya.

“Bagaimana ini, aku takut rencanaku gagal lagi.” Batin Seyoung berkecamuk.

Aneh, biasanya ia tak pernah sepusing dan sepenasaran ini dengan sasarannya.

“Sudahlah, lebih baik aku pulang.” Ucap Seyoung, ia kembali menuju mobilnya.

Namun, pemandangan yang disuguhkan sangat tidak enak. Tak perlu menunggu lama, Seyoung mengeluarkan kameranya dan bersembunyi di balik dinding dekat pintu apartemen.

“Aku mencintaimu, Jinhee-ya.” Ucap Sehun.

Seyoung tersentuh, namun ia tetap memotret Sehun dan Jinhee dari kejauhan.

Plakk..

Satu tamparan sukses mendarat di pipi mulus Sehun. Seyoung terkejut untuk kesekian kalinya, tentu saja momen ini tak ia lewatkan. Ia terus memotret sembari mencari posisi yang pas agar wajah Sehun dan Jinhee dapat terlihat dengan sempurna.

“Noh Jinhee.” Ucap Sehun parau.

“Mari kita berpisah, dan tolong, anggap kau tak pernah bertemu denganku.” Jinhee pergi dari hadapan Sehun.

Sehun membatu, terdengar isakan kecil dari Jinhee yang sudah mulai jauh. Seyoung merasa bersalah, tapi ia juga harus menyelamatkan karirnya.

Sehun masuk ke dalam apartemen. Seyoung membuka hoodie yang ia kenakan serta topi hitamnya, ia mengikuti Sehun, ia takut disangka pencuri jika berpakaian misterius. Sehun memilih menaiki lift, berbeda dengan Seyoung, ia lebih memilih tangga darurat agar tidak berpapasan dengan Sehun.

Seyoung hafal kamar apartemen Sehun bernomor 1294, berada di lantai paling atas gedung apartemen itu. Seyoung tak bodoh, ia tidak mengikuti Sehun ke dalam kamarnya. Ia memencet bel pintu kamar nomor 1292, keluarlah seorang pria dari kamar itu.

“Astaga!” Seyoung menutup matanya begitu melihat si pria hanya menggunakan boxer.

“Ada apa, nona? Tak usah canggung begitu, aku memang seperti ini saat di apartemen.” Ucap pria itu santai.

“Eum, aku jurnalis Cha dari Entertainment Report. Maukah kau menjadi narasumberku?” tanya Seyoung ragu-ragu,.

Tak ada jawaban, Seyoung memberanikan diri membuka matanya. Pria itu sedang tersenyum.

“Aku tak suka jika seseorang bicara denganku tapi tidak menatap mataku.” Ucapnya.

“Maaf, aku hanya terkejut.” Seyoung membungkukan badannya.

“Masuklah, namaku Jongin. Panggil aku Kai.” Pria yang notabenenya bernama Kai itu menjulurkan tangannya.

“Seyoung, Cha Seyoung.” Seyoung menerima tangan Kai.

Tanpa aba-aba, Kai menarik Seyoung ke dalam apartemen. Jantungnya rasanya mau copot, ini sudah kesekian kalinya Seyoung terkejut di hari ini.

“Apa yang mau kau tanyakan?” tanya Kai tanpa basa-basi.

“Eum, apa kau mengenal Oh Sehun?” tanya Seyoung ragu.

“Apa kau menguntitnya? Kau memang berani nona Cha.” Bukannya menjawab, Kai malah ‘memuji’ Seyoung.

“Ya?”

“Aku tak mengenalnya, ia terlalu tertutup, tapi ia sangat populer di daerah sini.” Jelas Kai.

“Bagaimana dengan kehidupan serta karirnya?”

“Yang kutahu, ia memiliki seorang kekasih bernama Noh Jinhee, ia cukup cantik. Sehun adalah pengusaha muda pemilik Oseh Grup. Ia dikenal dingin dan tak banyak bicara selain pada Jinhee.”

“Anda sangat baik. Apa Sehun pernah bertamu?”

“Pernah, hanya sekali, itu pun karena…”

Obrolan antara jurnalis dan narasumbernya itu pun berlanjut hingga larut malam. Ternyata Kai tidak sama seperti apa yang Seyoung pikirkan, ia hangat dan ramah. Hanya penampilannya saja yang perlu di benahi.


 

Ent. Report Building, Dobong, South Korea.

04 Maret 2017, 13.00  p.m.

“Presdir Oseh Grup, Oh Sehun dinyatakan berpisah dengan kekasihnya. Sebelumnya, terungkap kalau Oh Sehun dan kekasihnya sempat cekcok di basement apartemen milik Oh Sehun. Berita ini cukup menggemparkan, pasalnya harga saham Oseh Grup menurun menyusul terkuaknya berita ini…”

“Harga saham Oseh Grup menurun, menyusul berita putusnya presdir Oh…”

“Oseh Grup dibuat kebingungan karena harga saham terus menurun…”

Suara para presenter berita itu terus bermunculan di gedung Ent. Report. Seluruh Korea gempar dengan kabar putusnya Oh Sehun. Ya, ini adalah hasil kerja Seyoung. Hanya perlu waktu 4 hari untuk menerbitkan surat kabar berisi putusnya Oh Sehun. Kantor Seyoung mendapat banyak permintaan cetak ulang surat kabar karena semua surat kabar yang telah diproduksi terjual habis. Semua staff dan kru pengantar dibuat sibuk karena harus bekerja ekstra.

Seyoung tersenyum puas, akhirnya karya yang dibuatnya tidak ‘hambar’ lagi. Presdir Choi juga turut bangga, ia tak jadi memecat Seyoung. Ada sedikit rasa bersalah dan takut dalam hati Seyoung, ia teringat perkataan Junmyeon oppa ‘Tolong jangan macam-macam dengan orang yang jarang terpublikasi. Kau tak akan aman nantinya’.

“Sudahlah. Ini semua demi karirku, aku baik-baik saja.” Seyoung menenangkan dirinya sendiri

“Wah, Seyoung-ah, semua gelagapan karena karya yang kau buat. Kau memang fantastis!” Hyunjoo datang dengan 2 cup caramel macchiato.

Seyoung mengambil satu cup dari tangan Hyunjoo lalu menyuruputnya hingga habis. Ia menghela nafas kasar lalu mengambil surat kabar dengan judul ‘CEO Oseh Grup Putus, Harga Saham Oseh Grup Ikut Menurun’, yang notabenenya ditulis olehnya sendiri.

“Hyunjoo-ya, aku tak mengerti kenapa harga saham Oseh Grup ikut menurun. Memangnya Sehun berpacaran dengan saham? Aku merasa sedikit bersalah.” Ucap Seyoung lemas.

“Kudengar Noh Jinhee adalah putri salah satu pemegang saham terbesar di Oseh Grup. Putrinya putus, ayahnya pergi dari Oseh Grup. Jadi ya, harga sahamnya turun.” Jawab Hyunjoo santai.

“Tapi, Hyunjoo-ya, kau yakin ini baik-baik saja? Kenapa firasatku akhir-akhir ini selalu buruk?” Seyoung menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Mungkin hanya perasaanmu saja, sudahlah. Selamat atas comebackmu!” Hyunjoo berlalu meninggalkan Seyoung.

Seyoung berusaha menenangkan dirinya dan pergi mencari makan siangnya yang sempat tertunda.


 

“Jadi siapa nama jurnalis itu?” tanya seorang pria to the point pada sekretarisnya.

“Cha Seyoung. Ia bekerja di Entertainment Report.” Jawab sekretaris Kang pada pria itu, Oh Sehun.

“Cih, berani sekali dia. Baik, dapatkan nomor kantornya dan terus sudutkan perusahaan itu. Kau boleh pergi.” Sehun mengibas-ngibaskan tangannya sebagai isyarat menyuruh sekretaris Kang pergi.

“Bagaimana caranya agar ia bisa kudapatkan?” tanya Sehun pada dirinya sendiri.

Ia meraih ponselnya yang tergeletak di meja kerjanya, lalu menekan keypad ponselnya kasar.

“Tolong dapatkan Cha Seyoung untukku.” Titah Sehun dan lalu memutus sambungan telfonnya sepihak.


Hari-hari pun berlalu dengan baik. Seyoung tetap melanjutkan karirnya sampai ia dipecat tanpa alasan oleh Presdir Choi. Ia tak terima, jelas, alasan ia dipecat juga tak jelas. Presdir Choi tiba-tiba mengobrak-abrik meja kerja Seyoung dan menaruh surat pemecatan di atas meja kerja Seyoung.

“Kenapa saya dipecat, Presdir?” Seyoung yang sudah tak bisa menahan kekesalannya langsung masuk ke dalam ruang Presdir Choi.

“Kalau kau telah gagal, maka mencobalah, bukan menyebarkan berita palsu.” Jawab Presdir Choi ketus.

“Berita apa yang saya buat secara palsu? Saya memiliki bukti bahwa itu benar adanya!” ucap Seyoung tak kalah nafsu.

“Bukankah kau bisa mengedit fotonya? Dengar Cha Seyoung, kau sudah kupecat. Berhenti bermain-main di perusahaanku dan bawa semua barangmu!”

Seyoung tertegun. Ia tak bisa berkata sedikit pun. Air matanya lolos.

“Presdir Choi…”

“Nona Cha, karena surat kabar itu, semua investor perusahaanku pergi. Mereka bilang kalau Oh Sehun dan Noh Jinhee masih berpacaran, mereka hanya cekcok sesaat. Mereka tak mau mempercayai perusahaanku lagi. Aku juga putus asa, Seyoung-ah. Aku tak bisa membayar semua pegawaiku sekarang. Tolong mengertilah.” Presdir Choi mencoba sabar dan melawan egonya.

“Lalu apa bukti yang kudapatkan tak ada artinya?”

“Oseh Grup adalah perusahaan besar. Mereka punya banyak relasi untuk melindungi perusahaan mereka. Kita tak bisa melawannya, Seyoung-ah.” Presdir Choi terduduk lesu.

“Lalu, apa aku harus membunuh mimpiku dan membiarkan pembunuh keluargaku berkeliaran?” Seyoung menangis sejadi-jadinya.

Presdir Choi mendekati Seyoung lalu mengusap punggung Seyoung, bermaksud menenangkannya.

“Huftt. Kembalilah saat kau sudah meminta maaf pada Oh Sehun. Ia bisa mengembalikan semuanya, ia sangat berkuasa. Minta maaf padanya, lalu kembalilah. Kumohon jangan sia-siakan kepercayaanku, ini terakhir kalinya aku memberimu kesempatan.”  Presdir Choi menghela nafas panjang, mencoba menenangkan dirinya.

“Tapi aku tak bohong. Mereka sudah berpisah, presdir.”

“Seyoung-ah, kita ini kaum lemah, selalu ditindas oleh orang yang berkuasa. Hukum tak pernah adil bagi rakyat biasa seperti kita, tak ada yang bisa melawan takdir. Cobalah, jangan keras kepala dan minta maaflah.” Bijak Presdir Choi

Seyoung memeluk pria paruh baya yang sudah ia anggap seperti ayahnya itu. Hatinya bergejolak, ia sedih, kesal, kecewa, namun tak tega pada Presdir Choi. Ia bisa menyambung hidup karena Presdir Choi, ia bisa meniti karir karena Presdir Choi. Presdir Choi adalah orang yang berharga untuknya.

“Terima kasih.”


“Masuk.” Sebuah sahutan menyambut kedatangan Seyoung.

Seyoung membuka pintu ruangan itu pelan. Terlihat seorang pria sedang fokus menatap dokumennya. Tampan, satu kata yang mewakili penilaian Seyoung terhadap penampilan Sehun.

Sehun mendongakkan kepalanya, menatap Seyoung intens dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ia mengangguk pelan. Seyoung risih, jika seorang pria menatapnya terlalu lekat. Salah sendiri, ia memakai rok selutut serta kemeja putih polos dengan luaran cardigan hitam yang senada dengan roknya, mungkin dj mata Sehun ia terlihat seksi.

“Kita pernah bertemu, Nona Cha.” Sehun menatap manik mata Seyoung lekat.

“Ya?”

“Apa kau tak mengingatnya? Malam saat aku berpisah dengan Jinhee, kau menggunakan pakaian serba hitam seperti penguntit. Dugaanku benar bukan? Kau seorang penguntit.” Sehun tertawa remeh.

“Oh Sehun.” Seyoung mengepalkan tangannya geram, ia harus bisa mengontrol emosinya.

“Wow, bahkan kau langsung berani menyebut namaku seperti itu.” Sehun bertepuk tangan.

Seyoung berbalik hendak melangkahkan kakinya keluar. Ia sudah tak tahan berada di ruangan itu, tubuhnya ‘kepanasan’.

“Apa tujuanmu kemari untuk meminta maaf?” tanya Sehun santai.

Seyoung berhenti.

“Bukankah kau yang seharusnya minta maaf? Kau sudah berpisah dengan kekasihmu, tapi kau mengelak dan menghancurkan perusahaanku. Bukankah itu sesuatu yang harus dimintai pengampunan?” Seyoung berbalik menatap Sehun tajam.

Sehun mengangguk, ia berdiri lalu berlutut di depan Seyoung.

“Maaf.” Sehun menggenggam kedua lengan Seyoung.

Seyoung terkejut, namun sedetik kemudian Sehun menghempaskan lengan Seyoung kasar.

“Aku sudah melakukannya, bukan?”

“Sehun-sshi.”

“Kau ingin karirmu kembali bukan? Duduklah sebentar, ayo kita berdamai.” Sehun duduk di sofa tamu lalu menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya, menyuruh Seyoung duduk.

Seyoung tak boleh terbawa emosi, ia tak boleh membunuh mimpinya sendiri. Dengan malas, ia duduk dan posisi duduknya pun sangat kaku. Sehun tertawa.

“Kenapa dia suka sekali tertawa? Tidak ada yang lucu.” Batin Seyoung.

“Maaf, aku kasar padamu. Aku hanya tak suka dipublikasikan.” Sehun beranjak mencari sesuatu di meja kerjanya.

“Ketemu!” ucapnya girang.

Sikapnya langsung berubah 180o, apa ia berkepribadian ganda?

“Baca dan pikirkan baik-baik, jangan sampai kau menyesalinya.” Ucap Sehun menyodorkan sebuah map hitam pada Seyoung.

Sebuah surat perjanjian. Seyoung menatapnya bingung, sebenarnya apa yang Sehun inginkan? Seyoung membuka map itu dan membacanya dengan teliti. Bola matanya hampir keluar.

“Ini gila.” Seyoung melempar map itu asal dan memegang kepalanya frustasi.

“Apanya yang gila?” tanya Sehun datar.

“Tinggal bersama?!” Seyoung memelototi Sehun.

“Ya, benar. Tinggallah bersamaku. Apa kau tak bisa membaca? Di sini tertulis kau harus tinggal bersamaku dan menemaniku sehari-hari.” Sehun mengangkat map itu tinggi-tinggi.

“Jangan main-main, Sehun-sshi.”

“Kalau kau tidak mau, pergilah. Aku tak memaksamu.” Sehun hendak meninggalkan Seyoung sendirian.

Ia kalah cepat, Seyoung menghadang dan melentangkan tangan lebar-lebar, mencegahnya pergi.

“Baiklah, ayo kita bicara.” Ucap Seyoung tanpa mengubah posisi tubuhnya.

Sehun tersenyum penuh kemenangan, ia mengangguk lalu duduk di tempat yang sama seperti sebelumnya.

“Jadi, apa kau setuju?” tanya Sehun.

“Kenapa harus tinggal bersama? Apa aku harus tidur di atap yang sama denganmu? Aku harus melihatmu setiap bangun tidur? Begitu?! Huft, sabar Seyoung-ah, sabar.” Seyoung berusaha mengontrol emosinya.

“Aku tak bisa tinggal sendiri. Aku tak suka kesepian di tempat tinggalku.” Jawab Sehun enteng.

“Lalu kenapa kau tidak menyewa pembantu saja?”

“Aku tak mau, aku harus membayar mereka, belum lagi takut-takut mereka akan jatuh cinta padaku.” Sehun membanggakan dirinya sendiri.

Seyoung menjulurkan lidahnya mengejek Sehun.

“Semenjak aku dan Jinhee berpisah, aku tinggal sendiri. Aku sangat kesepian.” Lanjutnya.

“Kau dan Jinhee serumah? Hebat. Kau memang penuh kejutan Oh Sehun.” Seyoung bertepuk tangan ‘terkagum-kagum’.

“Berhenti bertele-tele. Kau mau tidak?” tanya Sehun kembali ke topik.

“Bagaimana ya..” Seyoung menimang-nimang keuntungan apa yang akan ia dapatkan.

“Hidupmu akan kutanggung, kau bisa menjadi jurnalis lagi, kau bisa menjadi pacar pura-puraku.” Ucap Sehun seolah membaca pikiran Seyoung.

“PACAR PURA-PURA?!” Seyoung terkejut akan kesekian kalinya.

“Sudah-sudah, itu hanya bonus, kau tak perlu mengambilnya kalau kau tak mau.” Jawab Sehun.

“Baiklah, tapi ada syaratnya.”

“Apa?”

“Kau tak boleh menyentuhku dan barangku tanpa izin dariku.” Ucap Seyoung.

“Apa kau berfikir aku akan menyentuhmu? Atau kau bahkan ingin kusentuh?” Sehun tersenyum seduktif.

“Kau memang gila, Oh Sehun. Oh ya, satu lagi, kau tak boleh ikut campur dalam urusanku. Itu saja.”

“Baiklah, syaratku hanya satu. Kalau aku memintamu melakukan sesuatu, kau harus menurutinya, termasuk kalau aku memintamu untuk pergi denganku.” Timpal Sehun.

“Hanya itu? Oke, di mana aku harus tanda tangan?” Seyoung membuka map hitam itu lagi.

Sehun menunjuk sebuah kotak kosong bertuliskan ‘Terdakwa, Cha Seyoung’.

“Kau pikir aku ini melakukan kejahatan.” Ucap Seyoung lirih saat membaca kata ‘terdakwa’.

“Deal?” Sehun menjulurkan tangannya.

“Deal.” Seyoung menyambut tangan Sehun.


Sore ini, Seyoung harus menunggu Sehun di apartemen yang akan ia tinggali dengan Sehun, apartemen yang sama saat Seyoung mengikuti Sehun, Apartemen Cheondamdong, di kawasan Gangnam-gu. Seyoung terus menatap apartemen itu takjub.

“Kapan kau tiba?” sebuah suara berat menyadarkan lamunan Seyoung.

Seyoung menoleh, dilihatnya Sehun sudah mengambil alih koper dan tas yang ia bawa.

“Dilarang menyentuh barang tanpa izin.” Ucap Seyoung pada Sehun yang mulai menjauh.

Sehun menghempaskan koper Seyoung hingga terjatuh, Seyoung mendengus sebal.

“Seyoung bodoh, kau harusnya membiarkan Sehun membawa barangmu.” Seyoung merutuki dirinya sendiri, kopernya memang berat, ditambah tas yang ia bawa, lengkap sudah bebannya.

“Berat?” tanya Sehun saat melihat Seyoung kesulitan.

“Tidak.” Jawab Seyoung berusaha terlihat kuat.

“Sudah, bawa tasmu saja. Sudah tahu berat, masih berlagak kuat.” Sehun mengambil alih koper Seyoung.

Seyoung kalah. Ia benar-benar membutuhkan bantuan Sehun sekarang.

Sesampainya di apartemen Sehun, Seyoung langsung disuguhkan dengan ruang tamu mewah berlapis marmer putih. Seyoung ternganga untuk kesekian kalinya.

“Hartamu banyak ya?” UPS!

“Heum.” Sehun hanya berdehem mengiyakan.

Sehun langsung menyeret koper Seyoung menuju kamar yang telah ia siapkan.

“Ini kamarmu. Dan di sebelah kamar ini, ada kamarku. Jangan gaduh kalau kau tidak mau tidur seranjang denganku.” Goda Sehun lalu meninggalkan Seyoung yang masih syok dengan ucapannya.

“Oh Sehun gila!” pekik Seyoung geram.


Seoul, 02.00 a.m.

“Lapar.” Seyoung terbangun karena perutnya terus saja mengaduh.

Memang, Seyoung belum makan apapun sejak ia pindah ke apartemen ini. Apa ia harus pergi mencari makanan?

“Pukul berapa sekarang?” Seyoung melihat jam di dinding kamar barunya itu.

“Astaga pukul 2. Aku tak mau keluar, daerah ini asing bagiku.”

“Apa aku cari di dapur saja ya?” pikir Seyoung.

Ia mengendap-ngendap keluar kamar, takut-takut Sehun terbangun karena ia gaduh, sungguh, ia tak ingin seranjang dengan Sehun.

“Eh? Apa ia tak tidur?” lampu kamar Sehun masih menyala.

“Ah masa bodoh dengan pria itu.” Seyoung menyalakan lampu dan segera menuju dapur.

Ia membuka kulkas, namun yang ada hanya sayur, buah, dan juga soju.

“Ah, mungkin di lemari.”

Sayangnya, badan Seyoung terlalu mungil dan pendek, ia tak bisa menggapai lemari itu. Sebuah tangan membantu Seyoung membuka lemari yang menempel di dinding itu. Dapat ditebak orang itu adalah Sehun. Siapa lagi yang ada di rumah ini selain Sehun?

“Apa yang kau cari?” tanyanya setelah membukakan lemari untuk Seyoung.

“Aku lapar. Aku ingin ramen.” Jawab Seyoung ragu.

“Lebih baik kau makan salad. Agar badanmu tinggi.” Ledek Sehun.

“Cih, ya sudah kalau kau tak mau membantuku.”

Seyoung membalikan badannya, astaga, Sehun menghimpit tubuhnya, ia tak bisa beranjak dari tempat itu.

“Jadi mau tidak?” tanya Sehun.

Seyoung mengangguk. Sehun pun mengambil sebuah ramen dengan tangan panjangnya itu. Seyoung semakin risih, perut mereka menyatu, dan wajah Sehun juga dekat sekali dengan wajahnya.

“Ini.” Sehun memberikan ramen itu namun tak menggeser tubuhnya sejengkal pun.

“I-itu…” Seyoung terbata-bata.

“Apa?”

“Menyingkirlah.” Seyoung menepuk lengan Sehun pelan.

Sehun pun pergi namun sedetik kemudian ia berbalik dan mengambil sebuah ramen lalu memberikannya pada Seyoung.

“Buatkan untukku, aku di kamar.” Titah Sehun.

Seyoung tak menggubris namun tetap mengerjakan yang diperintahkan oleh Sehun. Dengan cekatan, Seyoung membuat sebuah ramen lengkap dengan telur serta sayuran sebagai pelengkap.

Ia menempatkan ramen Sehun dan segelas air putih di atas nampan. Lalu mengantarkannya pada Sehun.

“Waw.” Seyoung terkagum-kagum dengan kamar Sehun.

Kamar Sehun memiliki ruang kerja pribadi, serta sofa, dan kamar mandi sendiri. Benar-benar fantastis.

“Taruh saja di nakas.” Ucap Sehun yang masih berfokus membaca map-map tebal di kasurnya.

“Baiklah.”

“Kau makan di sini.” Titah Sehun, lagi.

“Tapi, aku ing-”

“Tak ada penolakan. Kalau aku memintamu melakukan sesuatu, kau harus menurutinya.” Ucapan Sehun memotong perkataan Seyoung.

Seyoung hanya mendengus sebal. Ia kembali ke dapur dan membawa ramennya. Saat kembali ke kamar Sehun, dilihatnya Sehun sudah siap memakan ramennya.

“Duduk di sini.” Sehun menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya.

Seyoung menurut, ia langsung mendudukkan tubuhnya tepat di tempat yang Sehun pinta. Seyoung berdoa lalu memakan ramennya dengan lahap. Beda halnya dengan Sehun, ia terus menatap Seyoung, bukan memakan ramennya.

“Apa yang salah dengan wajahku? Aku bukan ramenmu, berhenti menatapku seperti itu. Cepat makan.” Ucap Seyoung dengan mulut yang dipenuhi ramen.

Sehun pun makan. Di sela-sela kegiatannya, Sehun sempat bercerita pada Seyoung tentang Jinhee. Seyoung pun mendengarkan dengan seksama.

“Sebenarnya aku dan Jinhee adalah teman kecil, lalu kami memutuskan untuk tinggal bersama saat Jinhee bilang ia tak mau tinggal dengan orang tuanya lagi. Ia lelah ditekan terus-menerus.  Ia pindah kemari, berbulan-bulan, aku mulai menyukainya sebagai seorang wanita bukan sebagai temanku lagi. Tak kusangka, ia menerimaku dan kami tinggal bersama meskipun tidak menikah. Lama-lama aku terbiasa dengan sifatnya yang sudah seperti istriku. Itu sebabnya, saat kami putus, aku merasa kesepian dan tak bisa berbuat apa-apa. Jadi aku memintamu tinggal bersamaku.” Ujar Sehun panjang lebar.

“Kalau begitu kenapa kau putus dengannya?” tanya Seyoung.

“Aku belum mau menikahinya, aku ingin fokus pada karirku dulu. Lagipula ia menikah denganku agar ayahnya berhenti memintanya kembali. Ia belum siap menjadi milikku sepenuhnya kalau itu alasannya ingin menikah denganku. Bagaimana denganmu? Apa kau tak memiliki pacar?” giliran Sehun yang menagih cerita pada Seyoung.

“Aku tak punya pacar untuk sekarang. Sudah lama aku tak menyukai orang. Mungkin sudah 10 tahun yang lalu terakhir kalinya aku menyukai seseorang.” Jawab Seyoung santai.

“Baguslah.” Ucap Sehun pelan.

“Apa?”

“Tidak-tidak. Kenapa kau tak punya pacar?” tanya Sehun.

“Aku pernah berpacaran sekali, ia cinta pertamaku. Awalnya ia sangat baik padaku, dan sangat rajin membuatku tersenyum. Tapi, saat aku menerimanya, ternyata aku hanya pelabuhan sementara, ia masih mencintai mantan kekasihnya. Ia memintaku untuk menjadi kekasihnya karena  ia ingin melupakan mantannya. Ia tidak tulus denganku, padahal aku sangat sangat menyukainya. Bodohnya aku, sampai percaya padanya. Dari situlah, aku sangat malas berurusan dengan pria.” Jelas Seyoung.

“Lalu kenapa kau mau berurusan dengan pria yang baru kau kenal sepertiku?” tanya Sehun lagi.

“Aku harus kembali ke perusahaan itu dan memulihkan nama baikku di dunia jurnalis. Aku tak ingin kehilangan pekerjaanku, aku tak punya pilihan selain menuruti surat perjanjian itu.”

“Kenapa kau ingin menjadi jurnalis?”

“Sepertinya kau sangat penasaran denganku ya, Oh Sehun.” ucap Seyoung yang sukses membuat Sehun terkekeh.

“Keluargaku dibunuh saat aku pergi berkemah dengan temanku. Hanya aku yang hidup dari keluarga Cha. Aku harus menjadi jurnalis, agar aku bisa menguak siapa yang sudah membunuh keluargaku dan membeberkannya pada dunia suatu saat nanti. Balas dendam sebetulnya.”

Sehun bertepuk tangan mendengar jawaban Seyoung.

“Balas dendam yang mengagumkan.” Ucap Sehun.

Ramen milik Sehun dan Seyoung pun sudah habis. Seyoung memutuskan untuk kembali ke kamarnya, namun ia kalah cepat, tangan Sehun berhasil menariknya untuk tertidur di sebelah Sehun. Hal yang Seyoung takutkan benar-benar terjadi, seranjang dengan Sehun.

“Tidur di sini saja. Aku perlu guling. Aku tak akan berbuat aneh-aneh, aku janji.” Ucap Sehun.

Sehun memeluk Seyoung erat dan menarik selimut untuk menghangatkan tubuh mereka berdua. Sehun langsung membenamkan kepala Seyoung di dada bidangnya. Jantung Seyoung berdegup kencang, ini pertama kalinya sejak 10 tahun, jantungnya berdetak lebih cepat karena seorang pria.

“Oh Sehun…” Seyoung tak memberontak, ini terlalu nyaman baginya.

“Tidurlah.”

Sehun sangat manis dan romantis pada kekasihnya bukan? Eh tunggu, apa Seyoung sudah menjadi kekasihnya sekarang?


Sinar mentari pagi mengusik tidur cgan posisi dipeluk Sehun.ccc

“Eunggh.” Seyoung menggeliat dan mengucek matanya yang masih terasa berat itu.

“Apa tidurmu nyenyak nona Cha?” Sehun datang membawa nampan berisi roti panggang serta susu.

“Huh?” Sepertinya Seyoung belum kembali dari mimpinya.

“Makanlah.” Sehun menaruh nampan itu di nakas, lalu duduk menghadap Seyoung.

“Kenapa kau memasak untukku?” tanya Seyoung dengan suara khas orang bangun tidur.

“Aku bukan memasak berat. Aku hanya membuat roti dan segelas susu. Sudah makan saja. Aku benar-benar rindu suasana seperti ini.” Sehun mengelus puncak kepala Seyoung lembut.

Sehun memang selalu seperti ini pada Jinhee. Namun, Jinhee sudah pergi. Jadi Seyounglah yang menggantikan posisi Jinhee.

“Aku harus bekerja. Kau tinggal saja di sini, jangan kemana-mana. Sore nanti aku akan menjemputmu.” Ucap Sehun lembut.

“Mau ke mana?”

“Ayo berkencan.”

“Hah?” Seyoung mencerna perkataan Sehun. Nihil, otaknya terlalu lambat untuk itu.

“Sudah, aku harus pergi, jaga dirimu Cha Seyoung.” Sehun mengecup kening Seyoung cepat. Perlu diperjelas, mengecup, ya, mengecup.

Seyoung tertegun atas perlakuan Sehun. Jantungnya berdetak 5 kali lebih cepat.  Belum genap sehari ia pindah ke sini, Sehun sudah seperti ini. Ia tak yakin kalau jantungnya akan baik-baik saja selama ia tinggal di sini.

“Cha Seyoung sadarlah. Kau harus menghukumnya, ia menyentuhmu tanpa izin!” batin Seyoung.

“Ada apa dengan jantungku?” Seyoung memegangi dadanya yang terus berdegup tak beraturan.


Seyoung sudah bersiap dengan make up tipis serta dress manis berwarna putih dengan luaran sebuah mantel hitam. Ia sangat cantik. Ia benar-benar siap untuk ‘berkencan’.

Menurut pesan Sehun, ia harus menunggu di lobby pukul 5. Sehun akan tiba sekitar pukul 5. Benar saja, baru Seyoung ingin duduk, Sehun sudah datang padanya. Ia sangat tampan dengan pakaian kantor serta mantel birunya.

“Ayo.” Spontan, Sehun meraih tangan Seyoung dan menggenggamnya erat.

Seyoung tak menolak. Namun, jantungnya tak mau diam seperti biasanya.

Suasana di mobil sangat hening, tak ada yang berani membuka percakapan.

“Kau bahkan lebih romantis daripada cinta pertamaku.” Gumam Seyoung pelan.

“Kau mengatakan sesuatu?” samar-samar Sehun mendengar ucapan Seyoung.

“Tak ada. Oh ya, kau melanggar perjanjian Oh Sehun, kau menyentuhku tanpa izin!” Seyoung merubah ekspresinya menjadi cemberut.

“Aku sudah dapat izin.” Jawab Sehun santai.

“Kata siapa?” Seyoung menaikkan dagunya.

“Kau tak memberontak dan membiarkanku. Artinya kau juga mau dan sudah memberikanku izin.”

Pipi Seyoung memerah, ia malu.

“Cha Seyoung bodoh, kau harusnya tak mengungkit itu.” Batin Seyoung.

Seyoung membenturkan kepalanya ke jendela, merutuki ucapannya tadi. Sehun yang melihatnya langsung menarik Seyoung dan menyandarkan kepala Seyoung di bahunya.

“Tak usah malu. Aku juga senang melakukannya.” Sehun menciumi ubun-ubun Seyoung.

Astaga, Oh Sehun! Ia bahkan belum jadi kekasihmu, tapi kau sudah seromantis ini.

“Sehun-sshi.” Panggil Seyoung pelan.

“Jangan memanggilku dengan embel-embel sshi.”

“Ya sudah, Hun-ah.”

“Nah, begitu lebih baik. Kenapa?”

“Aku belum genap tinggal sehari denganmu, kenapa kau seperti ini?” Seyoung mengangkat kepalanya lalu menatap Sehun meminta jawaban.

“Kau eksentrik. Rasanya nyaman saat aku di dekatmu. Entahlah, aku memang seperti ini saat nyaman dengan seseorang.”

“Bagaimana dengan perasaanmu pada Jinhee?”

Sehun tertegun. Ia masih menyukai Jinhee sebetulnya.

“Nanti kau akan tahu jawabannya.” Ucap Sehun.

Sehun memacu mobilnya lebih cepat, tak ingin suasana canggung terus menguasai dirinya.

Tibalah mereka di Sungai Han. Seyoung sungguh bersemangat. Ia terus menarik-narik Sehun untuk berkeliling. Terkadang, ia meminta Sehun membelikannya es krim serta makanan lainnya. Sehun tak pernah menolaknya, ia terus menuruti keinginan Seyoung. Dengan tangan yang masih saling menaut, Sehun mengajak Seyoung untuk istirahat sebentar sambil menikmati suasana Sungai Han.

“Kau mau ke mana setelah ini?” tanya Sehun pada Seyoung yang masih asik memakan es krim yang entah sudah cone ke berapa.

“Terserah padamu.” Jawab Seyoung tanpa melihat Sehun sedikit pun.

“Sepertinya ini benar-benar kencan.” Ucap Sehun.

Seyoung menoleh.

“Kau bisa bekerja lagi lusa.” Sehun tersenyum.

“BENARKAH?” Seyoung sangat senang tentunya.

Sehun mengangguk. Seyoung berhamburan memeluk Sehun erat.  Ini reflek, tanpa ada niatan, sungguh. Sehun membalas pelukan Seyoung lalu menciumi leher Seyoung tempatnya membenamkan kepala. Seyoung tak peduli, ia sungguh bahagia sekarang. Memang, kekuasaan Oh Sehun sangat berpengaruh.

“Ayo kita pergi lagi.” Ajak Sehun.

Sehun pun membawa Seyoung ke Namsan Tower. Ia sudah menyiapkan sebuah gembok bertuliskan namanya dan nama Seyoung. Seyoung terkejut, ini terlalu cepat untuknya.

“Sehun-ah..”

“Jadilah kekasihku Cha Seyoung.” Sehun menghadapkan badannya dengan badan Seyoung.

“Tapi, ini terlalu cepat.”

“Aku tahu. Kau pasti sangat terkejut. Tapi, rasanya aku sudah yakin memilihmu semenjak kau mengataiku gila. Kau membuatku nyaman dalam sehari. So, be mine please. Cause you look so fine and I wanna make you mine.”

“Noh Jinhee…” ucap Seyoung spontan.

“Tentang perasaanku pada Jinhee, waktu akan menjawabnya. Yang terpenting, aku memilihmu sekarang. Jadi, bagaimana, are you mine?” Sehun menatap manik mata Jinhee lekat.

Seyoung mengangguk. Sehun memeluk Seyoung erat.

“Terima kasih sudah mempercayaiku.” Sehun menciumi leher Seyoung lagi.

Sehun melepas pelukannya dan mendekatkan wajahnya pada wajah Seyoung. Tentu saja kalian tahu bagaimana kelanjutannya bukan?


“Tidur di kamarku saja, Seby-ya.” Ucap Sehun saat melihat Seyoung masuk ke kamarnya.

“Lalu untuk apa kau memberikanku kamar? Oh ya, berhenti memanggilku dengan sebutan ‘Seby’, namaku Cha Seyoung, Sehun-ah.” Keluh Seyoung.

“Kau harus melakukan apa yang kuminta bukan? Perjanjian itu jangan dilupakan.”

“Ey, kau bahkan sudah menciumiku. Itu sangat melenceng dari perjanjian.”

“Sebyyyy…” Sehun beraegyo yang dibalas gidikan ngeri oleh Seyoung.

Oh ya, Seby adalah singkatan dari ‘Seyoung baby’. Itu panggilan sayang dari Sehun semenjak mereka berpacaran.

“Aku akan tidur di kamarmu tiap weekend, berhenti memanggilku Seby, Hun-ah.”

Sehun mengerucutkan bibirnya. Ia sangat berbeda sejak Seyoung resmi menjadi miliknya.

Seyoung menghampiri Sehun dan mencubit pipinya gemas, lalu mengecup bibirnya singkat.

“Aku tidur, eoh. Kau juga harus tidur, besok kau harus bekerja.” Seyoung pun segera memasuki kamarnya.

“HEY, APA-APAAN ITU? KENAPA SINGKAT SEKALI? TIDAK ADIL. HARUSNYA AKU YANG MENCIUMMU DULUAN. HEY CHA SEYOUNG, KAU TAK AKAN AMAN MALAM INI.” Teriak Sehun jahil.

Seyoung membuka pintu kamarnya lalu menjulurkan lidahnya.

“Kau menantangku sayang?” Sehun menghampiri Seyoung dengan wajah sebal yang dibuat-buat.

Buru-buru Seyoung mengunci kamarnya dan tertawa lepas. Ia benar-benar bahagia. Mungkin kalau ia tak menerima Sehun malam itu, ia akan menyesal sekarang. Sepertinya Sehun sudah berhasil mengambil hati Seyoung sepenuhnya, menghilangkan keraguan yang sempat tertanam dalam hati Seyoung.


Sudah hampir 9 bulan Seyoung tinggal dengan Sehun. Ia sudah kembali ke Ent. Report. Bahkan karirnya lebih bersinar sekarang. Ia tak pernah mendapat omelan karena karyanya ‘hambar’ lagi. Seyoung juga sudah mulai menyelidiki siapa pembunuh keluarganya.

Terkadang, ia tertekan karena kesulitan menangani pekerjaannya, tapi untungnya, Sehun selalu mau menunggu dan menemaninya. Seperti saat ini, Seyoung sangat lelah dan frustasi. Presdir Choi menangih artikel karya Seyoung yang sudah tertunda hampir 2 minggu, dan ia juga harus mewawancarai walikota Seoul besok siang. Ia belum nenyiapkan materi sedikit pun. Tubuhnya sudah kelelahan, Seyoung pun terkena insomnia, namun tuntutan pekerjaan memaksanya tetap terjaga.

“Tidurlah, jangan memaksakan dirimu.” Sehun menghampiri Seyoung yang sedang memelototi komputernya, lalu memeluknya dari belakang.

“Hunnie, apa kau besok bisa mengantarku ke balai kota?” Seyoung menoleh.

“Apa kau mau membuat ‘Opinion News’ lagi? Kemarin kau baru pergi ke Daegu dan mewawancarai walikota di sana. Kau akan kelelahan sayang.” Sehun khawatir, Seyoung terus memforsir tubuhnya untuk bekerja.

“Aku tidak keluar kota, Hunnie. Aku hanya mewawancarai Walikota Im di kantornya. Hanya sampai sore. Setelah itu aku akan istirahat, janji.” Seyoung mengacungkan kelingkingnya.

“Berjanji ya berjanji, tapi kau tidur selama 2 jam saja seminggu ini. Setelah itu kau sibuk. Kutebak, pasti artikel ‘Depth News’-mu belum beres juga kan?” Sehun menyatukan kedua alisnya menatap Seyoung tajam.

“Itu, hehe-..” Seyoung terkekeh, kalau Sehun sudah protes seperti ini, berarti ia harus menuruti kata-katanya jika tidak ingin didiamkan berhari-hari.

“Aku benar kan? Sudah sekarang kau tidur dan biar aku yang melanjutkan artikelmu itu. Tinggal editing bukan?”

“Kau tak boleh begadang.” Ucap Seyoung lirih.

“Cha Seyoung! Pergi tidur sekarang atau kau kuberi hukuman?!” Sehun tak bisa menahan kesabaran.

Seyoung takut, ini kedua kalinya Sehun memarahinya karena ia terlalu sibuk. Dengan langkah gontai, Seyoung membaringkan tubuhnya dan perlahan menutup matanya, mencoba terlelap menuju alam mimpinya.

Sehun memperhatikan Seyoung seksama. Ia harus pastikan Seyoung tidur sekarang. Tak lama, dengkuran kecil terdengar dari arah kasur. Sepertinya Seyoung benar-benar kelelahan hingga mendengkur seperti itu. Sehun tersenyum. Jangan lupakan, ia harus menyelesaikan pekerjaan Seyoung sekarang baru bisa tidur.

“Cha, mari buat judul yang menarik Nona Cha.”

Dengan telaten, Sehun mengedit artikel buatan Seyoung. Dimulai dari headline yang ia beri judul ‘Budaya Hallyu yang Telah Menjadi Tren Dunia’, dateline-nya sengaja ia kosongkan agar Seyoung mengisinya sendiri, ia tak hafal kapan Seyoung mencari dan mulai menulis artikel itu. Sehun membuat artikel itu serapih mungkin, lead dan news body pun ia ubah sedemikian rupa agar menarik untuk dibaca.

“Akhirnya, selesai juga.” Sehun merenggangkan tubuhnya yang terasa pegal karena terlalu lama duduk.

Ia berkutat dengan komputer itu hampir 2 jam. Dan sekarang sudah pukul 4 pagi, waktu tidurnya tinggal 3 jam lagi. Tak ingin membuang waktu, Sehun langsung berbaring di samping Seyoung lalu memeluknya bagaikan guling.

“Maaf karena membentakmu, sayang. Aku mencintaimu.” Ucap Sehun tepat sebelum ia tertidur.

Di sela-sela mimpinya, Seyoung tersenyum. Mungkin ia sedang memimpikan Sehun sekarang.


“Hunnie, cepatlah! Aku terlambat.” Teriak Seyoung pada Sehun yang masih mandi.

“Iya iya, aku sudah selesai. Kau tak sabaran sekali akhir-akhir ini. Ayo pergi.”

Mereka pun segera menuju balaikota. Selama perjalanan, Seyoung terus melirik jam dan berdoa agar ia tak terlambat.

“Kau tak akan mati kalau kau terlambat. Sudah tenanglah.” Ucap Sehun yang geram memperhatikan tingkah Seyoung.

“Fokus saja pada jalan.” Jawab Seyoung ketus.

Sehun mendengus sebal, ia tak suka kalau sudah diacuhkan hanya karena pekerjaan. Sesampainya di balai kota, tanpa berpamitan atau mengucapkan terima kasih, Seyoung langsung bergegas masuk, menghiraukan Sehun yang sedang menunggu ucapan terima kasihnya.

“Apa bapak walikota sudah tiba?” tanya Seyoung pada security yang sedang berjaga.

“Sudah.”

Seyoung membungkukan badannya sebagai ucapan terima kasih. Ia gugup, ini adalah live interview, sepertinya para staff dari perusahaannya sudah tiba.

“Seyoung-sshi, cepatlah. 10 menit lagi akan dimulai.” Ucap seorang staff pada Seyoung.

Seyoung membaca naskah interview serta notenya seksama. Ini akan disiarkan secara live, ia tak boleh melakukan kesalahan. Oh ya, ia belum melakukan ritual setiap akan melangsungkan live, ia harus minum 2 botol air mineral dan mengirimi Sehun pesan, sebenarnya yang kedua itu permintaan dari Sehun, bukan ritual khusus.

To : Hunnie Jelek

“Baby, aku akan live sebentar lagi. Maaf sudah ketus padamu.”

Tulis Seyoung.

Live interview itu pun dimulai, Seyoung gugup, namun senyum manisnya mampu menutupi hal itu. Interview dimulai dengan statement lead dari walikota tentang prestasi kota Seoul, setelah itu Seyoung memberikan beberapa pertanyaan mengenai rencana ke depan serta program kerja dari pemerintah. Tak lupa, Seyoung juga bertanya mengenai kasus Presiden Park Geun Hye yang tengah menjadi hot topic di kalangan masyarakat, Seyoung mencatat inti serta kutipan yang dianggapnya penting saja. Live interview ini berlangsung kurang lebih selama 2 jam.

Akhirnya live interview ini pun beres, Seyoung hanya perlu bersalaman dengan para staff walikota dan menerima jamuan makan siang yang sudah disiapkan walikota. Ia mengkhawatirkan Sehun, sampai saat ini Sehun belum membalas pesannya, mungkin ia masih marah. Biasanya, kalau Seyoung mengiriminya pesan, Sehun akan membalasnya tak sampai 5 menit, berbeda sekali dengan hari ini.

“Sudahlah, aku akan mengurusnya di rumah nanti.” Batin Seyoung.

“Seyoung-ah, makanan sudah siap.” Ucap Hyunjoo

“Eoh.” Seyoung bangkit dan berjalan beriringan dengan Hyunjoo.


“Hunnie, ayolah. Aku ketus karena takut terlambat. Jangan terus seperti ini.” Seyoung bergelayut di lengan Sehun.

Sehun mengacuhkannya, ia hanya sibuk menatap TV. Ia sebenarnya tak menikmati acara itu, ia bahkan pura-pura tertawa, ini bentuk balas dendamnya karena Seyoung sudah mengacuhkan sekaligus ketus padanya.

“Baiklah, kalau itu yang kau mau.” Seyoung berlalu meninggalkan Sehun. Sehun menatap punggung Seyoung yang mulai menjauh.

“Oh ya, besok aku akan pergi ke Busan. Aku tak tahu pasti kapan aku akan pulang.” Seyoung berbalik, Sehun buru-buru mengalihkan pandangannya.

“Kalau kau seperti ini, lebih baik aku tak kembali saja dan menetap di Busan, benarkan?” lanjut Seyoung, ia tersenyum kecut.

Mendengar ucapan Seyoung yang seperti itu, Sehun gelagapan, ia langsung memeluk Seyoung erat.

“Jangan bicara seperti itu, aku membutuhkanmu. Aku tak bisa hidup sendiri. Aku mencintaimu, jangan katakan hal seperti itu lagi.” Sehun mengeratkan pelukannya.

“Aku tak bisa bernafas…” ucap Seyoung.

Seyoung mencoba melepas pelukan Sehun, namun Sehun malah menahan pinggangnya dan semakin mempererat pelukannya.

“Hunnie…”

“Kau membuatku takut. Jangan katakan hal seperti itu, aku mencintaimu. Kembalilah, jangan menetap di sana.” Pinta Sehun dengan suara seraknya.

“Baiklah, aku akan pulang. Lepaskan pelukanmu ini.” Seyoung menepuk-nepuk bahu Sehun.

“Janji?” tanya Sehun.

“Janji.”

Akhirnya, Sehun melepas pelukannya. Seyoung menatap Sehun lekat.

“Kau lapar? Apa aku harus memasak untukmu?” tanya Seyoung.

“Aku ingin pasta.” Jawab Sehun.

“Duduklah, aku akan memasak untukmu.”

Sehun mengangguk, Seyoung berjalan menuju dapur bersiap untuk memasak pasta permintaan Sehun. Hal-hal sederhana seperti ini yang selalu menjadi penenang setiap kali mereka berselisih. Sehun akan mengalah dan memeluk Seyoung, setelah itu Seyoung akan memasak untuk Sehun sebagai permintaan maaf. Selalu seperti ini.


“Begadang lagi?” Sehun masuk ke kamar Seyoung membawa segelas susu hangat.

“Ya.”

Sehun memberikan Seyoung sebuah back hug.

“Apa kau sangat suka memelukku? Besok aku harus ke Busan. Kau tidurlah duluan, jangan menungguku.” Seyoung mengelus tangan Sehun yang melingkar di lehernya.

“Ini sudah pukul 2 pagi. Kau tak akan tidur? Aku tak mengizinkanmu pergi ke Busan kalau kau tak tidur sekarang.” Ancam Sehun.

Seyoung meneguk susu pemberian Sehun hingga tak bersisa.

“Tapi, aku mau tidur sendiri hari ini, bolehkah?” pinta Seyoung.

Sehun mematikan komputer Seyoung lalu menuntun Seyoung menuju kasurnya

“Ya sudah. Asal kau tidur. Mimpi indah.” Sehun mengecup kening Seyoung singkat lalu menyelimutinya.

Sehun berlalu menuju kamarnya. Seyoung sebenarnya tak ingin tidur, itu sebabnya ia berbohong kalau ingin tidur sendiri.

“Maaf, Sehun-ah.”

Ia kembali ke meja kerjanya lalu mengambil note hariannya. Seyoung sebenarnya tak enak hati membohongi Sehun, tapi ia sudah berjanji pada Presdir Choi ia akan membawa berita yang sangat menarik setelah ia pergi ke Busan.

“Cha, aku tinggal menuliskan note lalu tidur sebentar.” Batin Seyoung menyemangati dirinya sendiri.


“Sehun-ah, aku berangkat sekarang ya.” Ucap Seyoung sedikit berteriak, Sehun masih bersiap di kamarnya.

Seyoung selalu bangun lebih pagi daripada Sehun. Padahal selalu Sehun yang tidur duluan.

“Seby, tunggu!” teriak Sehun tak kalah keras.

Seyoung menutup matanya kaget begitu melihat Sehun keluar dari kamarnya hanya menggunakan handuk kimono, sepertinya ia belum selesai mandi.

“Pakai bajumu dulu baru keluar. Mataku ternodai!” pekik Seyoung geram.

“Ish, aku hanya ingin memberikan salam perpisahan sebelum kau pergi. Kenapa harus repot-repot pakai baju?”

Sehun mengecup kedua mata Seyoung yang masih tertutup rapat, lalu menempelkan bibirnya pada bibir Seyoung singkat.

“Aku akan merindukanmu, cepat kembali!” Terakhir, Sehun mengecup kening Seyoung.

Sehun terkekeh karena Seyoung masih tak mau membuka matanya.

“Buka matamu, aku sudah selesai.”

Seyoung pun lari karena ia tak mau Sehun melihat pipinya yang mulai memerah. Tapi, jauh di lubuk hatinya, ia sangat bahagia dengan kehidupannya sekarang.

“Apa aku akan sebahagia ini seterusnya?” tanya Seyoung pada dirinya sendiri.


Ini sudah hari kelima Seyoung berada di Busan. Sehun menghubunginya tiap waktu, mengatakan kalau ia bosan, ia merindukan Seyoung, ia akan bolos kerja kalau Seyoung tak pulang, dan sebagainya. Seyoung juga ingin pulang, tapi ia belum menemukan narasumber terkait kasus kematian keluarganya.

Malam ini, ia memutuskan untuk mencari udara segar ditemani Hyunjoo. Sudah lama ia tak ke Busan. Ia merindukan kampung halamannya itu. Saat membeli es krim di minimarket, matanya menangkap seorang wanita paruh baya yang pernah menjadi tetangganya, bibi Jung.

“Jung ahjumma!” panggil Seyoung.

Bibi Jung menoleh.

“Eoh, Cha Seyoung.”

Buru-buru Seyoung menghampiri Bibi Jung dan mengajaknya berbicara 4 mata, untunglah Hyunjoo mau mengerti.

Seyoung mendengarkan penjelasan Bibi Jung dengan seksama. Bibi Jung adalah tetangga Seyoung sewaktu masih tinggal di Busan. Bibi Jung menceritakan kronologis ditemukannya mayat keluarga Cha dengan luka sayat di leher serta perutnya.

“Seyoung-ah, kau harus ikhlas. Mereka sudah tenang di sana. Lagipula, sebenarnya…” ucapan Bibi Jung menggantung.

“Ada apa? Aku harus mengetahui semuanya, Bi.”

“Mereka tidak dibunuh.”

“Tapi, bunuh diri.”

Ucapan Bibi Jung sukses membuat Seyoung menganga.

“Tapi, kenapa?”

“Cha Jae Woon, ayahmu, ia selalu kalah dalam perjudian, ia pun memiliki banyak hutang di mana-mana karena ingin membuktikan kalau ia juga bisa menang dalam hal seperti itu. Hari di mana kau pergi berkemah, mereka bunuh diri, sejujurnya, aku melihat keluargamu melakukan hal itu. Tapi, begitu aku mau menolong keluargamu, ayahmu menodongkan pisau padaku dan mengancamku. Mereka tewas di depan mataku sendiri. Jae Woon berpesan agar kau dan yang lainnya menganganggap keluarga Cha dibunuh oleh para perampok. Pisau serta sarung tangan yang digunakannya pun harus kubakar untuk menghilangkan bukti. Maka dari itu, kasus ayahmu tak pernah terselesaikan hingga saat ini, kurangnya bukti dan kronologi yang ditutup-tutupi, membuat kepolisian sulit mengungkapnya. Maafkan aku, Seyoung-ah.” Bibi Jung menunduk merasa bersalah.

“Jung ahjumma…”

Bibi Jung memeluk Seyoung bermaksud menenangkannya. Seyoung menangis sekeras-kerasnya, meluapkan kesedihannya. Hyunjoo? Hyunjoo sebenarnya menguping percakapan Seyoung dan Bibi Jung. Ia tak tega melihat sahabatnya menangis seperti itu. Ia ingin menenangkan Seyoung, namun ia tak bisa, ia sudah berjanji akan menghargai privasi Seyoung, artinya ia seharusnya tak menguping dan tak tahu kebenarannya.


“Hunnie, aku akan pulang hari ini. Kau merindukanku kan?” Seyoung menghubungi Sehun memberi kabar gembira untuknya.

“Tentu saja, rasanya seperti sudah setahun kau meninggalkanku.” Jawab Sehun dengan nada yang dibuat-buat.

“Ey, kau berlebihan. Aku hanya pergi selama seminggu.”

“Kekekekek, kau tahu, aku kesulitan saat kau tak ada. Jadi aku menyewa maid karena aku tak bisa membersihkan rumah dan mencuci baju.”

“Baru seminggu kutinggal kau sudah serepot itu. Bagaimana jadinya kalau aku pergi bertahun-tahun?”

“Seby, jangan bicara seperti itu…” suara Sehun melemah.

“Aku hanya bercanda. Sudah, aku harus berangkat nanti siang. Aku belum berkemas. Kututup ya?”

“Aku merindukanmu, cepat pulang.”

“Baiklah, Hunnieku yang manja.”

“Ish.”

            Seyoung terkekeh, setidaknya masih ada Sehun yang menemaninya. Ia tak tahu apa jadinya jika ia dan Sehun berpisah, yang  jelas, hanya Sehun dan Hyunjoo yang ia miliki saat ini.


Hujan deras mengguyur kota Seoul hari ini. Tapi Seyoung belum tiba di apartemennya, Hyunjoo menurunkan Seyoung di halte bus, ia bilang ibunya jatuh sakit, ia tak bisa mengantar Seyoung sampai rumah karena ibunya akan dioperasi.

“Bagaimana aku pulang kalau hujannya sederas ini?”

Seyoung mengulurkan tangannya. Merasakan dinginnya air hujan yang jatuh di telapak tangannya. Jujur saja, Seyoung masih tak bisa melupakan ucapan Bibi Jung. Ia sangat ingin menangis, tapi Sehun tak boleh melihatnya lemah, Sehun akan khawatir dan jatuh sakit.

“Apa aku lari saja?” tanya Seyoung pada dirinya sendiri.

Sudah setengah jam Seyoung menunggu busnya tiba, namun derasnya hujan mungkin membuat sang supir malas. Terlebih lagi cuaca sangat dingin sekarang.

“Baiklah, semangat Cha Seyoung!”

Nekat, Seyoung pun hujan-hujanan, ia awalnya baik-baik saja, sampai bayangan ayahnya tiba-tiba muncul di depan matanya. Teringat dalam benaknya, Seyoung sangat suka hujan saat kecil, dan appa Cha akan memarahinya setelah Seyoung tiba di rumah.

Bayangan ayahnya terus mendekatinya, Seyoung berjalan mundur. Ia tahu itu hanya sebuah ilusi mata, tapi hatinya percaya kalau ayahnya masih hidup.

“Youngie, kau akan sakit. Jangan hujan-hujanan, appa menyayangimu. Jaga dirimu, eoh.” Begitulah ucapan appa Cha di depan mata Seyoung.

Appa Cha tersenyum padanya. Seyoung tak kuasa menahan tangisnya, kakinya tak mampu menopang tubuhnya lagi. Ia terlalu sedih setiap kali mengingat ayahnya.

Jalanan sangat sepi, tak ada yang bisa menghentikan Seyoung. Ia terus menangis di tengah derasnya hujan. Ia sudah tak peduli kalau ia akan sakit setelah ini.

“Appa, aku merindukanmu..”


“Seyoung-ah!” Sehun terkejut begitu melihat Seyoung basah kuyup.

Dengan wajah pucatnya, Seyoung tersenyum.

“Kenapa kau tak memintaku untuk menjemputmu?” tanya Sehun khawatir.

Buru-buru Sehun mendekap Seyoung memberinya kehangatan.

“Kau pasti sibuk dengan dokumenmu. Aku tak ingin mengganggumu.”

“Tapi, kau basah seperti ini ak-..”

“Hunnie, orang tuaku tewas bunuh diri. Kenapa aku harus hidup bahagia di saat mereka tertekan? Rasanya aku ingin pergi dengan mereka.” Seyoung memotong ucapan Sehun.

“Aku mencintaimu, aku mencintaimu. Stay with me, stay with me. Aku mencintaimu, jangan bicara seperti itu, stay with me.” Ucap Sehun

Seyoung tersenyum miring. Tak lama, ia jatuh pingsan dalam dekapan Sehun.

“Seyoung-ah!”

Sehun langsung menggendong Seyoung menuju kamarnya. Ia mengganti pakaian Seyoung, menyelimutinya, dan mengompres kehingnya dengan air hangat. Sehun sungguh khawatir, ini pertama kalinya ia melihat Seyoung serapuh ini. Ia tak tega jika harus melihat kekasihnya terluka sedalam itu.

Ponsel Sehun berdering. Layar ponselnya memperlihatkan nomor tak dikenal. Awalnya, Sehun ragu untuk mengangkatnya, tapi mungkin saja itu rekan bisnisnya. Ia mengangkat telfon itu.

“Halo..”

“Oh Sehun-sshi?”

“Siapa…”

“Oh, sepertinya kau melupakanku, Presdir Oh.”

“Maaf, tapi saya benar-benar lup-..”

“Noh Jinhee. Apa kau tak penasaran bagaimana kabarnya?”

Rahang Sehun mengeras mendengar nama Jinhee. Ia tahu, selama ini Jinhee menghilang. Dan Jinhee menghilang setelah mereka berpisah. Itu alasan sebenarnya kenapa ia menyerang perusahaan Seyoung dan membuat Seyoung dipecat dari pekerjaannya.

Ia tak ingin mengambil resiko Tuan Noh pergi dari perusahaannya karena Jinhee menghilang. Ia juga meminimalisir desas-desus yang beredar mengenai Jinhee yang hilang karena dibunuh oleh Sehun. Satu hal yang ia tahu, Jinhee hilang karena diculik.

“Siapa kau?”

“Lee Jae Hwan. Pengagum setia kekasihmu.”

“Ken…”

“Ya, benar. Aku Ken. Presdir Vixx Group yang sangat mencintai kekasihmu, ah tidak mantan kekasihmu tepatnya, Noh Jinhee.”

“Di mana kau menyembunyikan Jinhee?”

“Noh Jinhee hidup dengan baik denganku. Ia wanitaku sekarang. Apa kau masih peduli padanya setelah kau mendapat penggantinya?”

“Apa maksdudmu, brengsek?!”

“Jangan berlagak bodoh Oh Sehun. Kenapa wanitamu selalu mengagumkan, eoh? Wanitamu yang baru sangat manis dan lugu. Dari club mana kau mendapatkannya?”

Sehun terdiam, bagaimana bisa Ken mengetahui keberadaan Seyoung?

“Hey, tuan Oh. Apa kau tak merindukan Jinheemu ini? Ia membosankan, aku ingin yang baru.”

“APA YANG KAU INGINKAN BRENGSEK?!” Sehun sudah tak bisa sabar.

“Aku ingin wanitamu itu. Cha Seyoung.”

“Jangan gila! Ia milkku, ia kekasihku. Kau sudah merebut Jinhee dariku, apa yang kau inginkan dari Seyoungku?!”

“Kau belum menikahinya, santai saja. Ia belum menjadi milikmu seutuhnya.”

“Di mana Jinhee sekarang?”

“Sudah kuduga, kau masih peduli dengannya. Hahahaha. Kau ingin Jinheemu kembali bukan? Berikan Seyoung padaku dan aku akan mengembalikan Jinhhemu.”

“BERANINYA KAU BERMAIN-MAIN DENGANKU!”

“Selama ini kau menutupi fakta kalau Jinhee menghilang karena diculik bukan? Kau takut Tuan Noh pergi dari perusahaanmu dan membuatmu bangkrut, begitu kan? Lalu apa jadinya kalau Jinhee pergi untuk selama-lamanya? Sepertinya Tuan Noh tak akan pernah kembali padamu.”

“Lee Jae Hwan!”

“Bawa Seyoung padaku dan Jinheemu akan segera kembali hidup-hidup. Noh Jinhee, mantan kekasihmu, teman kecilmu, putri pemilik saham terbesar di perusahaanmu. Ia wanita yang sangat penting bagimu bukan?”

“HYA! JANGAN MENCOBA MENYAKITINYA! JANGAN BERMAIN-MAIN DENGANKU LEE JAE HWAN!”

“Kalau kau melapor polisi, kupastikan Jinhee tewas dengan luka di lehernya.”

“Lee Jae Hwan!”

Sehun mengacak rambutnya frustasi.

“Hunnie…”

Sepertinya Seyoung terbangun karena Sehun yang terus berteriak.

“Oh, kau bangun sayang?”

“Ah, sepertinya Seyoungku bangun karenamu ya? Baiklah, kutunggu kehadiran Seyoungku, Presdir Oh.”

“Lee Jae Hwan, awas saja kal-..”

Belum selesai Sehun mengucap sumpah serapahnya, sambungan sudah terputus. Sehun mencoba menghubungi nomor itu lagi. Namun, nomor telfonnya tidak tersambung dan terus operator yang menjawabnya.

“Sial!” umpat Sehun.

“Kenapa, Hun-ah? Apa ada masalah?” Seyoung mendudukan dirinya.

“Jangan bangun sayang. Kau sakit, kau harus istirahat.”

Sehun menidurkan Seyoung lagi.

“Ada apa?” tanya Seyoung.

Sehun menggeleng.

“Kenapa kau melakukannya? Berhenti menyiksa dirimu sendiri sayang. Aku sangat takut tadi.” Sehun menyingkarkan rambut Seyoung yang menutupi wajahnya.

“Kenapa aku hidup bahagia saat mereka semua mati tragis, Hunnie? Mereka harusnya bunuh diri saat bersamaku. Mereka meninggalkanku dan membuat hidupku sulit. Mereka memaksaku hidup sendiri. Mereka tertekan. Aku tak suka hidupku, aku ingin pergi ke tempat mereka Hunnie! Argh!” Seyoung emosional, Sehun segera mendekapnya menyalurkan ketenangan.

“Seyoung-ah, kau harus bersyukur, kau masih hidup. Kalau kau pergi, aku akan sangat kesepian, kau tak akan sukses, kau tak akan bertemu denganku. Kenapa kau tega padaku?”

“Hunnie, aku lelah, aku ingin pergi, aku-”

Sehun melepaskan dekapannya lalu mendudukkan Seyoung.

“Aku mencintaimu, aku kalah, aku mencintaimu,aku sangat mencintaimu, aku membutuhkanmu, aku merindukanmu, aku membutuhkanmu. Stay with me. Stay with me. Stay with me. Jangan seperti ini. Aku mencintaimu.” Ucap Sehun menenangkan Seyoung.

Seyoung berhambur memeluk Sehun. Sehun menciumi puncak kepala dan bahu Seyoung.

“Aku mencintaimu, Hunnie.”

“Aku lebih.”

Seyoung menangis di dada Sehun. Menyalurkan semua kesedihannya. Melihat Seyoung serapuh itu, Sehun ikut menitikkan air mata, ia sungguh tak tega. Ucapan Ken tiba-tiba terngiang di kepalanya.

“Bawa Seyoung padaku dan Jinheemu akan segera kembali hidup-hidup.”

“Noh Jinhee, di mana kau sekarang?” ucap Sehun pelan.

“Huh? Jinhee?” Seyoung mendongak.

Sepertinya ia mendengar ucapan Sehun.

“Ah, tidak-tidak. Sudah, kau harus tidur, aku akan membuatkanmu bubur.” Sehun menidurkan Seyoung lagi.

“Kuharap kau tak mendengarnya.” Batin Sehun.

Sehun mengecup kening Seyoung dan mencium bibirnya lembut.

“Tidurlah.”

Sehun berlalu meninggalkan Seyoung. Ada ribuan pertanyaan yang muncul di otaknya. Ia tak tahu harus bagaimana sekarang. Ia ingin Seyoung tetap di sampingnya, tapi karir serta teman kecilnya sedang dipertaruhkan. Ia sungguh frustasi.


Hari berganti hari, siang berganti malam. Seyoung sudah sehat, ia sudah kembali seperti dulu. Ia selalu didukung dan ditemani oleh Sehun. Seyoung sangat bersyukur karena memiliki Sehun. Ia sangat ceria dan tetap menjadi jurnalis sukses di Korea. Berbeda dengan Sehun, akhir-akhir ini, ia lebih banyak diam dan melamun. Terkadang, Seyoung bertanya apa ia baik-baik saja? Dan Sehun selalu bilang ia sedikit lelah karena pekerjaan. Seyoung memang belum mengetahui kebenarannya. Seperti saat ini, mereka sedang menonton televisi, Seyoung tertawa renyah melihat kekonyolan Lee Guk Joo dan Jang Do Yeon. Sementara, Sehun hanya menatap layar TV kosong.

“Hunnie, kau kenapa?” Seyoung meraih kedua pipi Sehun.

“Huh? Tidak.”

“Ceritakan padaku. Pasti kau sedang ada masalah bukan? Ayolah.” Seyoung beraegyo.

Sehun yang gemas mencubit pipi Seyoung lalu mengecup bibirnya tiga kali.

“Aku baik-baik saja sayang.”

“Bohong!”

“Hey, jangan marah. Aku benar-benar baik saja.” Sehun merangkul pundak Seyoung.

“Apa kau stress karena pekerjaanmu? Apa kita harus liburan?” tanya Seyoung.

“Kau ingin pergi?”

“Tidak, hanya saja sepertinya kau penat. Ayo kita liburan, Hunnie.”

“Kau mau ke mana?”

“Bagaimana kalau ke Jeju?” Seyoung sungguh bersemangat.

“Apa tidak ke luar negeri saja?”

“Tak mau. Aku sudah lama tidak pergi ke Jeju.”

“Kita bisa ke Eropa sayang, itu jauh lebih menyenangkan.”

“Aku ingin mengenang keluargaku di sana, Hunnie

“Baiklah, akan kupikirkan.” Sehun tersenyum, Seyoung bersorak gembira.

Sehun teringat akan pesan yang baru diterimanya kemarin malam.

“Bawa Seyoung ke Jeju dan aku akan mengembalikan Jinhee di sana.. –Jae Hwan”

Kenapa Seyoung ingin ke Jeju saat Jae Hwan menunggunya di sana?

“Pusing.” Sehun memegangi keningnya yang terasa berdenyut.

Ia sungguh tak punya pilihan lain. Ia lebih memilih dirampok milyaran won dibandingkan memberikan Seyoung pada Jae Hwan. Jika ia dirampok, ia bisa membangun usahanya kembali, tapi, jika Seyoung pergi darinya, akan sulit menemukan penggantinya. Tak ada yang seperti Seyoung di luar sana baginya.


“Baby, cepat! Kita bisa ketinggalan pesawat! Ayolah, sayang.” Seyoung heboh sendiri.

Padahal penerbangan ke Jeju masih 2 jam lagi.

“Sabar, Seby. Kita tak akan terlambat.” Sehun sebenarnya malas untuk pergi ke Jeju, tapi Seyoung memaksanya.

Mereka pergi diantar supir pribadi Sehun. Sepanjang perjalanan Seyoung terus bersenandung ria, lain halnya dengan Sehun yang gusar.

“Baby, apa kau tak mau pergi denganku?” tanya Seyoung saat melihat raut wajah Sehun.

“Ah, tidak, aku mau, Seby.”

Seyoung mengangguk dan melanjutkan aktivitasnya. Sehun terus tersenyum memperhatikan Seyoung yang sangat antusias.

“Aku mencintaimu.” Ucap Sehun.

Seyoung menoleh, ia mencium kedua pipi Sehun, lalu tersenyum manis.

“Aku juga.”


Sehun menyewa sebuah villa sebagai tempat tinggal mereka sementara. Villa dengan desain minimalis dan hamparan taman bunga sebagai pemandangan di depannya ini menjadi pilihan Sehun. Mereka akan tinggal selama 5 hari di Jeju.

Hari pertama, mereka pergi berkeliling Jeju dengan mobil yang disewa Sehun. Seyoung bahagia. Ia tak henti-hentinya berteriak kegirangan, terkadang ia menciumi wajah Sehun gemas. Sehun pun sering mengecup bibir Seyoung.

Hari kedua, mereka pergi ke kebun teh dan kebun strawberry. Mereka memetik buah di sana. Mereka akan menjadikan hasil petikan mereka sebagai oleh-oleh.

Hari ketiga, mereka pergi ke pantai dan bermain pasir di sana. Seyoung yang takut dengan air pun tak henti-hentinya berteriak setiap Sehun menariknya ke laut. Sehun memang jahil, ia menggendong Seyoung lalu membawanya masuk ke laut. Alhasil, Seyoung pun menangis dan tak mau bicara pada Sehun hampir seharian. Tapi Sehun terus menggodanya dan menciuminya tanpa henti. Membujuk Seyoung agar mau bicara dengannya lagi.

Hari keempat, mereka pergi berbelanja oleh-oleh berupa pakaian serta perlengkapan rumah yang tak bisa ditemukan di Seoul. Barang-barang rumah tepatnya. Sehun menghabiskan jutaan won untuk membeli semua itu. Seyoung sudah menahannya, namun bukan Sehun namanya kalau tidak membeli banyak oleh-oleh, ia terus mengatakan ia masih membawa uang yang cukup. Seyoung hanya pasrah melihat Sehun yang terus memborong barang di pasar tradisional.

Hari kelima, hari terakhir mereka di Jeju. Sehun mengajak Seyoung berkemah di hamparan padang rumput yang tak jauh dari villa. Sehun sudah menyiapkan semuanya, Seyoung bilang ia ingin menikmati suasana alam, oleh sebab itu Sehun mengajaknya berekemah. Tak lupa, Sehun sudah menyiapkan alat pembakaran. Sosis dan daging yang mereka beli kemarin akan menjadi target pembuktian Sehun kalau ia sebenarnya pandai memasak.

Selama Sehun membakar sosis dan daging, Seyoung terus berjalan-jalan sambil memotret keindahan alam Jeju dengan kamera yang mengalung manis di lehernya. Seyoung sangat suka pemandangan matahari terbenam di Jeju. Tak henti-hentinya Seyoung memotret, hingga ia tak sadar sedari tadi Sehun memanggilnya mengatakan kalau daging dan sosisnya siap disantap.

Tak kunjung digubris, Sehun menghampiri Seyoung dan menggendongnya gemas. Ia terus memutarkan tubuhnya dan otomatis Seyoung pun ikut berputar dengannya. Setelah puas membuat Seyoung pusing, Sehun memberikan piggy back pada Seyoung untuk sampai ke tempat mereka mendirikan kemah. Seyoung duduk di paha Sehun, dan Sehun terus memeluk pinggang Seyoung. Ini sangat membahagiakan bagi mereka.

“Aku sangat mencintaimu, Cha Seyoung.” Ucap Sehun yang dibalas senyuman oleh Seyoung.

Sehun mendekatkan wajahnya pada wajah Seyoung, mencium bibirnya lembut, mengungkapkan rasa cintanya yang teramat besar untuk Seyoung. Sungguh, Seyoung merasa dirinyalah wanita yang paling bahagia di dunia ini.

Tapi,

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

apa itu benar?


Malam menjelang, Sehun kembali gelisah. Ia sungguh takut jika sampai bertemu Ken di Jeju. Sementara, Seyoung terus bercerita mengenai kebahagiannya selama di Jeju. Sehun memeluk Seyoung erat.

“Seby.”

“Hmm?”

“Kau mencintaiku?”

“Tentu, kau tak perlu menanyakannya. Aku sungguh mencintaimu.”

“Apa yang akan kau lakukan kalau aku pergi meninggalkanmu?” Sehun menatap kedua manik mata Seyoung lekat.

“Kenapa kau bertanya seperti itu? Kau seperti mau pergi jauh.”

“Jawab aku. Maukah kau menungguku?”

“Hunnie…” Seyoung takut.

“Kau mencintaiku, aku mencintaimu. Harusnya kita selalu bersama, tapi kalau aku pergi, maukah kau menungguku kembali padamu?”

“Kalau kau pergi karena sebuah keharusan, aku pasti menunggumu.”

“Kau yakin?”

“Tak ada cinta tanpa pengorbanan, Hunnie. Meskipun aku harus terluka terlebih dahulu, aku akan menunggumu selama kau masih mencintaiku.” Jawab Seyoung tegas.

Sehun memeluk Seyoung erat. Ia menangis. Seyoung bingung kenapa Sehun tiba-tiba seperti ini. Ia ingin bertanya, namun ia mengurungkan niatnya, pasti Sehun punya alasan tersendiri untuk ini. Ia yakin, ia harus meminjamkan bahunya sebagai tempat Sehun menangis.

“Aku percaya padamu, Hunnie. Jangan menangis.”


Pagi telah tiba, Sehun dan Seyoung sudah siap untuk kembali ke Seoul. Sehun belum mengatakan apapun hari ini, ia selalu diam. Setiap kali Seyoung bertanya, Sehun hanya berdehem atau menggeleng. Tak ada kata yang keluar dari mulut Sehun sama sekali.

Sehun yang seperti ini sungguh membuat Seyoung gusar. Pasti terjadi sesuatu. Kecurigaan Seyoung bertambah karena jalan yang Sehun lewati bukan jalan menuju bandara.

“Hunnie, kau salah ambil jalur.” Ucap Seyoung.

Sehun tak menggubris.

“Baby, kau mau ke mana?”

“Hunnie.”

“Hunnie.”

“Sehun-ah.”

“Oh Sehun!” merasa tak dihiraukan, Seyoung membentak Sehun.

“DIAMLAH!” bentak Sehun balik pada Seyoung.

Seyoung membeku. Sehun tak pernah seperti ini sebelumnya, paling-paling kalau Sehun marah ia hanya akan mengomelinya atau mengancamnya, Sehun tak pernah sekasar ini padanya.

Mobil berhenti tepat di dekat pegunungan. Firasat Seyoung mengatakan hal buruk akan terjadi. Sehun membukakan pintu dan menarik Seyoung keluar. Tapi ia tak mengatakan apapun.

Dari kejauhan, terlihat seorang pria berpostur tinggi dengan wanita berambut panjang di sampingnya yang sedang menunduk. Perasaan Seyoung semakin tak enak, ia takut sekaligus gusar.

“Siapa dia, Hun-ah?”

Lagi-lagi Sehun tak menggubris. Ia menarik Seyoung mendekati pria itu. Semakin dekat, semakin dekat, wanita itu mengangkat kepalanya.

“Noh Jinhee!” ucap Seyoung begitu melihat wajah wanita itu.

“Hunnie, ada apa ini?” Seyoung menghempaskan lengan Sehun kasar.

Sehun tak menjawab. Ia tersenyum sekaligus menitikkan air mata.

“Aku mencintaimu Cha Seyoung. Maafkan aku.”

Setelah mengatakan itu, Sehun pergi meninggalkan Seyoung yang mematung tak mengerti keadaan.

Sementara, pria itu mendekati Seyoung dan menarik lengannya paksa. Seyoung berontak, namun tenaganya kalah oleh sang pria. Ia terus ditarik hingga ia terdiam, menyaksikan Sehun menggenggam tangan Jinhee dan membawanya pergi.

“Sehun-ah..” Seyoung menggeleng, ia menangis.

Sehun melewati Seyoung sambil terus menautkan jarinya dengan jemari Jinhee.

“Sehun-ah!” Pria itu –Ken- terus menariknya paksa.

“Hunnie, baby, jangan tinggalkan aku. Aku mencintaimu!” teriak Seyoung untuk kesekian kalinya.

Sehun tak menggubris, ia membawa Jinhee masuk ke mobil, dan melajukan mobilnya meninggalkan Seyoung yang menangis ditarik paksa.

“Berhenti menangis! Ia tak mencintaimu, bodoh!” bentak Ken pada Seyoung.

“Ini surat terakhir dari Oh Sehun, isinya palsu. Hanya omong kosong.”

Ken memberikan sepucuk surat berwarna pink dengan tanda hati di depannya. Seyoung membukanya perlahan, ia sudah lemas sekarang.

“Sebyku sayang, Cha Seyoung. Aku mencintaimu. Maafkan aku. Aku tak punya pilihan lain. Aku sungguh mencintaimu. Maaf. Maaf. Maaf. Aku mencintaimu. Good bye, my love. –Sehun si brengsek.”

Tangis Seyoung pecah membaca surat itu. Ia kacau, ia tak mengerti apa yang terjadi di sini, dan Sehun malah membawa mantannya pergi?

“Kau kenapa, Hunnie? Jangan tinggalkan aku…”

Tunggu aku, aku pasti akan kembali padamu. Jaga dirimu baik-baik. Aku mencintaimu.

 –Oh Sehun

Kalau kau mencintaiku, kau tak akan kembali dengannya. Apakah aku harus menunggumu?

 –Cha Seyoung

END

9 thoughts on “[SEG Event] Redemption

      • Wkwkwk pantes aja mirip kayak mv don’t say goodbye
        Oh iya saran aja nih thor kalo memang terinspirasi dari mv
        Di bagian intronya ffnya mending di tulis terinspirasi dari mv siapa kek a
        Supaya reader yang lain gak berpikir authornya itu menjiplak dari karya orang lain
        Udah itu aja thor
        Semangat thor 💪💪💪😊😊😁😁

Leave a reply to papipunuyuiel Cancel reply