[SEG Event] Draw My Life

Poster FF Draw My Life

 

Draw My Life

 

Cast:

  • Kim Jongin (Kai EXO)
  • Jung Soo-Jung (Krystal F(x))
  • Jung Won-Soon
  • Kim Young-Ae
  • Taemin (Shinee)

Sudah selarut ini, laki-laki itu masih berkutat dengan tumpukan kertas yang teronggok di depannya. Persis di hadapannya layar MacBook berukuran 15 inci masih menyala. Jemarinya lincah bermain di atas keyboard, untuk kemudian memunculkan tulisan-tulisan di layar. Sinar dari piranti canggih yang menyilaukan itu sudah sejak tadi menerpa wajahnya juga matanya, tapi itu belum cukup membuatnya lelah.

 

Siapapun berani bertaruh bahwa saat ini ia tak akan menyadari bahwa matahari sudah sejak lama tenggelam di kaki langit, tergantikan oleh bulan. Atau fakta bahwa lampu di luar gedung telah menyala terang, menampakkan betapa megah rupa gedung berarsitektur modern itu. Ia memang selalu tenggelam dalam rutinitasnya.

 

“Berhentilah Kai! Kau bahkan sudah melewatkan makan siangmu, tidak untuk makan malam! Urusanmu selesaikan nan..,” suara Taemin menginterupsi, memecah keheningan sekaligus konsentrasi orang yang diajaknya bicara.

 

“Tidak bisa nanti Hyung! Malam ini harus selesai atau siaran berita kita gagal tayang” Kai menimpali, bahkan Taemin belum genap bersuara. Buru-buru ia mengganti desktop laptopnya.

 

Benar! Nama laki-laki itu, Kai. Lebih sering dan suka dipanggil demikian. Melupakan nama aslinya, Jongin. Terlalu tua menurutnya. Ayolah siapa yang menamai anaknya Jongin di masa sekarang ini. Nama itu bahkan lebih cocok diberikan untuk harabeoji yang tinggal di sebelah rumahnya. Meski begitu, ia tak sekalipun mengeluh pada ibunya. Baik Jongin atau Kai, ibunya yang memberikan nama keduanya.

 

“Kau lebih tahu seberapa besar Eomoni mengkhawatirkanmu, Kai. Aku yakin, ia pasti duduk di meja makan menunggumu bukan?” Taemin kembali mengingatkan, berharap sahabatnya itu lekas pulang.

 

“Algeseumnida. Dapyeonim. Sebentar lagi, lalu aku pulang. Atau kau mau bergabung makan malam dengan eomma?? Masakan eomma masih menjadi favoritmu, bukan?” Kai terkekeh di ujung kalimat, menggoda sahabatnya. Ia paham, sahabatnya itu tak akan punya waktu untuk itu.

 

“Mwoya? tentu saja. Sayangnya aku tergesa. Kali ini kau boleh habiskan semua makanan, besok-besok tidak akan! Sampaikan salamku untuk eomoni. Aku pergi, dah” Taemin melambaikan tangan, lantas bergegas. Di luar sana ada banyak hal yang harus segera ia tangani.

 

“Mmmm, pergilah. Siapa sebenarnya anak eomma? Aku atau dia?” Kai masih bergumam pelan, sengaja agar Taemin tidak mendengar.

 

Begitulah persahabatan mereka. Taemin, sahabat baik sekaligus pemilik perusahaan tempat Kai bekerja. Terlahir dari keluarga berkecukupan tak lantas membuatnya besar kepala. Pertemuan mereka dimulai sejak keduanya masih duduk di bangku menengah silam. Bak cerita drama, Kai tampil menjadi sosok pahlawan yang menyelamatkan Taemin dari segerombolan preman yang berusaha merampas uangnya. Sejak saat itu keduanya menjadi akrab.

 

iNews. Taemin sendiri yang merintis peruhaan itu, tepat setelah gelar sarjana ia kantongi. Kabar baiknya, kedua orangtua Taemin tidak memaksanya mewarisi perusahaan bisnis multinasional milik Ayahnya. Sebaliknya, kedua orangtuanya justru memberi lampu hijau begitu Taemin berniat membangun perusahaan media.

 

Singkat cerita, Taemin merekrut banyak orang untuk mengisi berbagai posisi di perusahaannya. Kai termasuk di dalamnya. Jangan kalian pikir karena mereka berteman baik. Tentu saja tidak cukup. Kai memutuskan untuk mengikuti jejak Taemin. Menempuh bangku kuliah dengan jurusan seperti Taemin. Usai menamatkan studinya, Kai bergabung dengan perusahaan Taemin.

 

Soal ibu Kai. Tentu saja Taemin mengenal baik, lebih baik dari ibunya sendiri bahkan. Kesibukan mengurus bisnis fashion, membuat ibu Taemin tak banyak menyisihkan waktu untuk anaknya. Hal itu membuat Taemin lebih betah berlama-lama di rumah Kai. Yang meski terlampau sederhana bila disandingkan dengan istana megah milik Taemin, namun di tempat itu ia merasakan kehangatan keluarga yang tak pernah ia dapat selagi di rumahnya.

 

Ibu Kai pun merawat Taemin tak ubahnya seperti anak sendiri. Saat Taemin sakit, ibu Kai tak akan mengijinkan Taemin pulang. Meski Taemin bilang akan dijemput sopirnya sekalipun. Ia akan terjaga sepanjang malam mengganti kompres untuk Taemin. Esok harinya memasakkan bubur. Sungguh sama seperti merawat Kai, tidak berbeda sedikitpun.


 

Langit di luar sana masih gelap. Segelap kulit laki-laki yang sepagi ini sudah mematut diri di depan cermin. Matahari enggan meninggalkan peraduannya. Berbeda dengan laki-laki itu yang bergegas meninggalkan peraduannya tepat setelah dering telepon yang berbunyi lebih cepat dari alarmnya. Waktu tidurnya jelas berkurang, menyisakan mata berkantung persis seperti panda.

 

“Sudah kubilang tak usah repot menyiapkan sarapan eomma, aku bisa beli di luar” suara Kai membuat ibunya yang sedang memotong sayuran sedikit terperanjat.

 

“Untuk apa beli, eomma lebih dari mampu untuk sekedar membuatkan sarapan. Tunggu sebentar lagi,” ibunya menyahut sambil membalik telur mata sapi yang dimasaknya.

 

Kai memilih duduk di meja makan sembari memeriksa kotak masuk email. Lantas membolak-balik kertas ditangannya, membaca cepat, memahami penuh isinya. Tugasnya akhir-akhir ini lebih berat. Selain dikejar deadline, suasana panas pemilihan walikota menjadi isu yang tengah hangat dibicarakan. Tugasnya sebagai reporter, menuntutnya untuk selalu update berita. Adu cepat dengan media tetangga, tak boleh kalah.

 

Sarapan sudah siap. Wangi sedap masakan menguar bersama uap panas yang mengepul. Tak ingin membuang waktu, Kai lantas menyendok, memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Pantas saja masakan seperti ini selalu menjadi favorit Taemin, begitu juga Kai. Masakan ibunya memang tak pernah mengecewakan. Kai baru saja meneguk kopi panas, saat klakson mobil berbunyi ‘bipp bipp’ berbunyi persis di depan rumahnya.

 

Eomma, aku pergi. Malam ini jangan menungguku, aku benar-benar pulang larut. Eomma tidurlah dulu” Kai berpesan kepada ibunya, sembari bangkit merapatkan mantelnya.

 

Geurae! Berjanjilah tidak melewatkan makan, algetji?” ibunya memastikan, raut wajahnya khawatir pada anak lelaki satu-satunya itu. Ibunya paham betul tugas dan risiko atas pekerjaan yang dipilih anaknya. Setiap hari ketika harus terjun ke lapangan, ibunya akan selalu melepas Kai bekerja dengan mendung di wajahnya, harap-harap cemas.

 

Kai mengangguk mantap, mengembangkan senyum, mengisyaratkan kepada ibunya untuk menepis segala kekhawatirannya. Memeluk ibunya, mencium tangannya, sekali lagi Kai berpamitan.


 

“Kau sudah membaca email yang aku kirim” senior yang saat ini duduk di kursi kemudi bertanya memastikan.

 

“Tentu saja, ada satu dua hal yang belum aku tahu Sunbae, tapi itu bisa kita bahas nanti” Kai menjawab.

 

Memasuki musim dingin, kabut tipis masih menutupi jalan. Mereka beruntung ruas jalan masih lengang. Perjalanan sejauh ini lancar, sepertinya mereka bisa tiba tepat waktu. Kai masih mengecek ulang lensa tele miliknya, memastikan dalam good condition, siap pakai. Bagi reporter kamera adalah nyawa. Sebuah gambar mampu bercerita lebih banyak dari apapun.

 

Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan mereka. Brukkkkk!!!

 

Sunbae tunggu saja disini, biar aku yang keluar,” Kai buru-buru membuka pintu mobil, masih membawa kamera ditangannya. Ia sendiri tak tahu persis apa yang terjadi, terlalu fokus dengan kameranya.

 

Persis di depan mobil seorang gadis jatuh terduduk. Mengenakan jeans hitam ketat, sweater oversize hitam, dengan sepatu sneakers. Tangannya mencoba meraih snapback yang jatuh terlempar, rambut panjangnya teurai tak beraturan.

 

“Mencari ini?” Kai bertanya sembari merendahkan badannya, tangannya teracung menyerahkan topi.

 

Gadis itu mendongak. Sepersekian detik keduanya bersitatap. Kai mengenali gadis itu, meski ini kali pertama untuknya bertemu dan melihat dalam jarak sedekat ini.

 

“Jangan mengambil gambar apapun, aku mohon” gadis itu akhirnya buka suara.

 

“Tidak akan, aku berjanji. Kau baik-baik saja?” Kai reflek memundurkan kameranya, sedikitpun ia tak berniat mengambil gambar dalam situasi ini.

 

Gadis itu mengangguk. Menata rambutnya, kemudian memasang snapback. Hendak berdiri, namun tak kuasa. Justru meringis merasakan ada yang sakit di pergelangan kakinya. Tangan Kai sudah terulur bersiap membantu. Terlambat! Lihatlah gadis itu sudah bangkit berdiri meski terkesan payah. Pergi meninggalkan Kai tanpa sepatah kata. Melihat gelagatnya, Kai yakin gadis itu tak akan mau diantar ke Rumah Sakit.

 

“Siapa? Apakah dia baik-baik saja? Apakah terluka? Ahh, bagaimana ini? Kenapa dia pergi?” senior di sebelahnya langsung memborbardir Kai dengan pertanyaan bernada panik.

 

Gwaenchanha, dia baik-baik saja. Ayo bergegas Sunbae, kita tidak boleh terlambat” Kai menjawab sekenanya.

 

Bohong! Tentu saja Kai berbohong. Kai mengenali gadis itu. Soo-Jung. Kai juga yakin dia tidak baik-baik saja. Bukan karena tertabrak mobil, ada sebab lain. Wajah gadis itu pucat, juga matanya sembab.


 

Ribuan manusia sudah menyemut setibanya Kai di TKP. Berbagai macam atribut sudah terpasang, mulai dari banner, baliho, dll yang semuanya bergambar rupa calon walikota. Tempat yang menjadi tujuan mereka adalah lokasi kampanye calon walikota Seoul Jung Won-Soon. Kai pikir jumlah yang hadir tidak pernah sebanyak ini.

 

Benar, massa yang berkumpul sebanyak ini karena dilatarbelakangi peristiwa semalam. Lebih tepatnya sejak beredar sebuah rekaman suara yang disinyalir mirip dengan suara calon Walikota ini. Sontak saja publik dibuat kaget. Demi mendengar kebenaran dari mulut sang kandidat mereka rela berbondong-bondong, berdesak- desakkan, hingga menciptakan lautan manusia ini.

 

Sunbae, apa kau yakin semua yang hadir ini adalah pendukung kandidat” Kai melontarkan pertanyaan, kepalanya masih menoleh kanan-kiri memahami situasi.

 

Geurisae (entahlah), yang jelas ini tidak akan berakhir menjadi pertumpahan darah bukan?” Sunbae yang Kai ajak bicara kali ini menanggapi serius.

 

“Apapun  itu, uri haja” Kai menepis semua keraguan, dengan suara tegas, kakinya membawanya merangsek maju, berkumpul bersama kuli tinta lainnya.


 

Hampir 1 jam dari yang dijadwalkan acara ini belum kunjung dimulai. Suara-suara gaduh dan saling bersahutan mulai terdengar riuh. Calon walikota yang namanya dielu-elukan juga belum nampak batang hidungnya. Sinar matahari yang semakin siang semakin memanas layaknya suasana di tempat itu. Satu dua orang mulai merutuk tak sabaran.

 

Arak-arakan rombongan mobil mulai merapat, suara sirine tak ketinggalan. Sebagian bernapas lega, dalam hatinya bersyukur penantiannya tidak sia-sia. Sisanya berkebalikan, mulai mengeluarkan kata-kata hujatan yang mungkin sedari tadi tertahan dalam hati. Bahkan mulai terdengar kalimat-kalimat provokatif yang sebelumnya tidak terdengar sama sekali.

 

“Dasar tak tahu mau!!!” salah seorang yang berdiri tepat di samping Kai ikut-ikutan memperkeruh suasana.

 

Tentu saja Kai tidak akan ikut menimpali, tugasnya bukan itu. Melainkan mengorek informasi sedalam mungkin. Terlebih dalam suasana seperti ini. Amat sangat efektif mendongkrak rating perusahan tempatnya bekerja. Topik ini akan menjadi trending paling tidak seminggu kedepan. Antusiame publik tergugah.

 

Sang calon walikota berhasil mencapai podium. Memasang tampang memelas, entah asli atau buatan. Desah napas panjang terdengar di microfon, sang calon belum mulai angkat suara.

 

“Kalian tidak perlu merisaukan apa yang sudah kalian dengar, mohon hanya percaya pada saya. Saya yakin banyak oramg yang ingin menjatuhkan saya dan mengambil keuntungan atas peristiwa ini” suara calon akhirnya terdengar meskipun bercampur dengan cuitan-cuitan massa yang hadir.

 

“Bohong…”suara provokatif lebih sering terdengar, disambut cemoohan yang lain.

 

Kali ini situasi semakin tak terkendali, gerombolan massa mulai mendesak maju. Satu dua mulai terlihat anarkis. Yang dilempar bukan hanya hujatan, tapi juga barang kasat mata seperti tomat, telur. Petugas keamanan yang tersebar disetiap sudut terlihat kewalahan. Bodyguard bertubuh kekar itu sigap menyelamatkan sang calon walikota. Kai buru-buru mengabadikan momen ini.

 

“Sunbae, PD-nim sudah kau hubungi?” Kai bertanya pada seniornya yang tengah memanggul kamera.

 

“Yaa, 10 menit lagi kita bisa siaran langsung Headline News. Kau siap?” senior Kai menjawab, masih dengan memanggul kamera.

 

“Harus!” Kai mengangguk penuh keyakinan.

 

Berita mengenai ricuhnya kampanye Jung Won-Soon menjadi topik pencarian nomor 1 selang beberapa detik kemudian. Kai sendiri berhasil mengisi layar kaca iNews, menyampaikan laporan terkini langsung dari lokasi kejadian. Berlatar belakang sorak sorai pendukung yang buas, membabi buta, terkesan dramatis.


Jung Won-Soon, belakangan memang banyak mengisi layar kaca. Lebih tepatnya sejak lima bulan lalu, setelah dirinya secara resmi mengatakan keikutsertaannya dalam bursa pemilihan Walikota Seoul, bersanding dengan dua calon lain. Cara kampanye ‘turun ke jalan’ banyak menyita perhatian publik. Misalnya ia secara khusus mendatangi pasar-pasar tradisional, kawasan pemukiman kurang layak, hingga ke panti penampungan orang lanjut usia dan anak-anak, sebuah ide cemerlang untuk menarik simpati publik.

 

Sayangnya, publik banyak terbuai dengan sosok sang calon yang selalu menampilkan sisi baik hatinya. Padahal bagai uang koin yang mempunyai dua sisi, begitulah rupa sang calon walikota yang namanya diagung-agungkan.

 

Media online yang konon serba canggih pun tak membantu banyak, informasi pribadi sang calon walikota tak banyak ditulis. Dari situlah, untuk memuaskan rasa penasaran Kai diam-diam melakukan risetnya. Semua dilakukan sendiri, demi menggali informasi yang menurutnnya sengaja dikubur dalam, jauh dari pandangan publik.

 

Jung Won-Soon menyandang Sarjana Hukum dari salah satu universitas ternama di negeri ginseng itu. Kekayaannya bisa dibilang fantastis. Tidak heran. Won-Soon merupakan pengacara mafia-mafia ternama yang menggerakkan bisnis haram nan ilegal. Upah setiap kali menang suatu perkara tak terhitung. Itu juga sebanding dengan usaha yang harus Won-Soon lakukan. Jalan haram pun kerap ia ambil demi menumbangkan lawannya di meja hijau. Tak terhitung perbuatan keji yang sudah ia lakoni. Dan semuanya tersimpan rapat tanpa ada yang tahu.

 

Yaaa?! Apa kau bodoh?! Hal yang paling aku benci adalah berjalan melewati lantai kotor. Kau tahu apa artinya? Singkirkan semua sampah yang menghalangi jalanku. Apa aku harus mengajarimu? Dasar tidak berguna! Satu lagi! Orang-orang miskin yang hampir mati kelaparan, lakukan apapun agar mereka di pihak kita. Sumpal mulutnya dengan uang, jatuhkan martabat calon lain, ayolah kau tentu pintar mengarang cerita. Apapun itu, lakukan! Mengerti???

 

Kurang lebih seperti itulah transkrip rekaman yang sejak semalam beredar luas. Semua pembicaraan di rekaman yang terkesan amatir itu sangat berkebalikan. Sosok calon walikota yang dikenal tulus membantu orang-orang kesusahan, seolah peduli dengan akan persoalan yang menyangkut masa depan bangsa dan negara. Dalam rekaman tersebut, meski secuil sudah mampu memberikan gambaran bahwa tabiat calon walikota tak sebaik yang selama ini publik ketahui. Bagi yang percaya.


Kai sungguhan soal berpamitan kepada ibunya akan pulang larut. Ia baru mencapai lantai dasar gedung, berjalan gontai perlahan menjauhi gedung. Meski sudah selarut ini hiruk pikuk kehidupan di perkotaan masih amat nyata. Pantas saja, untuk kota semaju Seoul memang hampir bisa disebut tak pernah tidur. Mobilitas penduduk di siang hari sangatlah tinggi. Kesibukan semua sektor tak terbendung lagi. Pun malam hari, meski dengan sisi yang berbeda.

 

Kai memilih Taxi sebagai sarananya mencapai rumah. Agar lebih cepat pikirnya. Melewati rute yang sama baik pulang maupun pergi bekerja. Sampai-sampai hafal persis deretan bangunan dan toko-toko di sepanjang jalan yang ia lalui. Sejenak pikirannya mengawang pada peristiwa yang ia alami pagi tadi. Ia masih menerka segala kemungkinan. Lamunannya terhenti ketika manik matanya mnemukan sosok yang mulai beberapa detik lalu memenuhi otaknya. Mulutnya reflek mengeluarkan perintah “stop” pada sopir Taxi pauh baya itu. Kakinya gesit menekan pedal rem.

 

Kai berlari-lari kecil mendekati halte tempat sosok tadi tengah terduduk.

 

“Apa yang kau lakukan disini? Apa kau bahkan sudah mengisi perutmu? Aku tidak bermaksud jahat, percaya padaku. Aku mengenalmu, ya walau aku yakin kau tidak” Kai bertanya sedikit kikuk.

 

Gadis dihadapan Kai menggeleng. Tapi bukan karena ia tidak mau percaya pada Kai, melainkan…

 

“Aku tidak lapar” singkat, hanya itu yang keluar dari mulut gadis yang rupanya semakin pucat pasi, lebih buruk dari tadi pagi.

 

“Berarti benar tebakanku soal kau belum makan, tarawa” kali ini nada Kai terdengar begitu lembut, penuh perhatian.

 

“Tapi aku tidak,..” gadis itu masih keras kepala, namun bunyi perutnya yang kosong menginterupsi,

 

Kkruukkk, kruukk, krukk.

 

Tanpa pikir panjang Kai langsung menarik tangan Soo-Jung, bahkan tanpa menunggu persetujuan si pemilik tangan. Memaksa Soo-Jung mengikuti langkahnya. Dari jemarinya, Kai bisa merasakan suhu tubuh Soo-Jung lebih rendah dibanding dirinya. Dingin, amat dingin. Bahkan rasa dingin itu mulai menjalar pada Kai, ia bisa merasakan itu.

 

Dengan gerakan secepat kilat, Kai membalik badan. Keduanya nyaris ‘bertumbukan’. Sekali lagi mereka bersitatap dalam jarak intim. Soo-Jung sontak memundurkan wajah.

 

“Tunggu sebentar” lagi-lagi Kai menginstruksi Soo-Jung, dan untuk kesekian kali Soo-Jung menurut pula.

 

Kai melepas mantelnya, lantas memasangkan pada Soo-Jung. Sweater saja rupanya belum mampu menghangatkan tubuh mungil Soo-Jung. Demi apapun, hal itu berarti Kai yang harus bersiap menerima dinginnya angin malam musim dingin ini. Entah kapan Kai bersikap semanis itu pada perempuan. Ataukah aslinya memang semanis itu, hanya saja ia tak sempat menunjukkan sisi manisnya lantaran tak banyak dekat dengan perempuan.

 

Setelah berjalan sepelemparan batu, mereka berdua tiba. Sebuah tempat makan yang kental gaya korea. Hal yang melegakan adalah tak banyak tamu yang datang. Soo-Jung tentu dapat duduk dengan tenang tanpa banyak yang mengenali. Dalam situasi gejolak politik yang menyangkut ayahnya, tentu publik juga akan menghujat Soo-Jung jika mereka berkesempatan bertatap muka secara langsung.

 

Kai menyodorkan segelas coklat hangat untuk Soo-Jung. Kai sepertinya akrab dengan bibi pemilik kedai makan itu. Begitu Kai mendorong pintu hendak masuk, pemilik kedai langsung mengenali Kai. Bahkan tanpa Kai menyebutkan pesanan, bibi itu terlebih dulu bertanya “seperti biasa?”. Kai mengulum senyum sembari mengangguk memberikan kepastian. Tapi kali ini dia datang tidak sendiri, jadilah Kai harus memesan menu untuk Soo-Jung juga. Lagi-lagi Kai memesan tanpa mendapat persetujuan Soo-Jung.

 

Gomawo” Soo-Jung menyambut coklat panas yang ditawarkan Kai.

 

Memegang erat gelas berharap rasa hangatnya segera merambat ke seluruh tubuhnya. Jika boleh jujur, tubuhnya sudah menggigil jauh sebelum Kai menghampiri. Ditambah perutnya yang sama sekali belum tersentuh makanan, bahkan air setetes.

 

Gwaenchanha?” Kai bertanya retoris.

 

“Tentu, sejak beberapa menit lalu” Soo-Jung memberanikan diri menatap mata hitam Kai yang amat memesona dilihat dalam jarak dekat.

 

“Maksudmu?” Kai membelalakkan mata, tak mampu mencerna maksud Soo-Jung.

 

“Saat kau datang, aku merasa senang juga bersyukur karena kau yang datang” kali ini Soo-Jung jujur, itu pengakuan tulus.

 

“Apa kau bilang?” Kai semakin tak mengerti dengan ucapan Soo-Jung.

 

“Tadi kau bilang aku tidak mengenalmu?? Kau salah besar!” sebuah pengakuan luar biasa terlontar dari mulut Soo-Jung. Kai membuka mulut tak percaya mendengar kisah setelahnya.


Bel tanda berakhir kelas meraung keras, itu karena ditambah sorak sorai suara siswa-siswi yang kegirangan. Tak sabar ingin segera mengakhiri aktivitas belajarnya. Tawa keceriaan menghiasi wajah murid-murid sekolah menengah atas ternama yang terletak di jantung kota. Bagian sedihnya, langit tak seceria itu. Sudah sejak satu jam lalu, hujan deras mengguyur. Karena alasan itu, Kai lebih memilih menghabiskan waktu dengan melatih skill bermain basketnya di lapangan utama sekolah.

 

Sementara itu Soo-Jung sejak tadi tak henti menggerutu. Sopir pribadinya mendadak memberi kabar akan terlambat menjemput. Soo-Jung tak punya pilihan lain, mengitari sekolah berharap ada hal menarik yang bisa ia kerjakan demi membunuh waktu. Hingga suara pantulan bola dan derap kaki berhasil menyita perhatiannya. Tanpa ragu, Soo-Jung mendekati sumber suara.

 

Kai sudah menanggalkan baju seragamnya, menyisakan t-shirt putih polos yang memperlihatkan lekuk tubuh atletisnya. Kemampuannya bermain basket tak bisa dibilang biasa. Kai lincah mendribbel bola, amat lihai pula menembakkan bola ke dalam keranjang. Namun sayang, nyalinya ciut. Ia tak pernah berani bergabung dengan tim basket sekolah yang kerap kali menyabet juara.

 

Soo-Jung berniat menyapa seseorang yang menurutnya sedang berlatih basket itu, siapapun! Bergabung dengan tim cheerleader membuatnya yakin mengenali semua pemain basket. Tebakannya meleset. Soo-Jung sama sekali tidak mengenali sosok itu. Langkahnya seketika terhenti. Ia belum pernah melihat seseorang yang berdiri di tengah lapangan basket se-mengagumkan itu.

Soo-Jung masih terpaku. Tanpa sadar bola basket menggelinding mendekat ke arahnya. Kai berlari kecil mengejar bola yang meluncur ke pinggir lapangan. Kai juga bertanya-tanya dalam hati “sejak kapan ada yang memperhatikan dirinya?”. Terlebih sosok yng memperhatikannya adalah wanita super hits sekelas Soo-Jung, dengan notabene semua warga sekolah mengenalnya.

Kesadaran Soo-Jung sepenuhnya sudah kembali. Ia memungut bola yang berhenti tepat di kakinya, menyerahkan pada Kai. Mendadak salah tingkah. Kai dengan cepat menerima bola. Tidak ada percakapan sama sekali. Kai langsung berbalik, mengembalikan bola ke gudang, tak berniat melanjutkan latihan yang sebenarnya ia lalukan secara rutin tapi diam-diam, tak aa seorang pun yang tahu. Sejak itu, seperti Kai yang diam-diam berlatih basket, Soo-Jung juga diam-diam bersembunyi di balik tembok memperhatikan Kai tiap kali berlatih.


Soo-Jung masih menyelesaikan menyantap semangkuk sup dihadapannya yang tinggal separuh. Sepertinya rasa sup itu sesuai dengan lidah Soo-Jung. Sempat terlintas di benak Kai untuk menambah porsi makan Soo-Jung, tapi ia mengurungkan niatnya. Soo-Jung sendiri mungkin tak bisa menjelaskan kenapa ia bisa kalap makan seperti ini. Satu sendok terakhir bertepatan dengan dering telepon Soo-Jung, tanda ada panggilan masuk. Soo-Jung penuh keraguan, dalam hatinya berkecamuk, haruskah ditolak atau diterima.

Yeoboseyo” Soo-Jung memilih menerima panggilan yang di layar handpone tertulis nama ‘Appa’.

“Sedang dimana? Pulanglah, ada yang harus Appa bicarakan” sahut seseorang diseberang telepon.

“Memangnya ada?” Soo-Jung bernada sedikit keras kali ini.

Appa tahu kau sedang kacau, semoga kau sedang bersama temanmu. Minta dia mengantarmu sampai rumah. Sampai bertemu di rumah” sambungan telepon berakhir disitu.


Demi mendengar perintah ayahnya, Soo-Jung menurut. Pulang diantar Kai. Kai bahkan bersedia mengantar hingga masuk ke dalam pintu gerbang. Dalam hatinya ia berharap dapat bertatap muka dengan calon walikota, mungkin ada sedikit informasi untuk melengkapi beritanya yang tayang esok hari. Kubur dalam-dalam harapanmu Kai!

Begitu melangkah ke dalam pintu masuk sekelompok orang yang lebih mirip dengan petugas keamanan langsung memborgol tangan Kai. Kai sama sekali tak melawan, tapi Soo-Jung berusaha melawan sebagian mereka. Soo-Jung tidak sampai diborgol hanya ‘digiring’ lembut menuju kamarnya. Baik Kai maupun Soo-Jung sama-sama tak pandai membaca situasi.


Kai saat ini sudah bersimpuh di lantai, persis di hadapan calon walikota Seoul Jung Won-Soon, ayah Soo-Jung. Kai tahu situasi macam apa ini, tabiatnya terbongkar.

“Jadi kau? Seberapa handal kemampuan hacker-mu? Berani sekali mengusik suasana tenang kampanye? Siap yang membayarmu? Lawan politik mana?” Calon walikota langsung memburu segudang pertanyaan, masih dengan nada santai sembari menegak wine.

Kai belum berniat membuka suara. Ia sama sekali tak dibayar lawan politik manapun. Semuanya ia tempuh atas kehendaknya. Berbekal kemampuan IT yang didapatnya semenjak bergabung dengan grup ekstrakulikuler semasa sekolah. Membobol sistem keamanan ketat milik calon walikota.

“Harus kuakui butuh waktu lebih  untuk menemukanmu, kau berbeda dari kebanyakan. Terlebih fakta bahwa kau reporter untuk sebuah perusahaan ternama, ini menarik” calon walikota terkekeh di ujung kalimat.

“Membaca latar belakangmu, tak banyak yang kutemukan. Aku sama sekali tak punya ingatan tentangmu. Sedikitpun tidak! Kau punya misi? Jelaskan, selagi aku masih baik-baik” calon walikota menekankan pada kalimat terakhir.

Tak ada yang bisa Kai jelaskan. Kai hanya menggeleng pelan. Tak ada yang ia takutkan, kecuali satu, ibunya.

“Sepertinya aku harus lebih keras, tidak-tidak! Sedikit saja” kali ini calon walikota terdengar lebih serius, diiringi senyum seringai di wajahnya.

Jung Won-Soon berjalan mendekat. Kai masih dikelilingi puluhan laki-laki kekar, tak tahu jumlah pastinya. Ayolah, Kai tak sempat membuang waktu untuk sekedar menghitung jumlah mereka. Yang jelas dua orang disamping kanan dan kiri Kai memegang pistol. Kai melihat dengan jelas.

Tangan Jung Won-Soon menengadah, laki-laki di samping kiri Kai mengangguk mengerti. Memindahkan pistol di tangannya kepada Jung Won-Soon. Mulut pistol sudah terarah tepat pada paha kiri Kai. Sebelum Kai menyadari, satu timah panas sudah mendarat di pahanya. Kai mengerang kesakitan, darah mengucur deras membasahi celana hitamnya, juga lantai.

“Bukankah kau sudah mendengar sendiri, aku selalu menyingkirkan sampah dihadapanku? Kau pikir itu candaan? Dasar bocah naif! Kau…” kalimat Jung Won-Soon tertahan.

“Cukup, eomma. Aku melakukan karena eomma” Kai meringis menahan sakitnya.

“Lantas apa peduliku? Ohhh, apa kalian termasuk keluarga iskin itu. Kalian tersinggung dengan ucapanku” Jung Won-Soon menyahut sombong.

“Kau bilang sudah memeriksa latar belakangku? Kau tidak memeriksa Eomma? Kau bahkan tidak memastikan? Cihhh, siapa yang naif disini Appa? Bolehkah aku memanggilmu demikian” Kai menatap lekat Jung Won-Soon.

Mendengar kalimat Kai, Jung Won-Soon hampir copot jantungnya. Lelaki itu sudah mencari ke seluruh penjuru dunia nama Kim Young-Ae, ibu Kai. Masa lalunya. Jung Won-Soon bahkan tak menyangka laki-laki dihadapnnya adalah darah dagingnya.


Kim Young-Ae muda saat itu bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah pengusaha kaya. Anak semata wayang majikannya, Jung Won-Soon rupanya menaruh hati pada Young-Ae. Gayung bersambut, kedua menjalani hubungan asmara terlarang, diam-diam.

Hingga suatu hari keduanya tertangkap basah oleh orang tua Jung Won-Soon. Young-e yang saat itu tengah mengandung Kai, diusir dari rumah besar itu. Jung Won-Soon kemudian segera dinikahkan dengan calon yang dinilai sepadan.


“Sudah cukup penderitaan Eomma, kami memang menyedihkan bukan. Hidup tanpa suami dan ayah. Aku tahu ini bukan sepenuhnya kesalahan Appa, tapi aku sama sekali tak bisa menghilangkan kebencian sedikitpun. Aku selalu menyalahkanmu, kenapa kau tak mencari kami? Apa harus begini cara kita dipertemukan? Untuk apa Appa menempuh jalan kotor? Soo-Jung, apa kau membesarkan dia dengan baik? Dia selalu terlihat menyedihkan? Tapi aku lega setidaknya aku bisa memberitahumu, Appa masih punya aku selain Soo-Jung”

Tepat di ujung kalimat, satu tembakan snipper mendarat tepat di dada Kai. Tubuhnya terkulai, Jung Won-Soon hanya bisa memandangi tanpa berkutik. Pintu dihadapannya terbuka, ada Soo-Jung dan Young-Ae yang langsung berhambur memeluk Kai. Menangis tersedu melihat kenyataan yang tersaji di hadapan mereka.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave Your Comments Juseyo ^^