[SEG Event] Musim Semi yang Berkamuflase

Musim Semi yang Berkamuflase

Theme : Spring Day

Genre : Romance, Slice of Life

Cast : Kim Seok Jin a.k.a Jin ( Bangtan Boys )

Min Hee Jin ( OC )

Minor Cast : Kim Tae Hyung a.k.a V as Seok Jin’s young-brother ( Bangtan Boys )

Yoon Se Hyun ( OC )

Rating : PG-15

Length : Oneshoot

Acara hari perpisahan telah berakhir dengan melemparkan topi toga ke langit. Tawa sekaligus bahagia yang mereka rasakan setelah hampir lima tahun mereka duduk di bangku perkuliahan. Adapula tangisan haru karena harus berpisah dengan teman-teman terdekatnya, bahkan rela berbagi momen perpisahan sebelum semuanya sirna tak terduga. Tak ada yang lebih indah selain kenangan. Itulah kata-kata setiap orang saat perpisahan terjadi.

“Mari kita foto bersama-sama!” sahut gadis bernama Min Hee Jin kepada beberapa teman seangkatannya itu.

“Hei, Kim Seok Jin!” teriak Yoon Se Hyun, teman Min Hee Jin. “Jangan engkau persempit jarakku!” keluhnya saat lelaki berwajah tampan, yang bernama Kim Seok Jin, itu tercecah ke bahu Se Hyun.

“Maafkan aku, burung galak.” Seok Jin enggan membenakan perkataan Se Hyun dengan tawa ledeknya, sebelum gadis bersurai cokelat pekat itu segera membanat lengan kekar Seok Jin. Hee Jin hanya mesem saja melihat tingkah laku Seok Jin yang sedikit kekanak-kanakkan.

Hubungan Seok Jin dan Se Hyun sudah seperti saudara kandung, tetapi mereka berbeda ibu sehingga terkadang mereka saling meledek satu sama lain. Jika ada waktunya untuk serius, Seok Jinlah yang selalu memecahkan keseriusan hingga memicu perkelahian kecil dengan Se Hyun. Sayangnya Min Hee Jin yang memiliki sikap pendiam enggan segera menengahi mereka. Mesem saja sudah cukup untuk meredakan emosinya.

Dan tibalah waktu untuk berpisah untuk melanjutkan kehidupan pribadi mereka masing-masing. Se Hyun sudah berencana untuk pindah ke Praha untuk melanjutkan studi pascasarjananya, sementara Seok Jin dan Hee Jin belum menemukan rencana pribadi mereka. Bagaimanapun kehidupan yang mereka jalani sangat berbeda-beda, tetapi tak pernah lupa untuk mengartikan kehidupan yang sesungguhnya. Sewaktu-waktu mereka dapat reuni kembali dan menceritakan kembali masa-masa terindah yang telah mereka jalani.

“Jika diantara salah satu kalian akan menikah, jangan lupa untuk mengundangku.” Ujar Se Hyun setelah saling memotret satu sama lain, menuai tawa kecil dari Seok Jin dan Hee Jin.

“Dengan senang hati, Nona Yoon.” Seok Jin membalas dengan senyumnya yang cantik, namun timbul sebuah bisikan hati Min Hee Jin ketika Seok Jin melanjutkan perkataannya. Gadis bersurai hitam itu hanya mesem saja sembari mengambal sosok rupa lelaki di sampingnya.

“Tenang saja, Se Hyun-ah,” Hee Jin pun berkata demikian, “Aku tak mungkin tak mengundangmu, asalkan kamu juga mengundang kami.”

“Baiklah. Aku berharap kalian semua ingat dengan kata-kataku.” Ucap Se Hyun penuh berharap. Sementara Seok Jin dan Hee Jin hanya manut saja tanpa menyanggah ataupun memprotes. Toh, lagipula Se Hyun adalah teman terdekat mereka. Jadi, Seok Jin dan Hee Jin benar-benar selalu ada untuk Se Hyun.

Setelah saling berfoto, tidak lama kemudian mereka pun berpisah dengan menempuh kehidupan baru. Se Hyun langsung pulang ke rumahnya untuk bergegas menuju Praha, untuk menempuh jenjang pascasarjana disana. Sementara Seok Jin dan Hee Jin memutuskan untuk makan siang bersama di warung dekat kampus karena mereka masih belum memiliki rencana apapun. Memutarkan kembali kenangan bersama Se Hyun semasa masih duduk di bangku sekolah menengah atas hingga lulus kuliah dan telah meraih gelar sarjana. Sungguh, kenangan indah yang pernah mereka miliki, ada makna tersentuh yang mampu mengubah suasana menjadi penuh duka.

Akan tetapi, apa yang Seok Jin dan Hee Jin terjadi selama di masa muda mereka, tampaknya ada benih-benih cinta yang sudah lama mereka mendekam agar Se Hyun tak merasa tersakiti dengan hubungan mereka. Bukan karena Se Hyun jatuh cinta dengan Seok Jin, melainkan ikrar yang telah mereka ucap dan digenggam penuh tanpa merusak ikrar tersebut. Siapapun di antara mereka yang melanggar, Se Hyun akan menganggap mereka adalah musuh untuk semua. Bukan juga karena Se Hyun egois, melainkan ini demi kebaikan untuk mereka semua agar persahabatan antara pria dan wanita terus berlanjut tanpa ada yang jatuh cinta satu sama lain.

Hanya Seok Jin yang masih ingat dengan ikrar tersebut. Apakah ikrar tersebut masih berlaku setelah mereka lulus sarjana, Seok Jin masih bimbang. Ia takut dengan Se Hyun yang memiliki sikap dan hati yang sensitif, meskipun dirinya sendiri yang selalu memicu keributan kecil yang berdampak besar. Bagaimana tidak, sudah lama Seok Jin dan Hee Jin saling jatuh cinta dan mereka berhak untuk saling mengencani, demi masa depan yang cerah. Sayangnya Se Hyun tipikal gadis yang mudah marah dengan orang yang melanggar janjinya. Sampai sekarang pun ikrar terus berlanjut, begitu yang dirasakan Seok Jin.

“Mengapa kita terus didekam oleh ikrar? Tak ada maknanya bagiku jika ikrar terus berlanjut.” Setiap celetukan Hee Jin selalu terlontar dari bibir tipisnya, meskipun mereka sedang tidak bersama Se Hyun.

“Dengarkan aku, Kim Seok Jin,” Hee Jin menghela napas sejenak untuk membuat Seok Jin mengerti dengan setiap ujarannya, “Jatuh cinta kepada orang yang sama adalah hak kita, bukan bergantung kepada orang lain. Lagipula, aku tahu Se Hyun mungkin cemburu berat kepadamu karena kita saling mencintai satu sama lain. Tetapi, bagaimana dia harus memahami kenyataan jika sewaktu-waktu hubungan kita berubah? Setiap orang pasti mengalami jatuh cinta secara kamuflase.” Ungkapnya penuh kekesalan dengan menahan gerutuan.

“Aku pikir ikrar yang dibuat Se Hyun masih berlaku, bahkan setelah kita lulus pun tetap berlaku.”

“Mari kita runtuhkan ikrar tersebut.”

Seok Jin menghentikan jemarinya yang tengah mengincau es buahnya dalam mangkuk, “Aku tahu kamu tak betah terkurung dalam ikrar yang bodoh itu. Aku juga sedang jatuh cinta denganmu, kemudian kita akan segera menikah, lalu kita akan membesarkan anak kita kelak. Jadi, apa yang kita tunggu? Aku ingin sekali menikah denganmu secepatnya…”

“Itu terlalu terburu-buru, Hee Jin-ah,” Seok Jin menghela napas panjang, “Aku juga ingin sekali menikah denganmu, sementara Se Hyun diundang ke pernikahan kita. Akan tetapi, bagaimana perasaannya melihat kita menikah? Dia pasti marah dan menganggap kita musuh kelak.” Ujarnya yang kemudian ditanggapi sinis Hee Jin.

“Kamu terlalu baik, Seok Jin-ah.” tak lama kemudian gadis bertubuh tinggi itu bangkit dari kursi, hendak meninggalkan Seok Jin yang kini mengobrak-abrik nasi yang telah dicampur sayur ramyun.

“Kenapa kamu ingin aku menikahimu?” tanya Seok Jin yang berhasil mengurung Hee Jin keluar dari warung. “Apakah ini yang dinamakan cinta? Belum tentu aku memutuskan untuk segera menikah denganmu. Apa kabar orang tua kita yang belum menyetujui hubungan kita? Sementara kamu dengan penuh pengharapan dan tak sabaran, berharap aku segera menikahimu? Jangan bermimpi, Min Hee Jin.” Ucapannya yang lolos dari bibir tebal Seok Jin berhasil menusuk Hee Jin yang menyakitkan. Tergambar ekspresi gadis bersurai cokelat muda yang seolah-olah tenggorokannya disekat. Tak mampu berkata lain untuk membalas ujaran Seok Jin.

“Kapankah kamu segera bersabar menunggu? Jangan terlalu berharap tinggi karena kamu mungkin akan jatuh. Jika barangkali aku tidak memilihmu untuk menikah, jangan selalu melontarkan kata negatif untukku. Itulah yang dinamakan takdir.” Hee Jin seakan-akan dirinya ingin segera meraih Seok Jin sebelum ada wanita lain yang merebutnya. Tetapi, lontaran dari setiap perkataan Seok Jin bertolak belakang dengan batin Hee Jin.

“Apakah kamu akan pulang? Silakan kamu pulang ke rumah dengan selamat. Biar aku yang membayar semua makanan ini.” Ditutup dengan Seok Jin yang mulai menghidang makanan yang tersisa, sementara Hee Jin masih enggan melangkah pulang. Hatinya menjadi berat untuk meninggalkan Seok Jin sendirian, sementara lelaki bertubuh gemuk itu tak masalah dengan hal itu.

“Aku enggan berpulang tanpamu, Seok Jin-ah.” gumam Hee Jin sembari memutar tubuhnya seperti semula. Penyesalan selalu datang terakhir dan Hee Jin sering mengalami hal itu. Tak ingin penyesalan tersebut selalu datang terakhir, hal inilah mengurung niat Hee Jin untuk melangkah pulang. Alangkah lebih baik menemani Seok Jin makan, meskipun lelaki itu masih bergantung antara ikrar dan cinta.


Terkadang, hubungan Seok Jin dan Hee Jin sudah seperti anonim. Tak ada kejelasan dibalik nama mereka setelah jatuh cinta diam-diam, tetapi tak ada kejelasan juga apa hubungan mereka. Seok Jin masih enggan menolak untuk menikahi Hee Jin karena berawal dari jatuh cinta, namun belum sampai ke inti hubungan mereka. Sementara Hee Jin ingin sekali menikah dengan Seok Jin, kendati masih terlalu dini untuk berpikir. Melanggar ikrar Se Hyun sangat bergantung kepada Seok Jin dan Hee Jin, namun Hee Jin adalah orang pertama yang melanggar. Sementara Seok Jin terlalu baik untuk harus menepati ikrar Se Hyun.

Terkadang, musim semi selalu kamuflase. Sepasang kekasih yang selalu bermesraan di depan umum, tidak lama kemudian mereka bertengkar. Seperti halnya dengan Seok Jin dan Hee Jin yang selalu beradu mulut tentang pelanggaran ikrar Se Hyun. Boleh saja Hee Jin jatuh cinta dengan Seok Jin. Toh, Seok Jin juga terlanjur jatuh hati kepada Hee Jin. Jangan lebih dulu menikah daripada berkencan. Itu adalah aturan utama Seok Jin semasa hidupnya.

“Aku benar-benar ingin menikah denganmu, Seok Jin-ah,” Hee Jin masih keras kepala untuk mengatakan hal terlarang dalam hidup Seok Jin, “Tak perlu berkencan lebih dahulu karena aku takut untuk berkencan. Itulah sebabnya aku ingin menikah denganmu.” Sepertinya Seok Jin sudah jemu dengan permintaan Hee Jin. Bahkan saat tanpa Se Hyun setiap hari, bukan hanya hari setelah kelulusan, Hee Jin adalah orang pertama yang ingin menikah dengan Seok Jin.

“Jika aku menolak, kamu harus manut padaku.”

“Tetapi, aku benar-benar ingin menikah denganmu, Seok Jin-ah.”

“Sekali aku katakan tidak, tetap tidak.”

“Seok Jin-ah.”

Perlahan suasana kian berubah jika mereka masih hendak berdebat. Seok Jin hampir berada di puncak emosi. “Aku mencintaimu, Seok Jin-ah.” tutur Hee Jin sedikit sendu, namun Seok Jin mengabaikannya. Meninggalkan gadis itu sendirian ditengah warna-warni musim semi ini.

“Biarkan aku menikah, Seok Jin-ah.” Hee Jin mulai menangis sesegukan, memandang pilu punggung lebar Seok Jin dari kejauhan. Sayangnya Seok Jin enggan menurut. Justru hal ini semakin membuat Hee Jin menangis. Tangisan pilu yang membuat musim semi menjadi kamuflase.

Memaksa kehendak seseorang tak baik. Seok Jin jemu akan permintaan Hee Jin yang menolak pemikirannya untuk menikah di usia yang belum cukup matang. Bukan karena khawatir untuk menjaga Hee Jin, Seok Jin sendiri masih takut akan kehidupan menikah. Berpikir hal ini merupakan pilihan yang tepat untuk masa depan Seok Jin.

Masih ada masa depan yang cerah, meskipun enggan memiliki rencana. Sementara Seok Jin harus kembali mempertimbangkan masa depannya itu sebelum sesuatu yang buruk terjadi. Ingin hidup bersama Hee Jin adalah impian Seok Jin, tetapi pada kenyataannya justru menolak permintaan Hee Jin. Menyesal pun demikian, tetapi Seok Jin belum memiliki penyesalan apapun.

Tak lama kemudian, Hee Jin benar-benar langsung meninggalkan Seok Jin sebelum lelaki itu menapak kembali ke rumah. Barangkali Seok Jin langsung tersadar, namun Hee Jin enggan mengagih sinyal buruk kepada Seok Jin. Telinga lelaki tampan itu telah disekat barang tak berlunak. Hatinya pun ikut terkurung untuk tak segera mengejar Hee Jin. Semuanya telah berubah dan bagaikan angin lalu saja.


“Kapan hyung akan menikah dengan seorang wanita?” Kim Tae Hyung, adik kandung Seok Jin, bertanya seraya mencomot roti jalan di mangkuk merah. Pertanyaan itu kembali terdengar sensitif di telinga Seok Jin.

“Aku tak akan menikah sebelum masa depanku cerah.” Ujarnya yang langsung disanggah Tae Hyung.

“Hei. Harus berapa lamakah hyung menunda pernikahan? Orang tua kita benar-benar ingin bertemu dengan calon menantumu. Justru hyung hanya menunggu masa depan daripada pernikahan. Apa yang terjadi dengan perkataan hyung, tuhan tak menyukai ucapan hyung yang penuh…”

“Kamu sungguh cerewet, Tae Hyung-ah.” ketus Seok Jin.

“Jika aku memang tak berniat menikahi seorang wanita, memang begitulah cara aku hidup. Apa yang salah denganku?”

“Hyung sudah berusia mendekati kepala tiga, sementara beberapa orang yang berkepala dua pun langsung menikah ketimbang harus merusak harga diri wanita.”

“Itu karena mereka saja yang ingini, bukan paksaan orang tua. Lagi pula, masih banyak lelaki yang masih enggan untuk menikah. Mereka memiliki alasan tersendiri untuk menunggu waktunya menikah.”

“Lantas mengapa hyung enggan menikah dengan wanita?” Seok Jin membeku sesaat. “Apakah karena ditolak seorang noona yang telah menyelingkuhi lelaki lain sehingga hyung enggan menikah siapapun?” Bagaimanapun Tae Hyung mafhum tentang masa lalu Seok Jin, karena mereka saling berbagi cerita tentang kesulitan dalam menjalani hidup, ternyata Seok Jin belum membuang masa lalunya yang pirau. Seorang mantan kekasihnya yang kini selingkuh dengan lelaki lain yang lebih baik darinya. Seok Jin masih enggan melupakan mantannya itu.

“Sudah hyung katakan padaku ‘setelah aku lulus, aku akan segera menikahi wanita yang aku cintai’. Akan tetapi, dimanakah janji hyung yang telah engkau genggam saat kuliah dulu?” Seok Jin merasa berat untuk menyanggah perkataan Tae Hyung. Lelaki bertubuh gemuk itu menghela napas panjang, memilih untuk mengurung di kamar apartemen untuk menenangkan pikirannya.

Sementara Tae Hyung berdecak keheranan melihat tingkah laku kakaknya itu. Apakah salah untuk saling berbagi cerita, bukan memperburuk suasana saja? Tae Hyung hanya sekedar menyarankan saja, bukan berniat mengejek atau menanggapi sinis.

“Apakah hal ini membuat hyung sensitif? Apakah salah jika aku hanya sekedar mengingat saja? Jangan bersikap begitu, hyung. Kamu masih ada aku atau tuhan yang tak ingin meninggalkanmu sendirian. Aku tahu hyung marah hanya karena masalah pernikahan. Jadi, hyung benar-benar enggan menikah dengan seorang wanita. Tetapi, tak baik hyung mengumbar kemarahan hyung kepada orang lain. Ini lebih sakit daripada hyung dicampakkan mantan hyung.” Seok Jin masih mendengar samar-samar ujaran Tae Hyung, namun mata dan telinganya ditutup untuk mengabaikan segala perkataan Tae Hyung.

“Setelah ini, aku ada kelas. Istirahatlah karena hyung pasti lelah.” Tae Hyung pul langsung melangkah untuk kembali ke kampusnya karena ada kelas jam siang menuju sore. Mengunci pintu rumah dari luar, kemudian meninggalkan rumah untuk mengejar kelas.

Seok Jin langsung terduduk lemas, dengan punggungnya masih berapit dengan pintu. Tersadar dengan segala ucapan Tae Hyung, Seok Jin tak bisa membendung air matanya. Menangis dalam diam sesaat terlintas benaknya tergambar sosok mantan kekasihnya. Lantai putih polosnya kian dibasahi banjiran air mata Seok Jin.

Terlintas kembali benaknya memotret bagaimana sang mantan kekasihnya itu bermesraan dengan lelaki lain, yang jauh lebih tampan dan baik dari Seok Jin. Meskipun sudah menghilang dari pandangan Seok Jin, tetap saja memoar enggan terhapus dari otak. Bersyukur mantan kekasihnya itu masih setia dengan Seok Jin. Semuanya menjadi mitos yang tak terduga. Tak ada lagi ucapan manis yang meluncur dari bibir mantan kekasih Seok Jin. Semuanya melebur seolah-olah diterpa angin dan menjadi abu.

Kembali lagi saat Seok Jin menolak lamaran Hee Jin untuk menikahinya, Seok Jin masih terikat dengan ikrar Se Hyun sehingga lelaki itu terus menolak. Enggan untuk segera menikahi Hee Jin dengan terburu-buru, namun ikrar Se Hyun sudah melekat akrab mendarah daging di tubuh Seok Jin. Sukar untuk melanggar ikrar tersebut, seperti perangko yang enggan berpisah dari amplop.

Biarkan masa lalu menjadi kenangan terindah untuk Seok Jin.


Waktu menunjukkan pukul lima sore, sementara Seok Jin segera bergegas menuju suatu tempat yang dapat menyiangi kesalahan tanpa melapor terlebih dahulu kepada Tae Hyung. Hanya bermodalkan tas punggung besar karena Seok Jin juga harus menginap. Membiarkan dirinya memiliki waktu tersendiri untuk menyendiri sekaligus berpikir. Barangkali juga dia dapat melupakan mantan kekasihnya yang konon tak tahu bagaimana keadaannya sekarang.

Berpamitan kepada Tae Hyung yang terkejut dan ternganga dengan kepergian Seok Jin, seakan-akan Tae Hyung enggan melepaskan Seok Jin. Tak ada yang merawat Tae Hyung selain Seok Jin, padahal Tae Hyung dapat melakukannya sendiri. Perpisahan yang cukup menyedihkan, namun Tae Hyun mulai melepaskan Seok Jin untuk bertapak. Dan pada akhirnya Seok Jin mulai bertapak di sebuah stasiun kereta api.

Saat kereta api melaju cepat, Seok Jin melamun sejenak dengan memandang langit senja. Pepohonan mulai berubah haluan menjadi merah muda. Musim semi sanggup menemani Seok Jin untuk sekarang, tatkala Seok Jin masih membayangkan sosok mantan kekasihnya itu di langit cerah. Ah… angin sejuk telah menenangkan Seok Jin. Biarkan angin mendayu, mengalunkan nyanyian yang indah untuknya.

“Apa yang kamu lakukan disini?” Seok Jin sedikit terkesiap dengan kehadiran sosok yang dia kenal sekarang. Min Hee Jin.

“Apakah kamu sedang mengikuti keinginanku untuk pergi jauh?” Seok Jin bukanlah lelaki yang mudah percaya diri.

“Bukan itu alasanku.”

“Lantas untuk apa kamu mengikutiku? Bukankah kamu orang yang mudah menolak permintaan orang lain, terutama masalah pernikahan?”

“Jangan membahas hal seperti itu lagi.”

“Aku sudah menduga kamu sedang mengikutiku, Seok Jin-ah.”

“Jangan berprasangka buruk padaku.” Hee Jin berhenti untuk berbicara omong kosong kepada Seok Jin saat Seok Jin hendak memarahi Hee Jin sebelum waktunya untuk mengumbar kemarahan. “Aku tidak mengikutimu, bahkan tak berniat melihatmu.” Ujarnya kembali pedas, namun Hee Jin tampak tak permasalahkan hal itu. Tak lama kemudian, Hee Jin melendeh di tempat duduk yang kosong. Wajah mereka kini berhadapan satu sama lain, namun Hee Jin masih mengetahui Seok Jin masih marah.

“Aku meminta maaf padamu, Seok Jin-ah.”

“Sepertinya kamu akan mengulang lagi suatu saat. Aku sudah muak dengan permintaanmu.”

“Mengapa kamu berbicara seperti itu?”

“Aku memang menyukaimu. Persetan dengan ikrar yang dibuat Se Hyun hingga aku jatuh hati padamu. Sayangnya, berikan aku waktu untuk berpikir tentang pernikahan.”

Hee Jin masih haus untuk mengajak Seok Jin untuk menikah, meskipun pada akhirnya gadis itu ambau saja.

“Orang tuaku setuju jika aku menikah denganmu. Kemarin aku merujuk mereka agar aku segera menikah denganmu. Jadi, aku ingin sekali kamu menikah denganku.” Seok Jin tertawa kecil sembari membuang wajahnya ke jendela gerbong penumpang, menganggap semuanya menjadi imaji yang mustahil.

“Lalu?”

“Aku berharap kamu segera merujuk kepada orang tuamu untuk menikahiku. Mungkin terdengar memaksa untukmu karena aku ingin memiliki masa depan yang cerah. Jika kamu masih bersikeras untuk menentang permintaanku, aku akan segera menemukan penggantimu.” Hee Jin akan berubah pikiran jika Seok Jin masih menolak permintaannya. Bukan menanggapi permintaan Hee Jin, Seok Jin mulai berpikir panjang dengan memandang wajah cantik Hee Jin. Hee Jin memang pintar dan selalu meraih nilai tertinggi di jurusannya. Seok Jin akui dia tampak sempurna di matanya. Jadi, wanita mana yang enggan dinikahi Seok Jin, meskipun lelaki itu masih segera menolaknya.

“Aku akan menunggumu hingga tiga hari kemudian untuk mempertimbang tawaranku…”

“Mari kita berkencan, Min Hee Jin.” Ucapan baru saja meluncur dari bibir tebal Seok Jin, mendebarkan perasaannya yang kian membuncah. Perlahan-lahan pikirannya kian berubah seiring musim semi yang juga berkamuflase setiap waktu. Sementara Hee Jin mengerutkan sedikit keningnya.

“Tak masalah untukku, asalkan aku ingin berkencan denganmu, bukan ingin menikah denganmu.” Tampaknya Seok Jin akan memantapkan masa depannya untuk bersama Hee Jin.

“Jika kamu masih menolak ajakanku untuk berkencan…”

“Baiklah.” Hee Jin mulai memotong pembicaraan Seok Jin sebelum Seok Jin mulai bercerocos. “Aku akan berkencan denganmu.” Ujarnya langsung setuju dengan senyum simpulnya yang indah. Begitu juga dengan Seok Jin yang merasakan jantungnya berdebar kencang. Hatinya memang bahagia, namun menolak pernikahan tetap berdiri teguh pada pendirian Seok Jin. Meskipun demikian, musim semi pada akhirnya mulai kembali cerah seiring tumbuhnya musim cinta.


Waktu terus berputar menjelang tengah malam. Seok Jin mendadak terjaga akibat kereta api yang dia tumpangi mendadak terhenti. Beberapa penumpang ikut terjaga, kemudian suasana di gerbong penumpang kian heboh. Timbul tanda tanya dari kepala Seok Jin sembari mengamati beberapa penumpang yang panik. Tidak lama kemudian, sebuah kabar dari masinis kereta tersiar dan mengumumkan bahwa kereta api mengalami mogok dan harus menunggu sekitar tiga jam. Masinis juga menghimbau agar para penumpang tetap tenang dan diperbolehkan untuk keluar dari gerbong kereta, hanya sekadar mencari udara segar saja.

Sementara Seok Jin memandang Hee Jin yang masih terpicing di tempat duduknya yang berseberangan dengannya. Seok Jin hendak membangunkan Hee Jin, tetapi keberanian tergagang. Niatnya mengajak Hee Jin untuk mencari udara segar sembari bernostalgia tentang masa-masa remaja mereka bersama Se Hyun saat menduduki sekolah menengah atas. Sayangnya Seok Jin membiarkan Hee Jin tidur saja daripada mengajaknya keluar tanpa tahu arah jalan.

Selama gerbong kereta masih mogok, Seok Jin mulai menapak menuju dasar sungai yang masih mengalir. Merasakan desis air yang sejuk dan tenang, membiarkan masa lalunya akan memudar dengan sendirinya. Seok Jin memandang bebatuan yang masih utuh sembari tangannya menjulur hingga menyentuh permukaan air sungai. Lelaki bersurai hitam itu bersyukur dengan kehidupannya sekarang, meskipun masih dilanda patah hati berkepanjangan. Tidak semuanya kenangan bersama mantan kekasihnya telah memudar seketika. Masih ada kenangan yang membekas dalam benak Seok Jin, bahkan sukar untuk membuang segalanya agar dia menjadi amnesia untuk mantan kekasihnya.

“Apa yang kamu lakukan disini?” Seok Jin mendengar samar-samar suara Hee Jin dari belakang. Tak lama kemudian, Seok Jin kembali memandang aliran sungai kala Hee Jin langsung menghampiri Seok Jin dan duduk di sampingnya di hamparan batu besar.

“Apakah ada sesuatu yang membuatmu sulit?” tanya Hee Jin lembut.

“Aku tidak bisa melupakan sesuatu yang berharga.” Jawab Seok Jin.

“Sesuatu yang berharga seperti apa yang kamu katakan?”

“Kamu mungkin akan terkejut jika aku mengatakannya padamu.”

“Katakan saja. Aku tak merasa sungkan padamu.”

Seok Jin hendak meluncurkan jawaban dari bibirnya, namun tenggorokannya kembali tersekat dan enggan untuk menjawab segera.

“Aku memiliki mantan kekasih saat kita masih kuliah dan dia adalah kakak tingkat kita. Kamu mungkin belum mengetahui kisahku sejak dulu, tetapi dia adalah wanita yang paling kucintai seumur hidupku. Meskipun dia menyelingkuhi lelaki lain, tetap dia adalah…”

“Wanitamu selamanya dalam hatimu?” Seok Jin belum sempat menyelesaikan perkataannya, namun Hee Jin menyela dengan perasaannya yang tak mudah ditebak.

“Meskipun dia adalah mantan kekasihmu, apakah kamu masih menyukainya hingga sekarang? Dia bukan lagi siapa-siapa untukmu, bahkan dia sudah hidup bahagia sekarang. Meskipun aku tak mengenal siapa mantan kekasihmu itu, bukan berarti aku tak menghormatinya. Tetapi, aku merasa sakit hati saat mengetahui kamu tengah bermesraan dengan mantan kekasihmu itu hingga kamu melamarnya untuk menikah dengannya. Itulah sebabnya aku merasa cemburu denganmu, meskipun kita saling menyukai dan jatuh cinta satu sama lain. Justru kamu mencintai wanita lain daripada aku.”

Seok Jin kembali merasa tenggorokannya tersekat. Tidak seharusnya dia menceritakan masa lalunya bersama mantan kekasihnya. Memandang Hee Jin yang marah akibat kecemburuan, Seok Jin ingin meminta maaf.

“Apakah cinta kita masih bersatu? Aku ingin menikah denganmu, namun kamu justru menolaknya jauh dariku. Apakah hal ini karena mantan kekasihmu yang menolak lamaranmu? Apakah hal ini juga menyebabkan kamu sungkan melanggar ikrar Se Hyun?”

“Hee Jin-ah…”

“Aku tak butuh ucapanmu lagi, Seok Jin-ah,” Hee Jin mulai menangis sesegukan, “Kini aku sadar bahwa aku bukanlah wanita yang tepat untukmu. Terlalu sadar hingga aku terjatuh ke lubang yang dalam. Sulit bagiku untuk bangkit kembali akibat rasa sakit yang sangat dalam. Sulit bagiku untuk mengobati kembali rasa rindu sekaligus sakit yang aku rasakan sekarang. Aku mencoba untuk membahagiakanmu, namun kamu justru membuang jauh-jauh kebahagiaan yang aku berikan padamu. Apakah kebahagiaanku tak begitu berarti bagimu?”

Merasa tak ingin dimaafkan, Hee Jin langsung bangkit dari hamparan batu besar, melangkah kembali ke gerbong kereta sejenak untuk menghapus rasa sakit yang dia alami. Mengusap kasar air matanya tanpa mendengar sahutan Seok Jin yang terasa parau.

“Bukan seperti itu yang kamu pikirkan, Hee Jin-ah.” Seok Jin segera mengejar Hee Jin, meraih tangan Hee Jin hingga tubuhnya memutar ke belakang. Hee Jin kembali dipertemukan dengan wajah tampan Seok Jin yang pilu.

“Aku tahu kamu marah padaku, tetapi jangan sampai kemarahanmu justru merugikan dirimu. Aku marah karena kamu juga sedang marah padaku. Tetapi, betapa khawatirnya aku jika kamu yang rugi.”

“Aku tak butuh alasan konyolmu itu, Seok Jin-ah.”

“Aku menolak lamaran pernikahanmu bukan karena mantan kekasihku.” Seok Jin hendak menjelaskan. “Kita memang saling jatuh cinta satu sama lain. Kita memang saling membutuhkan satu sama lain. Tetapi, aku bukanlah lelaki yang mudah membohongi perasaanmu karena kamu juga menginginkanku. Jika ini masih memberatkanmu, aku persilakan kamu untuk pergi dari kehidupanku. Tetapi, sebagai gantinya aku hendak melakukan sesuatu untukmu.” Percuma saja Hee Jin dapat menyadari segala perkataan Seok Jin. Wanita itu masih memandang benci dan dendam pada Seok Jin. Sementara Seok Jin menangkup pipi Hee Jin untuk memandangnya lebih dalam sebelum Hee Jin jatuh ke lubang yang sama.

“Aku berharap kamu tak melupakan ini.” Seok Jin langsung mengecup bibir Hee Jin lembut, melumat pelan bibir tipis wanita itu. Sayangnya Hee Jin enggan menggubris lumatan di bibirnya. Mengabaikan ciuman manis di bibirnya hingga Seok Jin mempercepat tempo ciuman. Sayangnya Hee Jin kembali dibuat sakit hati setelah Seok Jin menceritakan masa lalu.

Merasa Hee Jin mengabaikan ciumannya, Seok Jin kembali mempercepat ciumannya hingga lumatan tersebut menjadi kasar. Hee Jin mulai meringis kesakitan hingga akhirnya dia membalas ciuman yang terkesan kasar itu. Tak peduli seberapa sakit yang dia rasakan, Hee Jin tak sanggup membenci Seok Jin lebih lagi. Hee Jin benar-benar membutuhkan Seok Jin, meskipun lelaki itu sudah menjatuhkannya ke lubang yang dalam. Tangan Hee Jin sudah mulai memeluk punggung lebar Seok Jin dan memperdalam ciuman yang masih terkesan kasar dan sensasional. Menyatukan kembali cinta yang tak terlihat dan menjadi bukti nyata untuk musim semi yang terus berkamuflase.

“Aku tak bisa membencimu, Seok Jin-ah.” Hee Jin mulai melepaskan ciumannya, kemudian memeluk Seok Jin erat. “Maafkan aku yang selalu memaksamu untuk menikah denganku. Terlebih lagi aku merasa cukup sensitif akibat masa lalumu.” Ucapnya yang kembali menangis sesegukan. Mendekap Seok Jin sangat erat tanpa ada celah diantara mereka.

“Aku juga meminta maaf karena aku telah menyakiti hatimu. Aku tak ada niat menyakitimu sebelumnya.” Seok Jin menenangkan Hee Jin agar tangisannya tak semakin menjadi, kemudian melepaskan pelukan tersebut.

“Cinta mungkin memaksa kita untuk melakukan sesuatu agar cinta selalu hidup. Namun, aku mungkin berlaku kasar padamu hingga aku menolak lamaranmu. Ini bukan karena mantan kekasihku saja, melainkan aku belum siap menata masa depan yang cerah bersamamu. Aku takut jika aku kembali melukaimu dan menganggap aku adalah lelaki yang tak tahu diri.” Seok Jin mengusap pelan air mata yang terus menetes di pipi Hee Jin. Tak tega dan sungkan jika Hee Jin terus menangis dalam diam.

“Jadi, aku berharap kamu harus sabar menghadapiku sekarang. Ini masih belum aku katakan untuk menikah denganmu.” Seok Jin melanjutkan dengan menyimpulkan senyumnya.

“Kapankah aku harus menunggu jawabanmu?”

“Secepatnya. Mungkin kamu bisa ikut bersamaku setelah sampai tujuan.” Seok Jin berusaha meyakinkan Hee Jin sepenuhnya, meskipun belum sepenuhnya Hee Jin yakin. Tiba-tiba, sepasang telinga mereka mendengar kereta api kembali beroperasi hingga mengeluarkan asap yang keluar dari cerobong dengan lancar. Seok Jin dan Hee Jin juga telah melihatnya.

“Mari kita masuk ke dalam kereta api, Hee Jin-ah.” Seok Jin mulai tersenyum lebar. Hee Jin hanya mengangguk saja, meskipun wajahnya masih sembab. Pada akhirnya, mereka pun kembali masuk ke gerbong kereta karena kereta api sudah beroperasi kembali seperti semula. Menikmati indahnya malam bersama pohon musim semi yang selalu ada sepanjang jalan.

Seok Jin dan Hee Jin tak pernah malu untuk mengumbar kemesraan mereka, meskipun hanya untuk mereka. Sementara para penumpang tertidur pulas, Seok Jin dan Hee Jin saling mendekatkan diri kepada jodoh. Namun, Seok Jin masih belum ingin menikah dengan Hee Jin. Kendati demikian, Hee Jin akan selalu menunggu waktunya untuk menikah dengan Seok Jin. Menata kehidupan rumah tangga bersama Seok Jin, meskipun menunggu itu sesuatu yang mengesalkan.


Pagi menjelang siang telah tiba, sama halnya dengan kereta api yang telah tiba di stasiun dengan selamat. Seluruh penumpang segera keluar dari gerbong, terutama Seok Jin dan Hee Jin. Kini, mereka berada di tanah kelahiran Seok Jin, yakni Gyeonggi-do. Menapak kaki di tanah kelahiran Seok Jin membuat hidupnya semakin bahagia mengingat musim semi masih hidup. Ditambah lagi genggaman mesra yang mampu menyentuh hati Hee Jin penuh senyuman. Menyusuri kehidupan kota Gyeonggi-do yang kembali mewarnai hidup Seok Jin sekaligus musim semi. Tujuannya adalah mengunjungi rumah orang tua Seok Jin.

“Eomma,” ucap Seok Jin saat ibu kandungnya itu tengah menyiram tanaman di halaman depan penuh hijau, “Aku pulang dengan selamat.” Ujarnya yang membuat ibunya sedikit terharu dan memeluk anaknya yang kini tumbuh besar.

“Ibu senang jika anakku mulai tumbuh besar. Syukurlah kamu masih membaik hari ini.” Nyonya Kim – ibu kandung Seok Jin – menepuk kuat punggung Seok Jin yang berisi itu.

“Bagaimana keadaanmu, Nak?”

“Aku masih membaik, eomma.” Seok Jin hampir menangis sesaat memandang paras cantik ibunya, meskipun usianya bertambah semakin tua.

“Eomma, aku memperkenalkan seorang temanku di kampus yang sama.” Seok Jin mulai memperkenalkan Hee Jin sopan dan lembut. Kemudian, Hee Jin segera memperkenalkan diri kepada Nyonya Kim.

“Dia anak yang baik, Seok Jin-ah.” wanita beruban itu tersenyum lebar, memandang paras cantik Hee Jin yang terus membuat hati Seok Jin berdebar.

“Mungkin aku bisa jelaskan tentang dia, eomma. Mari kita masuk ke dalam.” Ajak Seok Jin penuh kebahagiaan setelah memperkenalkan Hee Jin kepada Nyonya Kim. Entah motif apa dibalik kebahagiaan Seok Jin yang sesungguhnya, kembali membuat musim semi kembali berkamuflase.

Perbincangan dilakukan saat Seok Jin sedang membawa tamu kepada ibunya. Tak pernah lupa Seok Jin selalu memperkenalkan orang yang dekat dengannya. Tak tanggung-tanggung Seok Jin memperkenalkan mantan kekasihnya kepada ibunya.

“Eomma,” ucap Seok Jin yang membuat hatinya terus berdebar setiap saat, “Ada yang ingin aku sampaikan kepada eomma.” Ujarnya.

“Katakan saja kepada saya.” Nyonya Kim membalas. Seok Jin hendak menceritakan sesuatu kepada ibunya, terlebih dulu Seok Jin melirik Hee Jin yang duduk di sampingnya.

“Saya… datang kesini untuk memperkenalkan Min Hee Jin bukan hanya sebagai teman dekat saya. Tujuan saya datang kesini untuk…” ada satu kata yang terkurung di tenggorokan Seok Jin, sementara Hee Jin justru menegang akibat harus bertemu dengan Nyonya Kim.

“Saya datang kesini untuk mengizinkan eomma untuk menikahkan aku dengan Min Hee Jin.”
DEG!
Hee Jin bukan wanita yang mudah tuli, melainkan dia masih memiliki telinga untuk mendengar percakapan seseorang. Seok Jin tengah memberi izin kepada ibunya untuk menikah dengan Hee Jin. Padahal, lelaki itu terus menolak lamaran Hee Jin berkali-kali hingga membuat wanita itu menangis. Lamaran yang Hee Jin lakukan terus ditolak Seok Jin, bahkan sudah membuat Hee Jin akhirnya mengangkat tangga dengan menunjukkan bendera putih.

Perkataan Seok Jin sejak tadi bukanlah hanya candaan belaka. Hee Jin tak salah mendengar dan hatinya telah berpacu kuat. Pikirnya Seok Jin mungkin berbincang-bincang serius dengan ibunya.

“Wanita yang kini aku temukan adalah wanita yang paling tepat untukku. Percayalah padaku bahwa aku bisa menjaganya dari segala gangguan yang akan merusak hubungan rumah tangga kami.” Jelas Seok Jin yang pada akhirnya Nyonya Kim menyetujui hubungan mereka. Dengan begitu, Seok Jin bisa menikahi Hee Jin suatu saat untuk membangun masa depan yang cerah. Hal ini membuat Hee Jin menangis dalam hati. Bertanya mengapa Seok Jin akan menikah dengannya disaat Hee Jin ditolak berkali-kali.

Setelah bertamu dan bersua dengan Nyonya Kim, Seok Jin dan Hee Jin segera keluar ke suatu tempat yang sangat indah. Tak perlu bertanya dimana tempat indah yang Seok Jin kunjungi. Hee Jin manut kepada Seok Jin saja. Menghidupkan kembali musim semi yang berkamuflase.

Tibalah Seok Jin dan Hee Jin di sebuah pohon besar. Sebuah pohon tanpa nama, namun akan selalu kukuh di tempatnya. Sebelumnya, Seok Jin dan mantan kekasihnya itu menghabiskan waktu bersama mereka di pohon itu, menjadi tempat saksi yang final sebelum pada akhirnya cinta lama mereka telah kandas menjadi abu yang tak terlihat. Untuk hari ini saja Seok Jin kembali menjadikan Hee Jin sebagai saksi dalam penyatuan cinta.

“Apakah kamu dan mantan kekasihmu pernah berkencan disini?” Bukan karena sakit hati, Hee Jin memberanikan diri untuk terbuka sedikit tentang mantan kekasih Seok Jin.

“Hanya sekali aku dan dia berkencan disini.” Jawab Seok Jin mengangguk.

“Apakah pohon tersebut memiliki makna khusus?”

“Pohon ini merupakan tempat saksi yang final dalam percintaan. Jadi, jika aku kembali menemukan sepasang kekasih yang baru, aku akan mengajaknya kesini sebelum aku harus menikah dengan sang wanita. Dan sang wanita itu adalah kamu, Min Hee Jin.” Pernyataan yang meluncur dari bibir tebal Seok Jin kembali membuat hati Hee Jin berdebar. Memandang lelaki bertubuh gemuk yang tengah mengerobok benda yang di dalam batang pohon. Menemukan sebuah kotak kecil yang tampak utuh, meskipun harus mendekam selama tiga tahun.

Alangkah terkejut Hee Jin saat Seok Jin membuka isi kotak kecil tersebut, yakni dua cincin pernikahan. Berlian yang masih berkilau cahayanya, seperti paras cantik Hee Jin yang selalu menyinari hati Seok Jin.

“Maafkan aku karena aku menolak lamaranmu untuk menikah. Tetapi, bukankah aku pernah katakan sebelumnya bahwa lelaki harus yang pertama melamar wanita sebelum pada akhirnya wanita yang pertama melamar? Itulah jawabanku.” Ujar Seok Jin yang mampu berlinang air mata di pelupuk mata Hee Jin. Bertolak belakang dengan kata hatinya yang bernada penuh kekesalan sekaligus ketidakadilan.

“Aku bukanlah tipe lelaki yang tak menyukai wanita terlebih dahulu. Itulah sebabnya aku lebih dahulu melamarmu, meskipun aku terus menolak berkali-kali. Akan tetapi, aku menyukai wanita yang dapat merubah suasana menjadi lebih baik saat suasana tersebut sedang menegang. Aku mungkin lelaki yang pengecut dan egois, namun aku melakukan hal ini demi kebaikanmu sendiri. Aku tak mungkin melepaskanmu, meskipun terkadang menyakitkan jika kamu harus melihatku berkencan dengan wanita lain. Aku juga tak mungkin meninggalkanmu, meskipun terkadang aku harus menerima resiko dari tuhan. Aku bersyukur dapat hidup bahagia selama kamu masih ada di sisiku. Jadi, aku lebih baik melamarmu daripada kamu melamarku.” Giliran Seok Jin yang harus membendungkan air matanya, memandang Hee Jin penuh cinta dan dalam.

“Apakah kamu bersedia untuk menjadi istri masa depanku?” lamar Seok Jin yang membuat hati Hee Jin terlepas dari organ tubuhnya. Wanita itu bingung harus menjawab apa. Hatinya berbunga-bunga seakan-akan dia telah berada di dunianya sendiri bersama Seok Jin.

“Aku siap untuk menjadi calon istrimu, Kim Seok Jin.” Begitulah ucapan yang meluncur dari bibir tipis Hee Jin, tak mampu menahan air matanya yang tak dapat dibendung. Jemarinya kini dihias cincin pernikahan dari Seok Jin, meskipun belum waktunya untuk menikah. Lebih tepatnya adalah cincin pasangan daripada cincin pernikahan. Begitu juga dengan jemari manis Seok Jin yang juga dikenakan cincin oleh Hee Jin.

Setelah saling bertukar cincin pasangan, mereka pun segera berpelukan sejenak untuk berbagi rasa kenyamanan satu sama lain. Hee Jin bersyukur memiliki lelaki yang sederhana dan baik seperti Kim Seok Jin. Sementara Seok Jin bersyukur memiliki wanita yang menjadi pendamping hidup seperti Min Hee Jin. Terkadang tak ada yang sempurna dari sosok seseorang, namun sepasang kekasih dapat saling melengkapi satu sama lain dan menutupi kekurangan mereka yang hanya menjadi rahasia tertentu.

Tak lama kemudian, mereka pun melepaskan pelukan hangat. Saling bertukar pandang sebelum pada akhirnya Seok Jin terlebih dahulu mengecup gemas bibir Hee Jin lamat. Saling melumat satu sama lain dengan tempo yang lambat, namun terkesan manis. Kembali saling menyalurkan perasaan mereka dan kembali saling berpelukan tanpa melepas tautan bibir mereka. Membiarkan pohon menjadi saksi untuk mereka. Tak lupa musim semi yang terus berkamuflase, namun tetap memancarkan warna cerahnya. Menjadi saksi terakhir untuk sepasang kekasih baru yang tumbuh di musim semi. Membiarkan tuhan terus menjaga satu sama lain tanpa meruntuhkan hubungan mereka dari pihak ketiga. Membiarkan sepasang kekasih terus berciuman sebagai bukti bahwa cinta masih hidup dengan cerah seperti musim semi yang terus bersemi. Dan pada akhirnya, mereka pun telah menemukan masa depan yang cerah.

“Tunggu sebentar.” Hee Jin mendadak menjauhkan bibirnya dari bibir Seok Jin. Ada satu hal yang terlupakan sebelum Seok Jin akan lupa.

“Bagaimana dengan Se Hyun? Pasti dia akan marah pada kita.”

“Tidak perlu kamu mencemaskan dia. Aku sudah menjelaskan semuanya padanya. Jadi, tak perlu khawatir tentang hal ini.”

Tak lama setelah perbincangan singkat, Seok Jin kembali memeluk Hee Jin hingga bibir mereka saling menempel satu sama lain. Kembali menghiasi warna-warni langit sebelum berdiri dihadapan publik di pelaminan. Berdecap satu sama lain penuh cinta. Sungguh manis ciuman tersebut hingga lupa jika mereka harus kembali ke rumah Seok Jin.
END

One thought on “[SEG Event] Musim Semi yang Berkamuflase

Leave Your Comments Juseyo ^^