[SEG Event] Repentance

Repentance

.

Theme: Valentine Day || Cast: Sehun EXO and Original character || Genre: Romance, angst, lil fantasy || Length: Oneshoot, 7020words || Rate: PG

Kadang, kau bisa merasa begitu menyesal atas satu hal kecil yang telah kau lakukan dalam hidupmu.

Hari itu Ahn Sooyeon benar-benar menyesal memilih bangun terlalu pagi. Mungkin saja kalau ia tak jadi orang pertama yang terjaga di rumahnya, ia takkan berakhir seperti ini. Takkan berakhir membolos seharian dari sekolahnya, takkan berakhir berkeliaran tak jelas di sepanjang jalan kota Seoul yang padat dengan pikiran kusut sampai malam turun, dan takkan berakhir mengetahui satu dua hal yang tak semestinya ia ketahui.

Jadi begini rasanya menemukan rahasia pahit yang telah lama dikubur.

Seharusnya ia tak boleh tahu tentang rahasia ini. Akan lebih baik kalau ia tak pernah tahu. Karena kini ia mendapati dirinya benar-benar kacau.

Sooyeon mengembuskan napas berat lantas mengusap keningnya yang berkeringat. Ia berhenti berjalan untuk mengamati refleksinya yang terpantul di jendela besar sebuah toko kue. Di sana pantulan dirinya sendiri tengah balik menatapnya dengan lelah. Rambut cokelatnya kusut berantakan, seragam sekolahnya tak lagi rapi, dan jejak air mata itu masih sangat kentara membekas di kedua pipinya.

Berapa banyak ia menangis hari ini? Berapa banyak ia mengutuk hidupnya sendiri?

Sooyeon tak ingat. Kepalanya terasa benar-benar berat.

Derai tawa sepasang kekasih yang baru saja keluar dari toko kue itu lantas menyentak Sooyeon. Disadarinya hanya ia seorang yang kelihatan begitu kalut di sepanjang jalan ini. Padahal wajarnya, semua orang tengah menghabiskan waktu menyenangkan bersama sosok tersayang. Lagu romantis diputar di mana-mana, cokelat dan kue manis dijajakan di setiap toko, ungkapan kasih sayang disertai pelukan dan ciuman tak absen mengisi hari itu.

Tentu saja. Siapa juga yang mau bersedih di tanggal 14 Februari seperti ini?

Sooyeon menunduk mengamati tas tangan yang sejak tadi dibawanya. Di dalamnya ia menaruh sekotak besar cokelat buatan sendiri yang telah ia siapkan sehari sebelumnya. Senyum pahit menghias bibirnya kala ia tersadar tak ada lagi niatan dalam hatinya untuk memberi cokelat itu pada sosok tersayangnya.

Usai memejamkan kedua matanya barang sejenak, Sooyeon meneruskan langkahnya yang sempat tertunda. Ia kembali berjalan sementara kepalanya terasa begitu kosong. Bahkan berpikir jernih pun ia tak mampu. Ketika lampu untuk penyeberang jalan berganti merah, Sooyeon tahu seharusnya ia berhenti. Namun kedua tungkainya justru melakukan hal sebaliknya. Seakan tak peduli dengan sebuah truk besar yang melaju dengan kecepatan tinggi dari arah barat sana.

Detik itu pula Sooyeon tahu inilah Valentine terburuk dalam hidupnya. Yang juga, akan menjadi Valentine terakhir untuknya.

Ia telah melakukan hal yang benar ‘kan?

Oh Sehun mengaduk kopinya yang tak lagi menguarkan uap hangat sementara pertanyaan tadi terus berputar di kepalanya. Pemuda itu mendecak pelan lantas mengurut pelipisnya. Hari ini ia telah mengambil satu langkah besar untuk membayar sakit hatinya sejak bertahun-tahun lalu. Seharusnya ia merasa puas, atau setidaknya lega. Namun anehnya sejumput perasaan tak enak justru mengisi dadanya hingga membuat ia tak bisa tenang. Seakan tindakan yang telah ia ambil merupakan kesalahan besar dan tak seharuskan ia lakukan.

Kerutan samar perlahan menghias keningnya. Menyesalkah ia? Menyesalkah ia telah melakukan hal itu?

Menjawab pertanyaannya sendiri, Sehun menggeleng keras. Tidak. Tentu ia tak salah. Ia pantas melakukan ini, kelewat pantas malah. Sosok itu, telah berhasil menorehkan luka kelewat dalam di hatinya. Sosok itu, yang mestinya mengisi masa kanak-kanaknya dengan kasih sayang justru meninggalkannya dan membuatnya kesakitan. Sosok itu pantas menerima pembalasan dari Sehun. Anggap saja ini bayaran atas sakit hatinya.

Embusan napas lolos dari hidung bangir Sehun setelahnya. Ia memejamkan mata sejenak, kemudian menyandarkan punggungnya yang terasa kaku pada sandaran kursi. Disapukannya pandangan ke seluruh penjuru kafe tempat ia duduk kini. Nyaris semua pengunjung duduk berpasangan sembari bertukar senyum dan gelak tawa. Nyaris semua, kecuali dirinya seorang. Rasanya sedikit janggal menemukan dirinya yang muram terjebak di antara sekumpulan orang yang tengah bersuka cita.

Mungkin, hanya Sehun seorang yang tak pernah merayakan Valentine dengan perasaan bahagia. Hari Kasih Sayang, katanya. Cih. Bahkan mendengarnya saja sudah cukup membuat Sehun muak. Baginya tanggal 14 Februari tak pernah pantas dijadikan hari kasih sayang. Ia selalu terbangun dengan setumpuk kebencian di tanggal itu setiap tahunnya.

Mungkin, karena sosok itulah 14 Februari menjadi hari yang selalu Sehun benci.

Merasa tak bisa berlama-lama lagi di tempat ini, Sehun memutuskan beranjak dari tempat duduknya. Usai membayar minumannya ia bergegas meninggalkan kafe dengan langkah lebar. Udara malam yang dingin segera menyambutnya begitu ia tiba di luar. Sambil mempercepat langkahnya, Sehun merapatkan jaket yang membalut tubuhnya.

Ia lalu mendecak kecil ketika lampu penyeberang jalan berganti merah tepat ketika kakinya hendak mengambil langkah. Terpaksa mundur kembali ke trotoar, Sehun memilih mengamati kendaraan yang berlalu-lalang dengan kencang di jalanan sana. Ketika itu, seorang gadis berseragam SMA yang baru saja tiba di sampingnya berhasil menarik atensi Sehun. Selama sepersekian sekon sebelum gadis itu beranjak, Sehun sempat melihat sorot matanya yang kosong. Juga wajahnya yang kelihatan pucat pasi. Gadis itu nampak sangat berantakan. Ia bahkan sama sekali tak melirik lampu penyeberangan ketika kedua kakinya melangkah meninggalkan trotoar.

Apa yang dilakukan gadis itu?

Sehun menemukan dirinya menjadi panik ketika sadar gadis itu berusaha membunuh dirinya sendiri. Ia tak mengerti, mereka bahkan tak saling mengenal dan sebelumnya Sehun tak pernah peduli pada apa yang dilakukan orang lain. Namun detik itu, kedua tungkainya bergerak cepat mengejar si gadis yang sudah setengah jalan melintasi zebra cross. Jantungnya berdentum keras sekali ketika Sehun menarik gadis itu tepat sebelum sebuah truk besar melintas di hadapan keduanya. Pekikan klakson dan jeritan ngeri dari orang-orang yang menyaksikan dari kejauhan seakan membekukan rungunya. Ia terpaku di sana dengan gadis itu dalam lengannya.

Napasnya masih terengah dan jantungnya masih berdegup gila-gilaan. Namun gadis itu selamat. Gadis itu selamat.

Seolah kesadarannya baru kembali, Sehun lekas-lekas menarik tangan gadis itu dan membawanya kembali ke pinggir jalanan. Diliriknya gadis itu yang kini tengah menundukan kepalanya sehingga rambut panjangnya jatuh menutupi wajahnya. Tangan dalam genggaman Sehun terasa basah oleh keringat dingin.

Ia melepaskan genggamannya begitu mereka telah kembali di trotoar. Beberapa orang segera mengerumuni mereka sembari bertanya keadaan keduanya. Gadis itu masih saja menunduk, enggan menatapnya sama sekali. Mungkin ia masih terguncang.

“Kau tahu perbuatanmu tadi itu gila.” Sehun berujar pada gadis itu. Ia tak berniat menceramahinya tentang betapa buruknya bunuh diri–karena Sehun sadar dirinya yang rusak ini tak pantas untuk bicara soal menghargai hidup pada orang lain. Maka tanpa menunggu respons apa pun, ia memutuskan berbalik dan mengambil langkah menjauh.

Namun lengannya segera ditangkap oleh sebuah tangan mungil dan membuat langkahnya terhenti. Perlahan Sehun berbalik, dan menemukan gadis tadi berdiri di hadapannya, kali ini sembari menatapnya. Wajah gadis itu masih pucat, namun setidaknya tatapannya tak lagi kosong. Sehun tahu jantungnya terasa berhenti bekerja beberapa sekon kala manik bulat gadis itu menatapnya lurus-lurus.

Manik itu … kenapa terasa tak asing?

“Aku … t-terima kasih.”

Suaranya mencicit pelan. Tatapannya pun agak goyah begitu menemukan Sehun yang balas menatapnya dengan dingin. Perlahan gadis itu melepaskan genggamannya pada lengan Sehun.

“Terima kasih karena sudah menyelamatkanku.” Ia berbisik sekali lagi.

Tak berniat menanggapi, Sehun hanya terdiam untuk sejenak. Lalu ia berbalik, dan kembali meneruskan langkahnya. Meninggalkan gadis itu yang masih memandangi punggungnya hingga ia menjauh.

Sehun tahu ada yang tak beres dalam dirinya ketika wajah gadis itu kembali terbayang di benaknya. Ia telah menyelamatkan gadis tak dikenal itu, dan kini malah teringat-ingat olehnya. Untuk sesaat berhasil membuatnya lupa akan masalah yang sebelumnya mengisi seluruh pikirannya.

“Anak muda, kemarilah sebentar.”

Seorang nenek yang menjajakan barang jualannya di pinggir jalan tiba-tiba saja melambaikan tangan pada Sehun, memintanya untuk mendekat. Sehun mengerutkan kening, ia sedang tak ingin berbelanja apa pun. Tak berniat mampir sebentar, ia memilih terus melanjutkan langkahnya. Namun tak diduga, nenek itu justru beranjak dari tempatnya dan berusaha mengejar langkah Sehun dengan tertatih-tatih.

“Aku punya sesuatu yang mungkin akan kau sukai, Nak. Berhentilah sebentar saja,” ujar nenek itu di belakangnya.

Merasa tak tega membiarkan seorang nenek tua mengejarnya begitu, Sehun memutuskan berbalik dan menghampiri si nenek. Seulas senyum lebar mengembang di wajah renta nenek itu begitu melihat Sehun mendekat padanya.

“Oh, kau anak baik.” Nenek itu berujar ketika Sehun telah berdiri di hadapannya. “Aku menjual barang-barang antik. Ketika melihatmu, entah bagaimana aku teringat pada sebuah barang yang kurasa sangat cocok untukmu.”

“Aku tidak suka barang antik.” Sehun bergumam cepat.

Nenek itu tertawa kecil sambil mengibaskan tangannya. “Kau pasti suka barang yang satu ini. Atau mungkin lebih tepatnya, kau akan membutuhkannya.”

Kening Sehun mengerut dalam mendengar ini. Diperhatikannya si nenek yang mengeluarkan sesuatu dari dalam saku mantelnya. Nenek itu lalu mengangsurkan benda itu ke hadapan Sehun. Rupanya hanya sebuah arloji tua.

“Ini. Coba lihat dulu,” cetus nenek itu sambil meletakan arlojinya di telapak tangan Sehun.

Dilihat dari sisi mana pun, tak ada yang begitu menarik dari arloji itu. Rantainya yang berwarna emas sudah kelihatan kusam. Arloji itu hanya memiliki satu anak panah jam yang berputar dengan ritme pelan. Anehnya, suara detikannya kedengaran begitu jelas di telinga Sehun.

“Kau suka, Nak?” tanya nenek itu, menatap Sehun dengan tatapan berbinar.

“Aku bisa menemukan arloji seperti ini di mana pun,” sahutnya kemudian, sama sekali tak tertarik. Ia nyaris menyerahkan kembali arloji itu, namun sang nenek segera menahannya.

Nenek itu dengan cepat menggeleng. “Arloji ini berbeda. Hanya ada satu-satunya, dan kau sangat beruntung jika memilikinya.”

Merasa nenek ini hanya berniat mempromosikan barang dagangannya, Sehun bersikeras menggeleng menolak. “Aku–”

“Satu masa dalam hidupmu kau akan bertemu dengan hari yang ingin kau ulang kembali. Entah karena hari itu terlalu sempurna hingga kau ingin merasakan keindahannya untuk kedua kalinya, atau justru karena kau telah membuat keputusan terburuk pada hari itu dan ingin mengulangnya kembali untuk memperbaiki kesalahanmu.” Nenek itu tahu-tahu memutus perkataan Sehun. Disadarinya, kali ini ada yang berbeda pada nenek itu ketika ia berujar. Tatapannya yang semula hangat, tiba-tiba saja berubah menjadi lebih gelap. “Arloji ini bisa membantumu memperbaiki kesalahanmu atau mengulang kembali masa indahmu.”

Butuh beberapa sekon bagi Sehun untuk memahami perkataan nenek itu.

“Maksudnya … aku bisa memutar ulang hari yang kuinginkan dengan arloji ini?” Ia berusaha memastikan, meskipun di telinganya sendiri kesimpulan ini bahkan kedengaran sangat tak masuk akal.

Namun nenek itu mengangguk pasti. Membenarkan kalimat Sehun tadi tanpa ragu sedikit pun.

“Tapi ingat, kau hanya punya satu kesempatan. Setelah satu kali kau menggunakan kesempatanmu itu, maka arloji ini takkan berfungsi lagi.” Nenek itu menambahkan dengan seulas senyum samar.

Sehun memandangi nenek di hadapannya agak ragu. Lalu beralih pada arloji dalam genggamannya. Benarkah ia bisa mengulang waktunya dengan arloji ini? Kedengaran sangat tidak masuk akal, sebenarnya. Namun sebagian dari dirinya memekik untuk mengantungi benda ajaib ini.

“Bagaimana … bagaimana aku menggunakannya?” Ia lantas bertanya pelan, begitu pelan sampai kedengaran seperti sebuah bisikan.

Nenek di hadapannya tersenyum. “Kau hanya perlu memutar jarumnya sebanyak tiga kali hingga ia berakhir tepat di angka dua belas, lalu fokuskan pikiranmu pada hari di mana kau ingin mengulangnya kembali. Ingatlah setiap momen dan detail pada hari itu dengan baik di benakmu, maka kau akan menemukan dirimu kembali ke sana di detik selanjutnya.”

Ini gila. Benar-benar gila.

Namun Sehun tahu dirinya menjadi lebih gila lagi ketika ia memutuskan mengeluarkan dompetnya dan mengambil sejumlah uang untuk membayar arloji ini. Ia ingin memilikinya. Karena ia punya banyak sekali penyesalan dan ingin memperbaiki rasa sesalnya itu.

Akan tetapi nenek itu lagi-lagi menahannya ketika Sehun hendak memberikan lembaran uangnya.

“Kau tidak perlu membayar untuk arloji itu, Nak,” tukas nenek itu, kali ini sembari tersenyum begitu hangat.

“Apa? Tapi kenapa?” Kening Sehun kembali mengerut tak mengerti.

“Sudah kubilang kau adalah anak baik. Anggap saja itu hadiah dariku untukmu, ya?” Nenek itu menjawab. Sebelah tangannya terangkat untuk membelai pipi Sehun dengan lembut. Permukaan tangan nenek itu terasa begitu dingin ketika bersentuhan dengan kulit wajahnya, sukses membuat ia sedikit bergidik.

“Tapi–”

“Ambil saja, Nak.”

Sehun terdiam. Lalu perlahan mengangguk kecil dan menggumakan terima kasih. Nenek itu membalasnya dengan senyuman lebar. Setelah meragu sejenak, Sehun memutuskan kembali berjalan. Kali ini dengan kantung celananya yang terasa lebih berat dengan arloji tua itu di dalamnya.

Hingga malam itu habis, Sehun tak lagi teringat pada sejumlah masalahnya yang sebelumnya mengusiknya tanpa henti.

Malam itu Sooyeon tak bisa tidur. Ia terus terjaga dengan kepalanya yang terasa penuh.

Tadi … apa yang dilakukannya?

Ia nyaris membunuh dirinya sendiri. Pikirannya terlalu kalut hingga ia bahkan tak memperhatikan apa yang tengah dilakukannya tadi. Ini semua karena paket itu. Paket yang ia temukan pagi tadi di depan pintu rumahnya. Paket yang kini ia sembunyikan di bawah tempat tidurnya.

Menggigit bibirnya, gadis itu lantas mengeluarkan paketnya dari bawah ranjang. Tidak, paket ini bukan miliknya. Sama sekali bukan miliknya. Jemarinya perlahan mengusap kertas kekuningan yang direkatkan pada bagian atas paket, sederet nama tertulis di sana menggunakan tinta hitam tebal.

Untuk Shin Yoohyeon

Kendati begitu, tak ada nama pun alamat si pengirim. Untuk kedua kalinya setelah pagi tadi, Sooyeon kembali membuka paket itu. Hal pertama yang menyambutnya ialah sebuah surat panjang yang juga ditulis menggunakan tinta hitam tebal. Si penulis surat sepertinya telah menekan penanya terlalu dalam pada kertas, hingga setiap kalimatnya terlihat menembus sampai bagian belakang. Sooyeon tak tahu apa yang membuatnya kembali berniat membaca isi surat ini–yang nyatanya telah membuat dirinya uring-uringan seharian. Namun sebagian dari dirinya seakan masih belum percaya dengan isi surat ini, hingga ia butuh waktu kedua kalinya untuk membaca ulang. Seolah ingin meyakinkan dirinya bahwa ia tak salah membaca pagi tadi.

Setelah 17 tahun tak bertemu aku bisa membayangkan seterkejut apa reaksimu mendapat kiriman dariku.

Apa aku berhasil membuatmu berkeringat dingin melihat kiriman ini? Atau mungkin kau masih tak bisa menebak siapa ‘aku’?

Ayolah. Kau tak mungkin lupa padaku–lebih tepatnya, tidak boleh. Kau tak boleh melupakanku begitu saja. Setelah menemukan orang-orang baru yang berhasil menaikan derajat sosialmu itu, kau tak semestinya menghapusku yang dulu sempat jadi bukti kesengsaraanmu ‘kan? Kau sendiri yang bilang aku hanya pengganggu buatmu. Kau sendiri yang mengklaimku sebagai noda kotor di hidupmu.

Walaupun sudah membuang dan mencampakkanku semudah itu dari hidupmu, kau tak bisa membuangku dari ingatanmu. Bahkan meski kau tak mau mengakuiku, aku tetap ada di sini, memangku status yang masih saja sama seperti dulu. Tak ada ubahnya sekalipun kau berusaha menyangkalnya.

Sooyeon berhenti di sana. Dadanya terasa menyesak membaca deretan kalimat itu. Ia bahkan belum sampai pada pertengahan surat, namun membacanya sampai sana saja sudah cukup membuatnya yakin akan satu hal. Si penulis ini menyimpan dendam dan luka teramat besar. Setiap silabel dalam suratnya kelihatan dipenuhi dengan kebencian. Ini membuatnya kelewat takut. Benar-benar takut.

“Sooyeon sayang.”

Kedua matanya melebar mendengar suara itu. Lekas-lekas Sooyeon menyembunyikan kembali surat dan paket itu ke bawah ranjangnya. Tepat ketika pintu kamarnya mengayun terbuka, ia telah kembali ke pelukan hangat selimutnya.

Sesosok wanita pertengahan empat puluh berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan teduh sembari tersenyum hangat. Sooyeon merasakan dadanya berdenyut ngilu melihat senyum itu.

“Ibu, ada apa?” tanyanya. Agak kesulitan, berusaha membalas senyum ibunya.

Perlahan ibunya mengambil langkah mendekat. Ia mendudukan diri di kaki ranjang, memandangi Sooyeon dengan lembut sebelum berujar, “Kau pulang malam sekali lalu langsung mengurung diri di kamar. Ibu mencemaskanmu, Sayang.”

Sooyeon menggigit bibir bawahnya ragu. “Aku … aku kelelahan. Maaf membuat Ibu khawatir.”

Ia tak suka berbohong pada ibunya. Namun tak ada pilihan lain yang bisa diambilnya.

“Oh, ya tentu saja.” Ibunya mengangguk paham sembari membelai puncak kepalanya dengan sayang. “Sekolah membuatmu lelah sekali, ya Sayang? Kau sudah makan malam?”

“Mm-hmm,” gumamnya sebagai jawaban.

Ibunya tersenyum mendengar ini. Ia lalu menunduk untuk mendaratkan kecupan di kening Sooyeon. Kedua mata Sooyeon lantas terpejam, diam-diam menikmati harum parfum yang menguar dari tubuh ibunya. Sejak kecil Sooyeon selalu suka harum ibunya. Ada sesuatu dalam aroma lembut itu yang membuatnya tenang dan rileks. Namun kali ini, Sooyeon tak mendapati keresahan dalam dirinya menguar pergi barang sedikit pun.

“Baiklah. Kalau begitu selamat malam, Sooyeon. Tidur yang nyenyak, ya.” Ibunya berujar dalam bisikan pelan, membelai surai Sooyeon untuk terakhir kalinya sebelum beranjak pergi.

Namun sebelah tangan Sooyeon segera meraih lengan ibunya, mengurungkannya untuk pergi.

“Ibu ….” Sooyeon ragu untuk beberapa saat, sebelum akhirnya ia menggeleng perlahan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Selamat ulang tahun. Maaf terlambat mengucapkannya.”

Rasanya aneh sekali menemukan dirinya sendiri begitu kesulitan memberi ucapan selamat ulang tahun pada ibunya, mengingat sejak bertahun-tahun lalu ia selalu jadi orang pertama yang merayakan hari ulang tahun ibunya.

Tahun ini jelas berbeda. Ada satu kenyataan yang baru ia ketahui dan membuatnya tak bisa mengulang kebiasaan lamanya itu.

“Oh, terima kasih, Sayang.” Ibunya kembali mendekat dan membawanya ke dalam sebuah pelukan erat. “Ibu pikir kau melupakannya. Terima kasih karena sudah mengingat hari ini, Sooyeon sayang.”

Dalam pelukan ibunya diam-diam Sooyeon terisak. Ia masih tak mau percaya bahwa sosok yang kini tengah memeluknya dengan hangat merupakan sosok tak berhati yang sama yang dijelaskan dalam surat penuh kebencian itu.

Sebab paket dan surat yang kini tersembunyi di bawah tempat tidurnya, memang ditujukan untuk ibunya, Shin Yoohyeon.

“Kau punya pemantik api?”

Pemuda berambut kecokelatan yang duduk di hadapannya itu menggedikan bahu. “Aku tidak merokok. Kau lupa?”

Sehun mendengus lantas memasukan kembali rokok yang tadi ia selipkan di antara bibirnya ke dalam kotak. Mengurungkan niatannya untuk mengisap tembakau itu. “Dasar pecundang.”

“Aku tak keberatan dikatai pecundang selama kesehatan paru-paruku terjaga.” Pemuda di hadapannya menukas sambil terkekeh-kekeh, kelihatan tak keberatan sama sekali dengan ejekan Sehun tadi.

“Mau bagaimana pun Kim Joonmyeon tetap Kim Joonmyeon,” decak Sehun kemudian.

Kim Joonmyeon, pemuda itu, hanya mengulas cengiran lebar kemudian meneguk jus apelnya. “Kau harus mulai memperbaiki hidupmu dari hal terkecil. Siapa yang tahu usiamu tinggal seujung kuku jari. Kau akan menyesal telah berbuat macam-macam kalau saja bisa melihat sisa umurmu.”

Mendengar ini sukses membuat Sehun mendengus. Kepalanya menggeleng-geleng tak percaya. “Bicaramu seperti orang tua, tahu tidak?”

Tukasan Sehun itu, hanya dibalas cibiran dari Joonmyeon. Ia tahu benar Sehun memang paling ahli mengatai dirinya. Kedatangan pemuda Oh itu ke kafe miliknya pun paling-paling hanya diisi obrolan tak penting yang diselingi ejekan untuknya. Joonmyeon sudah kelewat terbiasa dengan hal itu, omong-omong. Jadi ia tak merasa tersinggung sama sekali.

“Kau pergi ke mana kemarin? Aku tak melihatmu seharian.” Joonmyeon bertanya begitu ia teringat hal itu.

Di kursinya Sehun menegang. Ia mengaduk kopinya di atas meja, berusaha menghindari tatapan Joonmyeon. “Aku … menghabiskan waktuku di kampus.”

Bohong. Joonmyeon tahu Sehun tengah berbohong.

“Tapi semalam aku datang kemari.” Sehun cepat-cepat menambahkan begitu melihat raut Joonmyeon. Kali ini tentu saja ia mengatakan yang sebenarnya. “Hanya saja pengunjung kafemu terlalu banyak, jadi kau mungkin tak melihatku datang. Lagipula aku tak tahan berlama-lama di sini semalam, lagu yang kauputar berhasil membuatku mual.”

Joonmyeon tergelak setelahnya. Ia mendecak kecil lalu menoyor kening Sehun. “Wajar saja aku memutar lagu-lagu romantis begitu, kemarin hari Valentine, Bodoh. Semua orang tengah kasmaran di hari itu.”

“Semua orang, aku tidak,” tukas Sehun dengan wajah keruh. Ia lalu menambahkan dalam gumaman pelan, “Kalau saja bisa, aku akan menghapus tanggal 14 Februari dari kalenderku.”

Sejemang Joonmyeon terdiam. Diperhatikannya wajah Sehun yang perlahan berubah kian muram. Ia telah mengenal pemuda ini sejak dulu sekali. Setiap seluk beluk dalam diri Sehun, termasuk masa lalunya dan beberapa luka yang pernah didapatnya, Joonmyeon telah mengetahuinya dengan baik. Ia bisa mengerti apa yang membuat Sehun sampai seperti ini.

“Jangan begitu. Omsetku naik pesat di tanggal-tanggal seperti itu.” Lalu seakan tak bisa membaca situasi, pemuda Kim itu justru menukas dengan nada jahil, sukses membuat Sehun mengiriminya delikan maut.

Oke. Tak seharusnya Joonmyeon bercanda di saat seperti ini.

“Omong-omong, kemarin kau mengirimiku pesan tentang arloji antik, apa–”

Tepat ketika Joonmyeon berniat mengganti topik pembicaraan mereka, pintu kafe berdenting pelan, menandakan seorang pelanggan baru saja tiba. Beberapa pelayannya menyambut kedatangan pelanggan itu dengan ramah. Namun Joonmyeon sadari, atensi Sehun di sampingnya juga telah tercuri oleh kedatangan pelanggan itu. Penasaran, Joonmyeon memutar lehernya untuk menemukan seorang siswi SMA tengah memesan sesuatu di konter.

“Dia lagi.” Di sampingnya Sehun mendengus pelan, sukses membuat Joonmyeon mengerutkan kening.

“Kau kenal gadis itu?” tanyanya.

Semula Sehun kelihatan enggan menjawab. Namun akhirnya ia menggedikan bahunya sembari berujar, “Yah, semalam ada satu kejadian kecil.”

“Apa? Kejadian seperti apa?” Joonmyeon semakin penasaran kini.

Alih-alih menjawab, Sehun justru mendecak kecil sembari menghadiahi Joonmyeon tatapan jengkel. “Kenapa kau ingin tahu sekali, sih?”

Sadar perkataan Sehun ada benarnya juga, Joonmyeon mengerjap beberapa kali. “Kalau kau tidak mau cerita juga tidak masalah. Aku hanya bertanya.”

“Gadis itu nyaris bunuh diri.” Tak disangka, Sehun justru berujar pelan menjawab pertanyaan Joonmyeon sebelumnya. Meski begitu tatapannya tertuju pada gadis di seberang ruangan sana. “Dia kelihatan kacau sekali dan aku tak mengerti apa yang membuatku tergerak menyelamatkannya di saat-saat terakhir. Seakan sesuatu dalam diriku memaksaku untuk melindungi gadis itu.”

Joonmyeon bergeming di tempatnya. Sama sekali tak sangka dengan cerita Sehun tadi.

“Itu aneh sekali ‘kan?” Kali ini Sehun beralih menatap Joonmyeon. Sorot matanya pun menunjukan kebingungan yang kentara.

Joonmyeon mengangguk pelan-pelan. Ia menggaruk dagunya yang tak gatal lalu bergumam, “Iya … memang agak janggal, sih. Kalian tidak saling mengenal sebelumnya?”

Gelengan dari Sehun adalah jawaban yang kemudian Joonmyeon terima.

“Mungkin ini yang disebut ikatan batin?” tukas Joonmyeon asal-asalan, kali ini ikut mengamati si gadis SMA yang berjalan dengan lesu menuju sebuah meja dengan secangkir minuman di tangan.

“Ikatan batin apanya.” Sehun mencibir, memasang raut jijik terang-terangan.

Joonmyeon melepas kekehan kecil. Ia lalu menggaruk pelipisnya setelah menyadari satu hal. “Omong-omong dia kelihatan begitu depresi untuk remaja seusianya. Kurasa aku tidak terkejut mendengar dia berniat bunuh diri kemarin.”

Sebelah alis Sehun berjingkat tinggi mendengar ini. Diam-diam, ia menyetujui perkataan Joonmyeon barusan. Diperhatikannya sejak tadi gadis itu hanya duduk bertopang dagu sembari mengamati jalanan lewat jendela besar di sampingnya. Tatapannya lagi-lagi kosong, meski wajahnya tak sepucat kemarin. Minuman yang sebelumnya telah ia pesan pun dibiarkan tak tersentuh.

Sekali lagi Sehun menemukan ada yang janggal dalam diri gadis itu. Atau mungkin bukan dalam diri gadis itu, melainkan pada dirinya sendiri.

Sebab Sehun seakan ditahan untuk terus mengamati setiap gerak-gerik yang dibuat gadis itu. Dirinya bagai tak bosan terduduk  sambil diam-diam mengerling si gadis yang masih saja di sana. Rasanya, seperti memperhatikan sosok yang telah lama tak kau temui. Tak ada jenuh untuk terus memindai setiap jengkal dalam dirinya.

Nyatanya, ia tak pernah bertemu dengan gadis itu sebelumnya.

Aneh. Ini memang aneh sekali. Sehun bahkan tak bisa memahami perasaannya sendiri.

Pemuda itu lantas agak tersentak ketika menyadari langit di luar sana sudah mulai menggelap, malam sebentar lagi turun. Joonmyeon yang semula duduk menemaninya kini telah kembali ke dapur membantu beberapa pekerjanya. Sementara gadis itu, masih saja duduk di sana.

Detik selanjutnya, gadis itu meraih cangkir minumnya. Menyesap separuh isinya, lalu beranjak bangun dari duduknya. Tak mengerti dengan dirinya sendiri, tahu-tahu Sehun juga mengikuti manuver gadis itu. Berjalan di belakangnya, sampai mereka sampai di luar kafe.

Tepat ketika itu, rintik hujan perlahan jatuh, kian lama semakin deras.

“Hujan.”

Didengarnya gadis itu bergumam pelan. Sehun mengerlingnya, mengamati raut wajahnya yang berubah semakin muram. Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, kedua kakinya telah melangkah masuk kembali ke dalam kafe. Ia tahu Joonmyeon selalu menyimpan payung cadangan untuk pekerjanya di belakang konter. Tanpa meminta izin, disambarnya payung itu dan bergegas kembali ke luar. Gadis itu masih berdiri di sana, memandangi rinai hujan dengan lesu.

“Kau tidak bawa payung?” tanyanya begitu saja, sukses membuat gadis itu menoleh padanya.

Sooyeon punya alasan diam di kafe ini sampai berjam-jam lamanya sepulang dari sekolah. Ia masih belum bisa menatap ibunya tanpa perasaan sakit di hatinya. Rasanya jauh lebih baik berada di kafe ini ketimbang di rumah bersama ibunya.

Sejak kecil sekali, Sooyeon selalu menganggap ibunya adalah sosok paling sempurna dalam hidupnya. Sosok paling suci, paling berhati mulia. Lalu ketika mendapati paket dan surat itu dikirimi untuk ibunya, Sooyeon dapat menyimpulkan dengan mudah bahwa ibunya telah membuat kesalahan begitu besar di masa lalu.

Walaupun sudah membuang dan mencampakkanku semudah itu dari hidupmu, kau tak bisa membuangku dari ingatanmu. Bahkan meski kau tak mau mengakuiku, aku tetap ada di sini, memangku status yang masih saja sama seperti dulu.

Isi surat itu kembali berputar di kepalanya. Apa maksudnya? Siapa yang dicampakan dan dibuang oleh ibunya? Siapa yang enggan diakui oleh ibunya?

Apa yang telah ibunya lakukan dahulu?

Sooyeon tak mengerti. Namun yang pasti, rasanya sakit sekali mengetahui ini semua. Rupanya, setelah bertahun-tahun ia habiskan dengan kebahagiaan bersama ibunya, ada seseorang di luar sana yang memendam luka dan kesakitan karena ibunya.

Ia memejamkan kedua matanya kemudian menggeleng perlahan. Enggan memikirkan ini lebih jauh–meski usahanya sia-sia. Dipandanginya tetes demi tetes hujan yang jatuh dari langit dengan deras. Senyum pahit lantas terbit di bibir keringnya. Kelihatannya, ia memang tak diizinkan pulang ke rumah lebih awal.

“Kau tidak bawa payung?”

Pertanyaan itu tahu-tahu menyapa rungunya. Ia menoleh, dan mendapati seorang pemuda jangkung tengah berdiri di sampingnya. Menatapnya tanpa ekspresi, sementara sebelah tangannya menggenggam sebuah payung.

Kedua mata Sooyeon lantas melebar, menyadari siapa pemuda itu.

“K-kau … yang kemarin?”

Pemuda itu sama sekali tak menjawabnya. Ia hanya membuka payung di tangannya, kemudian mengerlingnya sembari berujar lagi, “Kalau tidak bawa payung, kau bisa ikut denganku sampai halte. Kau naik bus ‘kan?”

Sejenak Sooyeon terdiam. Tawarannya memang kedengaran sangat menggiurkan.

“Iya, aku naik bus,” jawabnya akhirnya.

Pemuda itu mengangguk, lalu mengisyaratkan Sooyeon agar ikut bergabung dengannya di bawah lindungan payung. Keduanya berjalan dengan jarak begitu dekat, berkali-kali Sooyeon merasakan bahunya bersentuhan dengan lengan pemuda itu. Ia berusaha menggeser posisi jalannya agar tak terlalu berdekatan, namun deras hujan justru jatuh membasahi bahunya.

“Jangan terlalu jauh. Kau bisa kebasahan,” tukas pemuda itu kemudian, seakan tahu apa yang tengah Sooyeon lakukan.

Kedua pipi Sooyeon terasa memanas setelahnya, entah karena alasan apa. Pada akhirnya, ia kembali mendekatkan dirinya pada pemuda itu.

“Kau kelihatan tidak baik-baik saja.”

Pemuda itu kembali berujar. Suaranya sedikit tenggelam oleh gemuruh hujan, namun Sooyeon masih bisa mendengarnya dengan cukup baik. Ia mendongak untuk memandang pemuda itu. Alih-alih menatapnya, atensi pemuda itu justru terarah pada jalanan lurus di depan mereka.

“Aku baik-baik saja,” cetus Sooyeon, mencoba menyangkal tuturan pemuda itu kendati ia sendiri pun tahu dirinya tak baik-baik saja.

Kali ini, pemuda itu beralih menatapnya. Tatapannya masih saja dingin seperti sebelumnya. “Kau tahu rasa sakitmu akan semakin dalam jika kau berusaha menyembunyikannya.”

Sooyeon menggigit bibirnya mendengar ini. Pemuda itu benar.

“Kau tidak tahu apa-apa tentang rasa sakit–”

“Aku pernah memendam rasa sakit selama bertahun-tahun. Dan aku tahu benar seburuk apa perasaan itu berakhir.” Ia menyambar perkataan Sooyeon dengan cepat. “Aku tahu seberapa menyakitkannya berpura-pura baik-baik saja ketika segala sesuatu justru berjalan begitu melelahkan. Aku tahu itu semua.”

Kedua mata Sooyeon terasa memanas mendengar ini. Bahkan perkataan begitu saja sudah cukup untuk membuatnya nyaris terisak. Ia harus mengakui bahwa setiap perkataan pemuda itu benar sepenuhnya. Seakan pemuda itu telah berhasil membaca isi hatinya hanya dengan sekali melihat.

“Ini aneh. Kita bahkan tak saling mengenal dan kau bisa menebakku tanpa keliru,” tukas Sooyeon sembari tersenyum hambar, mengubah topik agar pemuda di sampingnya ini tak sadar kedua matanya telah berembun menahan tangis.

Tak ada tanggapan yang Sooyeon terima setelahnya. Keduanya lalu berjalan dalam diam hingga tiba di halte.

“Terima kasih banyak,” ujar Sooyeon ketika bus tujuannya berhenti di depan halte. “Kau sudah menolongku untuk kedua kalinya.”

Alih-alih menjawab, pemuda itu justru mengangsurkan payung di tangannya, memberikannya pada Sooyeon.

“Kau saja yang bawa.” Ia berujar. “Aku tak masalah pulang tanpa payung.”

“Apa? Tapi–”

“Aku Oh Sehun,” selanya.

Sejenak Sooyeon terdiam.

Oh Sehun. Namanya Oh Sehun.

Lalu seulas senyum kecil menghias bibirnya.

“Aku Ahn Sooyeon,” ujarnya sembari menatap Sehun lurus-lurus. “Sekali lagi terima kasih, Sehun.”

Sama seperti yang lalu-lalu, Sehun tak menanggapi perkataannya. Pemuda itu hanya menatapnya dengan raut tak terbaca. Hingga Sooyeon masuk ke dalam bus dan terduduk di kursi di samping jendela, Sehun masih saja memandanginya.

Ragu, perlahan Sooyeon mengangkat sebelah tangannya. Ia melambai kecil pada Sehun ketika busnya mulai melaju, meski tahu pemuda itu takkan mau membalas lambaiannya. Walau begitu, sebuah senyum samar, sangat samar, perlahan terlukis di bibir tipis Sehun. Yang lantas membuat Sooyeon ikut tersenyum melihatnya.

Disadarinya, Oh Sehun telah berhasil membuatnya tersenyum dengan tulus untuk pertama kalinya setelah insiden paket tak bertuan itu.

Sebelah tangan Sooyeon kemudian terangkat untuk menyentuh dadanya sendiri.

Jantungnya … kenapa jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya?

“Kau pikir aku bahagia hidup denganmu? Kau pikir aku senang dengan apa yang kita miliki saat ini? Kau membuaku sengsara! Ahn Hyuksun bahkan berjanji bisa menghidupiku lebih layak!”

“Apa yang kau bicarakan, Yoohyeon? Kau menyesal dengan pernikahan kita?”

“Tentu saja! Kecelakaan itu, karena kecelakaan itu aku berakhir hidup denganmu. Kalau saja saat itu aku tak mabuk dan kehilangan kesadaranku, aku tak mungkin sesial ini.”

“Jangan bicara begitu, Yoohyeon. Sehun bisa mendengarmu!”

Sejenak hening mengisi ruangan itu. Bocah kecil di balik pintu kamarnya berdiri mematung, tak sangka dengan pertengkaran ayah dan ibunya. Kedua orang tuanya memang tak pernah akur, jeritan dan pekikan selalu mengisi rumah mereka. Tapi bocah itu tahu, inilah pertengkaran terburuk yang pernah terjadi.

“Sehun, kau bilang? Kau mau menggunakan anak itu untuk menahanku pergi? Yang benar saja. Justru karena anak itu aku semakin membenci hidupku, semakin membenci pernikahan sialan ini. Anak itu hanya noda kotor dalam hidupku. Jika dia tak pernah lahir, duniaku takkan runtuh seperti ini!”

“Oh Sehun anakmu, Yoohyeon! Bagaimana mungkin kau bicara seperti itu?”

“Tapi dia bukan anak yang kuinginkan! Dia kecelakaan bagiku, sama sepertimu!”

Pertahanan bocah itu runtuh seketika. Kedua kakinya terasa melemas hingga ia jatuh terduduk di lantai. Usianya memang baru lima, tapi ia tak bodoh untuk mencerna maksud perkataannya ibunya tadi.

Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin ibunya tega bicara seperti itu?

Tangisnya tak terbendung lagi. Bocah itu membiarkan air matanya jatuh, menganak sungai membasahi kedua pipinya.

Pantas saja ibunya tak pernah mau mengantarnya ke sekolah. Pantas saja ibunya tak pernah mau ia ajak bermain. Pantas saja ibunya selalu memarahinya bahkan ketika ia tak melakukan kesalahan apa pun.

Ternyata ibunya membencinya.

Ternyata ibunya tak menginginkannya.

“Ibu … kumohon jangan membenciku ….”

Sehun terbangun dari tidurnya dengan napas terengah. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya, membuat kaos tidurnya terasa menempel pada punggungnya.

Mimpi itu lagi.

Mimpi yang sama yang selalu mengusiknya tiap malam. Mimpi yang berisi kenangan terpahit dalam hidupnya.

“Mengesalkan sekali,” gumamnya sembari mengusap peluh di wajah.

Ia membaringkan kembali tubuhnya ke atas kasur sembari memejamkan mata, mencoba terlelap. Namun bukan kantuk yang lantas menyapanya, melainkan kilasan kejadian dari masa lalu. Bayangan wajah sosok itu. Serta tangisan yang selalu mengisi tiap tahunnya.

Sehun mengerang kemudian beranjak bangun dari tidurannya. Ia bersandar pada kepala ranjang, lalu mengurut pelipisnya yang mendadak terasa begitu berat.

Luka di hatinya masih terasa begitu nyata. Seakan kejadian itu baru terjadi beberapa saat lalu. Tentu saja, memangnya siapa yang bisa melupakan kenangan seperti itu? Dibenci, lalu dibuang oleh ibu kandung sendiri.

Ibunya memutuskan bercerai dengan ayahnya tepat setelah pertengkaran hebat itu. Lalu tak lama, beredar kabar bahwa ia menikah dengan direktur dari perusahaan tekstil terbesar, Ahn Group. Setelahnya ia melupakan Sehun sama sekali. Tak menganggapnya sepenuhnya seakan Sehun memang tak pernah ada dalam hidupnya.

Sehun melepas tawa pahit. Ia memang hanya sebuah kecelakaan. Ia memang anak yang tak diinginkan. Ia memang membawa kesengsaraan bagi ibunya.

Tapi pantaskah ia diperlakukan seperti ini?

Diliriknya jam digital yang ditaruh di atas nakas. Pukul tiga pagi, 18 Februari. Empat hari lalu ibunya berulang tahun. Sehun masih ingat benar tanggal itu. Satu tanggal yang membuat amarah dan kebenciannya meluap.

Mau bagaimana pun ia tak lupa mengirim ‘hadiah’ untuk ibunya. Sederhana saja, hanya sebuah album foto lama dan secarik surat. Sekadar pengingat, bahwa anak sialnya masih ada di sini. Menanti dengan sabar untuk segera menghancurkan hidup sempurnanya.

Lagi-lagi Sooyeon terjaga malam itu.

Kali ini ia terduduk di samping ranjangnya dengan sebuah album foto tua di pangkuannya serta secarik surat yang kemarin-kemarin belum sempat ia baca sampai akhir.

Perlahan ia menarik napas, bersiap kembali membaca surat itu.

Setelah 17 tahun tak bertemu aku bisa membayangkan seterkejut apa reaksimu mendapat kiriman dariku.

Apa aku berhasil membuatmu berkeringat dingin melihat kiriman ini? Atau mungkin kau masih tak bisa menebak siapa ‘aku’?

Ayolah. Kau tak mungkin lupa padaku–lebih tepatnya, tidak boleh. Kau tak boleh melupakanku begitu saja. Setelah menemukan orang-orang baru yang berhasil menaikan derajat sosialmu itu, kau tak semestinya menghapusku yang dulu sempat jadi bukti kesengsaraanmu ‘kan? Kau sendiri yang bilang aku hanya pengganggu buatmu. Kau sendiri yang mengklaimku sebagai noda kotor di hidupmu.

Walaupun sudah membuang dan mencampakkanku semudah itu dari hidupmu, kau tak bisa membuangku dari ingatanmu. Bahkan meski kau tak mau mengakuiku, aku tetap ada di sini, memangku status yang masih saja sama seperti dulu. Tak ada ubahnya sekalipun kau berusaha menyangkalnya.

Kau harus ingat, bagaimana pun aku tetaplah anakmu. Anak yang dahulu kau hina, yang kau anggap pembawa sial, yang kau buang begitu saja. Kau pikir hidupmu bisa berubah sempurna setelah menyakitiku? Kau pikir kau bisa hidup tenang?

Tidak. Tentu tidak.

Aku takkan mengizinkanmu seperti itu. Kau harus mengerti, segala yang kau lakukan punya akibat tersendiri. Karena itu, tunggu saja akibat yang akan datang dari keputusanmu membuangku dahulu.

Anak sialmu

Sooyeon menekap mulutnya tak percaya begitu ia usai membaca surat itu. Apa maksudnya ini semua?

Jadi … jadi selama ini ibunya memiliki anak yang lain?

Tidak mungkin. Ibunya tak pernah bercerita apa pun tentang ini.

Berpikir mungkin album itu dapat memberinya petunjuk, Sooyeon cepat-cepat membukanya. Isinya hanya sekumpulan foto-foto seorang bocah lelaki bersama seorang pria. Semakin Sooyeon membalik halamannya, setiap foto seakan menunjukan pertumbuhan bocah lelaki itu. Dimulai dari foto-foto masa kecilnya, hingga foto remajanya.

Keningnya lantas mengerut. Kenapa ia merasa tak asing dengan lelaki remaja dalam foto-foto ini?

Kenapa ia kelihatan seperti … Oh Sehun?

Hingga ketika Sooyeon sampai di halaman terakhir, di mana tertempel sebuah foto yang memotret tampilan lelaki itu setelah ia dewasa, Sooyeon tahu kebingungannya tadi segera terjawab.

Lelaki itu memang Oh Sehun.

Jantungnya seakan berhenti berdegup detik itu pula.

Jadi kiriman ini berasal dari Oh Sehun.

Jadi anak yang dibuang oleh ibunya adalah Oh Sehun.

Jadi ia dan pemuda itu merupakan sepasang saudara.

Separuh jiwanya seakan melayang meninggalkan raganya saat itu pula. Rasanya masih sulit sekali untuk percaya ini semua. Bagaimana … bagaimana mungkin hal ini terjadi?

“Terima kasih payungnya. Kau telah menolongku lagi dan lagi.” Sooyeon menyerahkan payung di tangannya pada Sehun. Ia bersyukur mudah sekali menemui Sehun karena pemuda itu sering menghabiskan waktunya di kafe ini.

Sehun mengangguk lalu mengambil payung itu. Bergegas menyembunyikannya di bawah meja karena tak ingin Joonmyeon melihatnya membawa payung miliknya tanpa izin.

“Aku … sebenarnya ada yang ingin kubicarakan.”

Sebelah alis Sehun berjingkat mendengar ini. “Apa?”

Gadis di hadapannya ini semula kelihatan ragu. Namun kemudian ia menarik napas, seakan bersiap mengatakan hal selanjutnya. Perlahan ia meletakan sebuah paper bag ke atas meja. Dikeluarkannya benda-benda di dalam paper bag itu, seketika membuat Sehun membeliak terlejut melihatnya.

Album dan surat itu … bagaimana bisa ada pada Sooyeon?

“Ini, kau yang mengirimnya?” Ia bertanya ragu-ragu.

Suara Sehun terasa tercekat di kerongkongannya. Matanya menatap Sooyeon tajam ketika ia mendesis, “Bagaimana ini semua bisa ada padamu?”

Sooyeon menggigit bibirnya, enggan segera menjawab. Sementara Sehun mengiriminya tatapan mengintimidasi yang sukses membuatnya mengkeret. Pemuda di hadapannya ini kelihatan menakutkan.

Diamnya Sooyeon sudah cukup untuk Sehun menyimpulkan jawabannya sendiri. Ia mendengus, kemudian membuang tatapannya ke samping. Tak percaya dengan kenyataan yang baru saja diketahuinya.

“Jadi kau anak dari wanita itu?” cetusnya, suaranya rendah, membuat Sooyeon semakin gemetar.

“Aku … aku juga baru mengetahui ini semua. Sebelumnya aku tak tahu ibuku–ibu bisa berbuat seperti itu.” Sooyeon menyahut takut-takut, matanya mulai memanas. “Maafkan aku, Sehun. Aku sama sekali tak tahu, ibu tak pernah mengatakan apa pun sebelumnya.”

Beberapa hari lalu Sooyeon pikir dirinyalah yang paling terluka setelah mengetahui rahasia ibunya. Namun ketika menemukan fakta sebenarnya, ia sadari justru Sehun-lah yang paling menderita selama ini.

“Aku pernah memendam rasa sakit selama bertahun-tahun. Dan aku tahu benar seburuk apa perasaan itu berakhir. Aku tahu seberapa menyakitkannya berpura-pura baik-baik saja ketika segala sesuatu justru berjalan begitu melelahkan. Aku tahu itu semua.”

Tentu saja.

Perkataannya saat itu juga merujuk pada kejadian ini.

Sehun telah memendam rasa sakitnya selama bertahun-tahun. Telah berpura-pura baik-baik saja selama bertahun-tahun. Dan itu semua karena tindakan ibunya.

Sementara Sooyeon berbahagia bersama ibunya, justru di sisi lain Sehun menahan luka dan rasa sakit.

Mau bagaimana pun ia ikut merasakan sakit memikirkan ini.

Bagaimana bisa ibunya setega itu pada Sehun? Bagaimana bisa ia tak sadar sama sekali tentang ini?

“Kau pikir maafmu itu ada gunanya?” tukas Sehun kemudian. Suaranya begitu dingin, dan ia menatap Sooyeon tajam. “Kau pikir rasa menyesalmu bisa mengobatiku? Rasa kasihanmu bisa mengembalikan apa yang telah pergi dariku?”

Napas Sooyeon menyesak mendengar ini. “Aku … aku–”

Bergegas Sehun menyentak bangun dari duduknya. Membuat Sooyeon terkesiap dan mengatupkan mulutnya.

“Kau tahu, aku menyesal telah menyelamatkanmu hari itu. Kalau saja aku tahu siapa kau sebenarnya, akan kubiarkan kau menyeberang jalanan itu.”

Hanya mendengar tuturan itu disampaikan dengan dingin oleh Sehun, sudah cukup untuk membuat Sooyeon tahu seberapa bencinya pemuda itu padanya.

Ketika Sehun beranjak pergi meninggalkannya, Sooyeon mengubur wajahnya di lipatan tangan, terisak tak terkendali di sana.

Maafkan aku, Sehun.

Jadi Ahn Sooyeon adalah adiknya? Jadi gadis yang ia selamatkan tempo hari adalah anak dari wanita yang ia benci?

Semula Sehun berniat menghancurkan hidup ibunya dengan mengirimi paket itu, menerornya dengan kiriman darinya. Ia tak pernah menyangka justru Sooyeon yang kemudian menemukan paket itu lebih dulu.

Kalau saja saat itu Sehun tak menyelamatkan Sooyeon, mungkin rencananya menghancurkan hidup ibunya akan berhasil. Lalu kenapa ia justru menyelamatkan gadis itu?

Perasaannya mendadak kacau. Tak seharusnya begini. Seharusnya bukan begini akhirnya.

“Satu masa dalam hidupmu kau akan bertemu dengan hari yang ingin kau ulang kembali. Entah karena hari itu terlalu sempurna hingga kau ingin merasakan keindahannya untuk kedua kalinya, atau justru karena kau telah membuat keputusan terburuk pada hari itu dan ingin mengulangnya kembali untuk memperbaiki kesalahanmu.”

Lantas kalimat nenek itu kembali berputar di kepalanya. Diamatinya arloji tua yang kini melingkari tangannya. Haruskah?

Ia yakin telah menemukan hari yang ingin diulangnya kembali, untuk kemudian memperbaiki kesalahannya.

Tapi nenek itu bilang arloji ini hanya bisa digunakan satu kali. Tak akan menyesalkah ia menggunakannya untuk kesempatan ini?

Tidak. Ini keputusan tepat yang ia ambil.

Maka tanpa berpikir lebih panjang lagi Sehun memutar jarum jam di arloji itu sebanyak tiga kali, membiarkannya berakhir tepat di angka dua belas. Ia memejamkan kedua matanya. Sekuat tenaga mencoba mengingat kembali setiap detail dari kejadian yang ingin diulangnya.

Angin malam yang berembus dingin. Lagu-lagu romantis yang diputar di seluruh penjuru. Aroma manis cokelat dan permen. Derap langkah pejalan kaki di trotoar. Deru kendaraan yang melaju kencang.

Lalu tak lama sekelilingnya terasa berguncang, kepalanya terasa pening, dan tubuhnya bagai ditarik ke berbagai arah oleh tangan-tangan tak terlihat. Sehun merasa perutnya berputar mual, ia nyaris memekik ngilu ketika akhirnya kedua kakinya memijak jalanan yang keras.

Rungunya merupakan indera pertama yang bekerja. Didengarnya deru mobil dan motor, serta alunan lagu-lagu mendayu dari kejauhan. Perlahan Sehun membuka kedua matanya, dan jantungnya bertalu lebih cepat ketika kemudian disadarinya ia telah kembali.

Ia telah kembali pada hari Valentine itu.

Kejadian yang sama persis seperti sebelumnya kembali terulang. Dimulai dari lampu penyeberang jalan yang berganti merah, hingga truk besar yang melaju kelewat kencang dari arah barat sana.

Cepat-cepat Sehun memutar kepalanya, untuk kemudian menemukan gadis berseragam SMA berjalan dengan raut kosong tak jauh darinya. Itu Ahn Sooyeon. Gadis itu akan menyeberang tanpa melihat-lihat.

Sehun merasakan jantungnya berdebar semakin liar.

Seharusnya ia mengejar Sooyeon sekarang, menariknya menjauh seperti yang ia lakukan saat itu.

Namun ia hanya memaku di tempatnya. Menyaksikan gadis itu terus berjalan sementara truk dari arah berlawanan semakin dekat. Orang-orang di sekitar mulai memekik ngeri, meski Sooyeon sama sekali tak berhenti.

Dan Sehun sama sekali tak mencoba menghentikannya.

Ini ‘kan yang ia mau? Ia sendiri ‘kan yang menyesal telah menyelamatkan Sooyeon?

Ia telah melakukan hal yang benar dengan tak menyelamatkannya ‘kan?

“Kau tahu, aku menyesal telah menyelamatkanmu hari itu. Kalau saja aku tahu siapa kau sebenarnya, akan kubiarkan kau menyeberang jalanan itu.”

Ia bilang ia menyesal telah menyelamatkan Sooyeon.

Kini setelah tahu siapa Sooyeon ia benar-benar membiarkannya begitu saja.

Brak!

Seisi dunianya lantas terasa terhenti. Ketika pekikan orang-orang di sekitarnya semakin menggila, dan beberapa mulai berlarian mendekati jalanan yang kini membeku, Sehun menemukan dirinya berubah hampa. Dari kejauhan dilihatnya orang-orang berkerumun, kerusuhan dengan cepat terjadi, dan ia hanya terpaku di tempatnya.

Apa ini? Kenapa ia tak merasa puas? Kenapa ia tak merasa lega?

Sehun menggeleng pada dirinya sendiri. Tanpa sadar kedua kakinya mengambil langkah mundur sementara ribuan tanya mulai menyelimuti dirinya.

Bukankah ia mengulang hari ini untuk memperbaiki penyesalannya? Untuk memperbaiki kesalahannya?

Lalu kenapa ia justru merasa … semakin menyesal?

“Nak.”

Sehun tersentak kala seseorang menepuk lengannya. Dengan cepat ia menoleh, dan menemukan nenek yang menjual arloji tuanya tengah berdiri di sana. Senyum hangat dan raut ramah masih terpeta di wajah senjanya.

“Kau sudah menggunakan arlojimu, ya?” Ia bertanya lembut, dikerlingnya sekilas kerumunan besar di tengah jalan sana. Ia lantas menghela napas, dan mengirimi Sehun satu senyum terakhir. “Kuharap kau tak menyesali keputusanmu, Nak.”

Sehun menggeleng kecil. Ia bahkan tak tahu bagaimana perasaannya saat ini.

“Sehun, kau lihat payung yang kutaruh di belakang konter? Jimin bilang ia mau memakainya untuk ke mini market–hei, kau dengar aku tidak, sih?”

Hujan lagi.

Seharusnya saat ini ia tengah mengantar Sooyeon sampai ke halte.

Diam-diam ia tersenyum sedih. Ditatapnya rintik hujan yang jatuh kian deras membasahi tanah. Ada satu rasa yang kini tengah membebani hatinya ketika ia mengingat Sooyeon.

Menyesalkah ia?

Menyesalkah ia telah memutar waktu dan membiarkan Sooyeon terbunuh?

Baru disadarinya, bahwa rupanya hari yang paling ia sesali bukanlah hari di mana ia menyelamatkan Sooyeon. Melainkan hari ketika ia memilih mengulang waktunya dan membiarkan Sooyeon terbunuh.

Ditatapnya arloji yang masih saja melingkari pergelangan tangannya. Benar kata nenek itu. Arloji tua ini sudah mati tak berfungsi lagi. Namun seakan ada satu harapan dalam hati Sehun, jika saja arloji ini masih bisa berfungsi, dan memberikannya satu kesempatan memutar waktu kembali.

“Ah, di sini ternyata. Buat apa, sih kau bawa-bawa payung ini? Aku mencarinya ke mana-mana, tahu.” Joonmyeon tahu-tahu muncul di sampingnya, merebut payung yang semula tengah Sehun genggam, lantas menyerahkannya pada salah satu pekerjanya. “Kau kenapa, sih? Kelihatannya muram sekali.”

“Joonmyeon.”

“Ha?”

“Kalau kau diberi satu kesempatan mengulang salah satu waktumu, kau mau mengulang kejadian bagaimana?” Sehun menoleh pada Joonmyeon, menatapnya lurus-lurus.

Joonmyeon mengerjap beberapa kali. Ia menggaruk dagunya, berpikir untuk sejenak.

“Yah … kalau pun ada kesempatan begitu, aku tidak akan mau menggunakannya.”

Seketika kening Sehun mengerut mendengar ini. “Kenapa?”

Senyum Joonmyeon melebar setelahnya. Ia menepuk pundak Sehun, kemudian berujar, “Kau tahu, kurasa apa pun yang sudah terjadi dalam hidupku merupakan yang terbaik. Karena itu, jika aku memaksakan diri untuk mengulang waktuku dan mengubah apa yang semestinya terjadi, bisa saja justru hal buruk yang akhirnya kudapat.”

Perkataan Joonmyeon tadi, berhasil membuat Sehun tercenung. Ia terdiam, dan mengamati arloji di tangannya.

Joonmyeon memang benar.

Setelah ia memaksakan diri memutar kembali waktunya, kini ia justru merasa jauh lebih buruk dari sebelumnya. Rasa sesalnya atas kematian Sooyeon, seakan tak bisa terobati.

Ia benar-benar menyesal, dan sama sekali tak punya kuasa untuk memperbaikinya.

Sambil tersenyum sedih, Sehun melepas arlojinya kemudian mengantunginya ke dalam saku celana.

Mungkin, memang inilah yang sepantasnya ia dapatkan.

Leave Your Comments Juseyo ^^