More Than Alteration [Chapter 1]

MORE THAN ALTERATION

Cast:

CAST MTAGenre:

Romance, Family, Angst, Hurt/ comfort, Friendship

Rating untuk part 1: PG – 13

Rating untuk FF keseluruhan: PG – 15

Length: Multichapter

Tuk! Tuk! Tuk!

Terdengar suara ketukan – nyaring di dalam ruangan berukuran 10 kali10 meter. Ruangan yang cukup besar untuk seorang CEO sebuah agensi hiburan ternama di Korea Selatan.

Tuk! Tuk! Tuk!

Lagi – suara ketukan itu seakan menggelitik telinga tiga orang pemuda yang duduk manis di atas sofa berwarna abu tua – di tengah ruang kerja sang CEO. Tanpa menghiraukan sensitifitas indera pendengaran tiga idolnya, sang CEO masih asyik mengetuk-ngetukkan pulpen mahalnya pada meja kaca yang berdiri di depannya. Pria berusia 30 tahun itu mengerutkan keningnya – mencari jawaban yang tepat atas permintaan tiga idol topnya. Sesaat, pria bernama Choi Siwon itu menghela nafas panjang dan hendak mengatakan sesuatu saat itu juga.

“Baiklah. Aku akan mengijinkan kalian mengadakan bakti sosial. Sebenarnya agensi juga tengah merencanakan acara sosial seperti itu. Hanya saja… kita masih memerlukan sponsor untuk mendanai acara itu. Apapun acara yang diselenggarakan – harus menguntungkan untuk perusahaan kita.” Akhirnya setelah ditunggu selama lebih dari lima menit – CEO Choi angkat bicara – memberikan jawaban untuk Ken, Leo, dan Hakyeon.

Ketiga idolnya mengajukan ide untuk mengadakan sebuah acara amal sebagai salah satu bentuk kepedulian sosial.

“CEO-nim, masalah sponsor… biarkan kami ikut membantu. Kebetulan saya memiliki koneksi dengan salah satu perusahaan besar ternama,” usul Ken. Yang dikatakan Ken memang benar. Dia memiliki banyak kenalan atau kerabat yang bekerja di perusahaan-perusahaan terkenal dan ayahnya sendiri merupakan salah satu chaebol di Korea Selatan.

“Kami yakin acara ini akan sangat bermanfaat untuk semua orang, termasuk perusahaan,” tambah Hakyeon yang memang sangat mendukung ide cemerlang itu.

Choi Siwon mengangguk kecil. Sedetik kemudian ia melebarkan senyum seraya berkata,”Aku bangga pada kalian bertiga.”

Sontak kalimat tersebut mengundang gelak tawa dari Hakyeon dan Ken, sedangkan Leo hanya tersenyum semanis madu.

“Ngomong-ngomong… acara sosial itu… ide siapa?”

Pertanyaan Siwon langsung dijawab dengan isyarat jari telunjuk Hakyeon dan Ken yang kompak menunjuk ke arah Leo. “Ide Leo hyung, CEO-nim,” ujar Ken – menambah lengkap jawaban yang mereka berikan pada sang CEO.

Siwon menepuk bahu Leo – pertanda bahwa dirinya bangga dan tidak salah memilih idol yang ia debutkan. “Kalau begitu, bekerja keras lah kalian semua! Aku akan membicarakan usul kalian ini pada jajaran direksi dan manajer kalian.”

“Terimakasih, CEO-nim,” ucap Leo singkat.

Sesaat kemudian tiga pemuda tampan itu indur diri dari hadapan CEO. Mereka melangkah keluar ruangan dengan perasaan lega karena ide tentang bakti sosial itu diterima dengan senang oleh CEO.

“Mari kita bekerja keras!” seru Hakyeon semangat.

Ken mencibir Hakyeon yang terlalu semangat mendukung ide orang lain. “Hyung, kau begitu bangganya mendukung ide Leo hyung. Mana idemu?”

Tuk!

Hakyeon memukul kepala Ken dengan sembarangan. Pemuda bernama asli Lee Jaehwan itu tidak terima atas perlakuan seniornya.

“Aku ini idol. Jangan sembarangan memukul kepalaku, Hyung!” Ken meraba bagian kepalanya yang dipukul oleh Hakyeon.

“Aku hanya memukulmu dengan jariku, bukan dengan stik drum,” sahut Hakyeon yang kemudian tertawa terbahak-bahak.

Ken dan Leo hanya menggeleng heran.

“Dia tidak sadat kalau kita bertiga bukanlah grup boyband,” bisik Ken pada Leo.

“Kita bertiga adalah musuh,” ujar Leo datar.

“Musuh dalam selimut,” bisik Ken lagi – yang kali ini tak dapat menahan tawa. Ia menutup mulutnya menggunakan kelapak tangannya sendiri agar Hakyeon tidak melihatnya tertawa bersama Leo.

***

Bandara Incheon hari ini sangat ramai, terbukti dari antrian pengambilan barang yang panjangnya mencapai 50 meter. Butuh waktu lebih lama bagi penumpang pesawat yang baru turun – untuk mengambil barangnya di antrian tersebut. Situasi yang tidak menguntungkan itu secara kebetulan terjadi pada seorang gadis berusia 21 tahun – yang baru tiba dari negeri sakura, Jepang.

Park Jiyeon, gadis yang berusaha untuk tidak mengekuh di saat-saat menyebalkan seperti sekarang ini. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri – mencari seseorang yang mungkin ia kenal. Jiyeon menghentakkan kakinya pelan – kesal entah pada siapa. “Lama sekali,” gerutunya saat antri mengambil barangnya. Berkali-kali ia mendesah kesal dan kecewa saat menatap layar ponselnya. Harapan bahwa seseorang menjemputnya di bandara – ternyata tak akan pernah terjadi. Harapan kosong. “Kenapa tidak ada seorang pun yang rela menjemputku? Bagaimana aku bisa sampai di rumah?” Jiyeon bicara pada dirinya sendiri. Beruntung suaranya lirih, jika tidak – pasti banyak orang mengiranya gila atau psiko. ‘Ah, tidak, tidak! Aku tidak gila. Aku adalah orang yang memiliki kejiwaan normal,’ batinnya.

15 menit berlalu. Jiyeon duduk manis di teras bandara, menatap mobil-mobil yang lewat di depannya. “Ternyata tak ada yang berubah,” lirihnya – mengingat sikap ayahnya yang keras dan tidak mau mengakuinya sebagai anak kandung keluarga Park. Tentu saja ia memikirkan hal itu karena tak ada seorang pun yang datang ke bandara untuk menjemputnya. “Yaak Park Jiyeon! Kau harus selalu ceria. Tak peduli apapun yang dilakukan orang lain – termasuk keluargamu sendiri. Kau bukan milik orang lain. Kau adalah milik dirimu sendiri. Tidak usah berkecil hati.” Lagi-lagi Jiyeon bicara pada dirinya sendiri. Ia sering melakukan hal itu untuk menghibur diri. “Aku bisa pulang sendiri,” ujarnya saat menegakkan tubuh dan hendak berjalan mencari taksi.

“Taksi!” serunya saat sebuah taksi datang mendekat.

Jiyeon tersenyum senang karena taksi itu berhenti di depannya.

Sopir taksi keluar dari mobil berwarna putih itu kemudian memasukkan barang bawaan milil Jiyeon – sebuah koper berukuran sedang dan sebuah tas jinjing.

“Terimakasih, Ahjussi,” ucapnya. Jiyeon mengulurkan tangannya – hendak meraih pintu taksi. Namun tiba-tiba pandangannya beralih pada sosok gadis yang berdiri di sampingnya – dalam jarak tiga meter. Jiyeon mengerutkan kening – merasa pernah melihat gadis itu sebelumnya. Di mana? Kapan? Ternyata dia lupa.

Gadis itu berambut panjang, bertubuh mungil dan tatapan matanya ramah. Saat Jiyeon ingin melihat mata gadis itu lagi, sayangnya dia menutup matanya dengan kacamata hitam dan mungkin tak menghiraukan Jiyeon yang penasaran sekali padanya.

Merasa diacuhkan, akhirnya Jiyeon masuk ke dalam taksi dan meluncur mulus menuju kediaman keluarga Park.

***

Perjalanan dari bandara menuju istana keluarganya memerlukan waktu yang cukup lama – apalagi saat ini jalan raya sedang ramai dilalui orang-orang yang baru saja selesai istirahat dari pekerjaan yang menyibukkan mereka. Selama dalam perjalanan, Jiyeon menikmati pemandangan kota Seoul yang sangat ia rindukan. Lebih dari lima tahun dirinya tidak menginjakkan kaki di kota kelahirannya itu. Tidak banyak yang berubah dari ibukota Korea Selatan yang menjadi kota incaran para pencari pekerjaan.

“Ahjusii!” Jiyeon memanggil sopir taksi. Ia ingin berbincang dengan pria paruh baya yang kini tengah fokus pada pekerjaan mengemudinya.

“Ada apa, Nona?” tanya sopir itu.

Jiyeon berpikir sejenak. Ia ingin menanyakan beberapa hal pada sopir taksi. “Ahjussi, apakah Anda tahu tentang Navy Group? Mereka adalah pengusaha paling kaya di negara kita.”

“Ya, saya tahu. Siapa sih yang tidak tahu tentang perusahaan raksasa itu? Kemarin ada berita peresmian hotel dan rumah sakit di kawasan Busan. Keduanya merupakan milik Navy Group. Presdir Park sendiri yang meresmikan dan memberikan pidatonya.”

“Presdir Park?” Jiyeon sengaja mengulang dua kata itu. “Presdir Park…” lirihnya sembari menatap kosong ke arah luar jendela mobil. Beberapa menit kemudian, Jiyeon menanyakan satu pertanyaan lagi. “Ahjussi, apa yang berubah dari kota Seoul?”

Kali ini sopir taksi itu tak segera menjawab. Mungkin otaknya masih berputar – mencari jawaban yang tepat. “Banyak orang yang semakin tergila-gila pada idol.”

“Eh?” Jawaban macam apa itu? batin Jiyeon. “Idol?”

“Ya, putri saya sangat mengidolakan seorang idol yang tengah naik daun. Hmmm… kalau tidak salah namanya Leo.”

“Leo? Singa?”

Jiyeon membuat sang sopir tertawa. “Entahlah, Nona. Sepertinya memang benar namanya Leo.”

Jiyeon mengangguk mengerti. Idol memang sering memakai nama keren mereka dari sesuatu yang disukai. “Ahjussi punya seorang putri?”

“Ya, putri saya mungkin sebaya dengan Anda.”

“Anda pasti sangat menyayanginya, kan?”

Sopir taksi itu mengangguk dan tersenyum. Jiyeon dapat melihat senyum kecil sang sopir taksi.

“Putri Anda pasti bangga memiliki seorang ayah yang sangat menyayanginya. Kalian membuatku iri,” ungkap Jiyeon sedih.

“Setiap orang tua pasti menyayangi anak-anak mereka. Entah ditunjukkan secara langsung maupun tidak,” terang sopir taksi itu. Ia sama sekali tidak tahu kalau hubungannya dengan sang putri tercinta membuat Jiyeon iri dan sangat menginginkan hal itu terjadi padanya. “Kita sudah sampai di alamat yang tertulis pada kertas itu, Nona.”

Jiyeon sedikit kaget. “Ah, iya.” Ia melihat sebuah bangunan megah berdiri di sisi kanannya kemudian membuka pintu taksi.

***

Dengan langkah pelan, Jiyeon masuk ke dalam pekarangan rumahnya yang luas dan dipenuhi tanaman hias. Rerumputan tampak hijau memenuhi seluruh permukaan halaman rumahnya. Tanpa sadar, seulas senyum menghias wajahnya. “Cantik…” lirihnya.

Jiyeon berdiri di depan pintu rumahnya. Ada dua orang pria yang berjaga di depan pintu yang terbuat dari kayu itu. Jiyeon tak menghiraukan mereka dan langsung memutar knop pintu besar itu.

Cekleek!!

Duk!

“Omo!” pekik Jiyeon kaget saat seorang perempuan berada tepat di belakang pintu.

Seorang pembantu dengan kostum khas maid, menatap bingung pada Jiyeon yang masih berdiri di depannya. “Ada yang bisa saya bantu? Pemilik rumah sedang tidak ada.”

“Eh?” Jiyeon mengernyitkan kening. “Apa maksudnya?” tanya Jiyeon yang sama bingung dengan pembantu itu.

Tap! Tap! Tap!

Tiba-tiba seorang pembantu yang lain datang menghampiri mereka berdua. Ia langsung mencubit lengan rekannya yang tidak mengenali Jiyeon sama sekali.

“Selamat datang, Nona,” ucap pembantu yang baru saja datang itu sambil membungkukkan tubuhnya.

Jiyeon memasang senyum ramah. Dia  mengerti apa yang baru saja terjadi. Wajar saja bila pembantu itu sama sekali tidak mengenalinya. Dia adalah putri yang terbuang. “Terimakasih,” ucapnya sesaat sebelum mulai melangkah. “Ah, biar aku bawa sendiri,” ujarnya saat pembantu itu meminta salah seorang penjaga untuk membawakan barang bawaannya. “Aku bisa membawanya sendiri.”

Pembantu itu pun menyerahkan koper dan tas jinjing kembali pada Jiyeon.

“Di mana kamarku?”

“Mari saya antarkan.”

“Ah, tidak perlu. Katakan saja di mana kamarku. Aku akan ke sana sendiri. Kalian tidak perlu repot-repot melayaniku. Selesaikan saja pekerjaan kalian.”

Dua orang pembantu itu tercengang. Tiba-tiba salah seorang diantaranya mengiyakan ucapan Jiyeon.

***

Jiyeon berjalan pelan sambil membawa barang-barangnya menuju lantai dua – di mana kamarnya telah menanti kedatangan sang pemilik yang telah lama tak kungjung kembali.

Hosh! Hosh!

“Melelahkan juga…” ucapnya – merasakan peluhnya membasahi pelipis. Tanpa ragu, Jiyeon masuk ke salah satu kamar yang sudah sangat dikenalnya. Ya, sebuah kamar yang terletak tepat di depan tangga.

Cekleeek!

Pintu terbuka. Jiyeon tercengang melihat kondisi kamar itu. Rapi, bersih, cantik – dengan dominasi warna pink. “Omo… tidak ada yang berubah.” Ia masuk ke dalam kamar cantik itu dan langsung mengedarkan pandangannya – menyapu seluruh pemandangan perabotan interior yang terpajang di setiap sudut kamar. Beberapa boneka tampak lucu – duduk di atas ranjang yang ditata rapi. Cermin yang bersih dan jendela yang terbuka.

Apa itu?

Pandangan Jiyeon terhenti pada sederetan foto yang dipajang di atas meja belajar dan beberapa foto yang sengaja dipajang di atas dinding dalam ukuran cukup besar. Kenapa ia baru melihat ada foto sebesar itu?

Park Chorong.
Ya, itulah nama yang tertulis di dalam foto hasil editan itu. Jadi, Chorong telah mengambil alih kamar miliknya?

“Jadi, kamar ini milik eonni?” ucapnya lirih – kecewa karena ternyata kamar miliknya kini berubah menjadi kamar Chorong, kakak perempuan sekaligus anak pertama keluarga Park. Jiyeon duduk di tepi ranjang. Ia membayangkan betapa senangnya jika kamar itu masih menjadi miliknya.

“Siapa itu?”

Deg!

Jiyeon tersentak kaget mendengar suara seseorang dari arah pintu. Ia dapat mendengar langkah kaki orang itu mendekat ke arahnya. Jiyeon gugup. Apakah dia akan dikembalikan ke Jepang?

Tap tap tap!

Orang itu memegang bahu kanan Jiyeon. Sedangkan Jiyeon takut membalikkan tubuhnya.

“Si… apa?” Park Chanyeol – putra kedua keluarga Park. “Jiyeonie?” ucapnya kaget melihat sosok Jiyeon. “Kau… Jiyeon, kan?”

Jiyeon bingung melihat Chanyeol yang terkejut menatapnya. “Eoh,” jawabnya ragu. Kedua kaka beradik itu tampak bingung satu sama lain.

“Yaak! Kenapa kau tidak mengatakan padaku sebelumnya kalau dirimu mau pulang, eoh?” Tiba-tiba Chanyeol memeluk Jiyeon erat sekali – seakan adiknya itu adalah boneka beruang yang lucu dan menggemaskan.

Chanyeol melepaskan pelukannya. Ia menatap Jiyeon yang balik menatapnya dengan ekspresi datar. “Kenapa? Apa ada yang salah denganku? Atau sesuatu terjadi padamu?”

Jiyeon masih tak dapat percaya. Kakak laki-laki yang selalu menjauhinya dulu – berubah drastis. Benar-benar berbeda 180 derajat. “Oppa, apakah aku sedang bermimpi?” Ya, Jiyeon menganggap dirinya sedang bermimpi mendapat perlakuan layaknya adik kandung dari seorang Park Chanyeol.

Senyum jahil tersungging di wajah ceria seorang Chanyeol. “Kau tidak sedang tidur. Mana mungkin bisa bermimpi?”

“Syukurlah,” ucap Jiyeon lirih. Akhirnya dia lega setelah mengetahui bahwa Chanyeol tak seperti dulu – yang selalu mengacuhkannya, menjauhinya bahkan tidak ingin bicara dengannya. Chanyeol yang sekarang sedang duduk di depannya itu adalah Chanyeol sang kakak yang akan menyayangi adiknya sampai akhir nanti.

“Aah, Chorong nuna benar-benar keterlaluan. Bagaimana bisa dia mengambil kamar ini darimu? Aku sempat kaget waktu dia bilang ingin memiliki kamar ini. Bukankah kamar ini cocok untuk anak bungsu?” Chanyeol melihat sekelilingnya. Semua benda berwarna pink, dinding dan ranjang juga berwarna pink. Hanya pintu dan jendela yang berwarna putih.

“Tidak apa-apa. Chorong eonni ingin tidur dengan nyaman. Menurutnya, jika ia tidur di sini – dirinya akan merasa sangat nyaman. Toh, masih ada kamar lain yang dapat ku tempati.”

Chanyeol tersenyum melihat Jiyeon yang tegar. “Baiklah, kalau begitu mari kita ke kamarmu. Kamar Chorong yang akan menjadi kamarmu. Jadi, kalian berdua seolah bertukar kamar tidur,” ujarnya sambil membawa koper dan tas jinjing milik Jiyeon menuju kamar sebelah.

***

Malam tiba. Inilah saat yang mendebarkan bagi Jiyeon karena dia akan bertemu dengan ayahnya – yang notabennya tidak mau mengakui dirinya sebagai anak kandung sebelum Jiyeon dinyatakan benar-benar normal. Jiyeon dan Chanyeol duduk bersebelahan di atas sofa – menikmati momen langka yang terjadi antara kakak dan adik. Meski kedua netra beradu dengan bias cahaya dari layar televisi, pikiran Jiyeon meracau ke mana-mana. Dia khawatir kalau ayahnya tidak suka akan keberadaannya di rumah itu.

“Oppa,” panggil Jiyeon khawatir.

“Apa?” Chanyeol tak mengalihkan pandangannya. Ia tetap menatap layar televisi yang menampilkan acara reality show Weekly Idol.

“Oppa, aku khawatir kalau ayah akan marah melihatku di rumah ini.”

“Kenapa?” Mendengar ungkapan kekhawatiran dari adiknya – membuat Chanyeol beralih menatap Jiyeon yang menundukkan kepala. “Jangan takut! Aku akan berada di sisimu. Kau tidak bersalah, Jiyeon-a. Kejiwaanmu di masa lalu bukanlah hal yang harus ditakuti dan disesali. Kau mengalami hal itu karena bukan kehendakmu sendiri. Aku tidak akan membiarkan ayah bertindak bodoh padamu.”

Akhirnya Jiyeon dapat bernafas lega. Ia mendapat kekuatan dan perlindungan dari kakak laki-laki – orang yang saat ini berada di pihaknya. Ia hanya dapat berharap semua akan berjalan baik-baik saja.

“Chanyeol-a….”

Terdengar suara seorang perempuan memanggil Chanyeol dengan lembut. Tidak salah lagi, perempuan itu pasti nyonya Park – ibu Jiyeon dan Chanyeol.

Chanyeol sempat bingung. Kenapa nyonya Park malah memanggil namanya? Kenapa bukan Jiyeon?

“Jiyeon-a, apakah ibu juga belum tahu kalau kau pulang hari ini?” tanya Chanyeol untuk mengurangi kekhawatirannya. Ia khawatir kalau ibunya berpura-pura tidak tahu tentang kepulangan Jiyeon.

“Aku memberitahu kepulanganku pada ibu dan Chorong eonni. Kenapa?”

Chanyeol berdecak kesal. Dia bangkit dari duduknya kemudian pergi menemui ibunya – yang diperkirakan tengah berada di ruang tamu.

Sret sret!

Suara alas kaki milik Chanyeol terdengar jelas di telinga Jiyeon. Gadis itu heran melihat sikap kakaknya. “Oppa, kenapa kembali lagi?”

“Kita temui ayah dan ibu bersama-sama. Aku tidak akan pergi tanpa dirimu. Ayo!” Chanyeol menarik lengan Jiyeon paksa.

“Oppa…” lirih Jiyeon.

“Tidak apa-apa. Ayo!”

Akhirnya Jiyeon pun menuruti ajakan Chanyeol. Baginya, bertemu dengan orang tua seperti bertemu dengan musuh yang siap menembakkan peluru tajam ke jantungnya.

“Jiyeon-a, sudah lama kau tidak bertemu dengan ayah dan ibu. Mungkin ayah tidak merindukanmu, tapi aku yakin ibu sangat merindukanmu. Jadi, temuilah mereka demi aku. Ah, bukan aku. Demi ibu, bagaimana?”

Jiyeon mengangguk mantab. Dia tidak akan takut bertemu dengan kedua orang tuanya lagi. Mereka adalah orang yang telah membesarkan dirinya, bukan musuh yang menggerogoti masa depannya.

Sret! Sret!

“Ibu pasti lupa sesuatu,” ungkap Chanyeol yang tiba-tiba muncul di depan ibunya.

“Omo! Chanyeol-a, kau mengagetkan ibu.” Nyonya Park mengelus dada – kaget melihat Chanyeol yang tengah berdiri di depannya. Padahal sebelumnya tadi, Chanyeol belum ada di tempat itu.

Chaneol tersenyum jahil. “Ada seseorang yang ingin bertemu dengan ibu.”

Nyonya Park mengangkat kedua alisnya. “Siapa?”

Pertanyaan nyonya Park justru mengundang sejuta tanya dalam benak Chanyeol. “Bukankah ibu sudah tahu kalau Jiyeon pulang hari ini?” Keningnya berkerut – merasakan ada sesuatu yang salah.

“Jiyeonie? Di mana?” Ekspresi kebahagiaan langsung terpancar di wajah nyonya Park saat Chanyeol menyebut nama putrid bungsunya, Park Jiyeon.

“Annyeong,” ucap Jiyeon canggung. Dia berjalan lebih cepat ke arah ibunya dengan mata berbinar-binar.

Uri Jiyeonnie…” nyonya Park mencium kening putrinya dan memeluknya erat.

Chanyeol tersenyum – ikut merasakan kebahagiaan dua orang yang paling dia sayangi. Pemuda itu mencurigai sesuatu. sedangkan Jiyeon, gadis itu merasa sedikit lega karena malam ini sang ayah telah terlelap tidur di kamarnya.

***

Keesokan harinya, keluarga Park berkumpul mengelilingi meja makan berbentuk elips dan di atasnya sudah terhidang beberapa menu makanan khusus sarapan pagi. Nyonya Park tak lelah mengembangkan senyumnya saat melihat putri bungsunya duduk bersama anggota keluarga yang lain. Apa yang kini dirasakan oleh nyonya Park sangat berkebalikan dengan suaminya. Park Yoochun, ayah dari Chorong, Chanyeol dan Jiyeon bersikap seolah tak ada sesuatu yang spesial hari itu. Padahal jelas-jelas hari itu berbeda dengan hari-hari sebelumnya.

“Jiyeon-a, makan yang banyak. Hari ini kau akan melamar kerja, kan? Jangan terlalu lama menganggur, tidak bagus untuk kulit dan pikiranmu.”

Jiyeon hanya menanggapi kata-kata ibunya dengan senyum. Apa hubungan antara kulit, melamar kerja, dan pikiran? “Ya, aku akan melamar kerja hari ini.”

“Yeobo, kenapa diam saja? Perusahaan pasti membutuhkan tenaga lebih. Biarkan Jiyeon bekerja di perusahaan, ne?” dengan wajah sumringah, nyonya Park membujuk suaminya agar mengijinkan Jiyeon bekerja di perusahaan mereka.

“Jiyeon tidak cocok bekerja di perusahaan,” jawab Park Yoochun singkat dan ketus.

Mendengar pernyataan tak mengenakkan hati dari ayahnya membuat Jiyeon tertunduk lesu. Sudah dapat ia duga, ini pasti akan terjadi. “Ah, tidak apa-apa. Aku akan melamar pekerjaan di perusahaan yang sesuai dengan kondisiku.”

“Kondisi apa? Kondisi apa yang kau maksudkan, Jiyeon-a?” Suara nyonya Park menggelegar. Dia memang sangat sensitif jika membicarakan tentang apa yang diderita oleh Jiyeon, bukan. Lebih tepatnya apa yang dialami oleh Jiyeon. “Jiyeon adalah gadis normal – sama seperti Chorong. Jangan pernah membeda-bedakan dirinya dengan orang lain.”

“Sudahlah, biarkan Jiyeon melamar di perusahaan lain saja.” Chorong berusaha menengahi kedua orang tuanya yang sudah membuatnya stres di pagi buta.

“Nuna! Kenapa kau bersikap seperti ayah?” protes Chanyeol.

“Jiyeon bukan salah seorang pewaris Navy Group, kan? Jadi, untuk apa dia bekerja di Navy Group?”

Plaaak!

Sebuah tamparan menambah lengkap menu sarapan seorang Park Chorong. “Ibu tega menamparku hanya karena gadis itu?”

Nyonya Park syokk setelah menampar putri sulungnya. Dadanya naik-turun, wajahnya merah padam dan nafasnya terengah-engah. “Maafkan ibu,” ucapnya lirih.

Chorong merasa sakit hati. Dia bergegas meninggalkan meja makan.

“Nuna!” panggil Chanyeol dengan wajah yang sama merah padam dengan ibunya. “Hanya tamparan membuatmu sakit hati? Bagaimana jika kau diasingkan ke negeri lain untuk mendapatkan terapi mental selama lebih dari enam tahun?”

Deg!

Nyut!

Dada Chorong terasa seperti ditusuk sembilu oleh adik kandungnya. “Tutup mulutmu! Aku dan dia berbeda.” Setelah mengatakan kalimat itu, Chorong melangkah cepat menuju mobilnya yang terparkir rapi di halaman depan rumah.

Suasana panas di pagi hari yang dingin seperti saat ini membuat Park Yoochun muak dan segera meluncur menuju perusahaannya. Sedangkan Chanyeol masih belum bisa berpikir jernih – diliputi emosi yang memuncak. Dia menyadari bahwa sikapnya terhadap Jiyeon di masa lalu benar-benar buruk.

“Oppa, jam berapa berangkat?” tanya Jiyeon pelan. Ia berharap Chanyeol akan sedikit tenang dengan mengajaknya mengobrol ringan.

Masih pada posisinya – duduk di kursi sebelah Jiyeon, Chanyeol menyangga kepalanya menggunakan dua tangannya. “Maafkan aku, Jiyeon-a.”

“M, maaf untuk apa? Oppa sudah membelaku di depan ayah dan Chorong eonni. Apa yang perlu dimaafkan? Seharusya aku lah yang meminta maaf pada oppa. Seharusnya aku….”

“Seharusnya apa? Kau ingin menyalahkan dirimu lagi – seperti yang kau lakukan beberapa tahun yang lalu? Jiyeon-a, itu bukan salahmu. Justru kau adalah korban. Karena kejadian itu, mentalmu menjadi lemah dan ayah mengirimmu ke Jepang – jauh dari keluarga. Apakah itu semua salahmu? Bukan. Itu bukan salahmu.”

Jiyeon ingin sekali melupakan kejadian yang membuatnya trauma naik bus. Kejadian itulah yang menyebabkan dirinya mengalami sedikit kelemahan mental.

“Mulai saat ini tidak ada yang boleh menyalahkan diri sendiri ataupun menyalahkan orang lain. Ayo, aku akan mengantarmu menlamar pekerjaan. Ah, aku akan merekomendasikanmu di sebuah agensi hiburan. Kau bersedia bekerja di kantor agensi hiburan?”

Air mata Jiyeon yang hendak menetes – seketika kering saat Chanyeol mengatakan kalimat menyenangkan itu. Jiyeon mengangguk dengan cepat. “Aku mau, Oppa.” Senyumnya terkembang – membuat Chanyeol turut tersenyum.

“Chanyeol-a, jaga adikmu baik-baik. Hanya kamu yang dapat ibu percaya.” Nyonya Park tampak gundah dan sedih.

“Sudahlah, ibu tidak usah bersedih. Aku adalah anakmu, anak yang kuat dan tegar. Aku bisa melalui semuanya dengan baik dan benar. Kali ini aku akan menunjukkan kepada ayah, Chorong eonni, dan kepada dunia bahwa aku adalah anak kandungmu. Tapi… untuk saat ini biarlah aku bekerja di perusahaan orang lain. Jika aku bekerja di Navy Group, aku khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk pada perusahaan kelaurga kita. Aku… belum siap menerima semua konsekuensi yang mungkini lebih berat dari yang pernah aku terima.”

“Yaak! Jangan menagtakan hal-hal yang membuatku pusing. Kalimatmu itu membuat otakku harus bekerja dua kali lebih giat agar bisa mencerna setiap kata yang kau ucapkan,” protes Chanyeol yang sudah siap melangkahkan kaki menuju garasi.

Jiyeon terkikik mendengar gurauan Chanyeol. Nyonya Park pun tersenyum setelah mendengar susunan kalimat lucu dari Chanyeol.

***

Chanyeol dan Jiyeon menyusuri lorong sebuah kantor agensi hiburan – perusahaan milik rekan kerja Chanyeol yang terletak di pusat kota Cheongdamdong. Mereka tiba di kantor itu bertepatan dengan pengumuman diadakannya bakti sosial yang akan mendatangkan tiga orang solois pria. Chanyeol tersenyum melihat banner yang terpasang di loby depan kantor itu. Wajah tiga orang pemuda tampan terpampang di dalam banner berukuran 10 x 2 meter itu.

“Kenapa oppa tersenyum?” tanya Jiyeon penasaran.

“Lihatlah tampang mereka. Terutama yang ada di tengah. Dia tampak sangat lucu mengenakan seragam petugas kebersihan,” jawab Chanyeol seraya menunjuk ke sebuah banner – terutama gambar Lee Jaehwan alias Ken, teman lamanya. “Kau tidak akan berhenti tertawa jika mengobrol langsung dengan idol yang di tengah itu.”

“Benarkah? Siapa dia, Oppa?”

“Ken. Salah seorang solois sekaligus aktor paling terkenal di agensi ini. Jika kau bekerja di sini maka kalian akan sering bertemu.”

Jiyeon menyunggingkan senyumnya. “Terdengar konyol. Mana mungkin idol mau bertemu dengan staf biasa seperti diriku?”

Chanyeol melirik Jiyeon. “Tunggu saja.”

Ting!

Pintu lift perlahan terbuka – kesempatan yang bagus. Kebetulan Chanyeol dan Jiyeon memang sedang dalam perjalanan menuju lantai empat – menemui CEO agensi tersebut.

“Ah, pintu ini lama sekali,” keluhnya karena jujur saja, pintu lift itu bergerak lebih lambat daripada pintu lift yang ada di kantor Navy Group.

“Yaak Park Chanyeol!”

Suara Jaehwan menyebabkan telinga Chanyeol berdengung saat dirinya melangkah masuk ke dalam lift. Rupanya pemuda tampan itu berada di dalam lift yang akan ditumpanginya dan Jiyeon. “Aku pasti bermimpi buruk semalam – karena paginya aku harus bertemu dengan bannermu dan dengan dirimu langsung, Ken.”

Ken atau Jaehwan terkikik geli. Sepasang manik matanya menangkap sosok gadis cantik yang berdiri di samping Chanyeol. “Park Jiyeon?”

Jiyeon tersentak kaget – namanya disebut oleh orang asing, menurutnya. “Si, siapa?” tanya Jiyeon polos.

“Kau tidak mengingatku? Aigoo….” Ken mengelus dada.

“Ah, aku ingat. Kamu yang… di banner tadi, kan?”

Chanyeol tertawa lepas.

“Yaak! Ini pasti ulahmu!” Ken mencubit lengan Chanyeol keras.

“Aaaak! Kau sudah gila, eoh?” pekik Chanyeol. “Jiyeon-a, kau sudah lupa pada pemuda jelek ini?”

“Kata siapa kalau aku jelek? Survey membuktikan kalau diriku jauh lebih tampan dari Taekwon.”

“Itu karena lawanmu adalah Jung Taekwon, bukan diriku.”

Sekarang, justru Jiyeon yang menahan tawa melihat kekonyolan dua orang dewasa yang populer di kalangan masyarakat.

“Jiyeon-a, kau tidak lupa pada Lee Jehwan, kan? Boleh saja lupa pada wajahnya, tapi jangan lupakan nama kerennya,” kata Jaehwan terlalu percaya diri.

Jiyeon menanggapi Jaehwan dengan serius. “Lee Jaehwan?” Ia cukup terkejut bertemu dengan Jaehwan setelah enam tahun lebih tidak bersua dengan teman lamanya itu.

Jaehwan mengiyakan. “Kau pasti terkejut karena aku bertambah tampan.”

Tuk!

Chanyeol memukul kepala Jaehwan asal. “Kalau kau mengganggu adikku lagi, karirmu akan benar-benar hancur.”

Jaehwan mendengus kesal. Bisa-bisanya Chanyeol mengatakan sesuatu seperti itu di depan adiknya sendiri. “Eoh, aku mengerti, Tuan Park junior.”

Ting!

Pintu lift terbuka lagi. Kali ini mereka telah sampai di lantai empat. Jaehwan ikut keluar dari lift dan mengejar pasangan kakak beradik yang berjalan tidak jauh di depannya. “Jiyeon-a, mari makan siang bersama!” teriak Jaehwan di lorong lantai empat. Dia sama sekali tidak mempedulikan predikat ‘idol’ yang melekat pada dirinya. Idol manapun tidak akan sudi berteriak pada gadis biasa – seperti yang dilakukan oleh Jaehwan tadi.

TBC

Huah, akhirnya selesai juga nih part 1.

Bikin FF segini panjangnya ditemeni lagu-lagu Davichi, CNBlue, T-Ara, EXO, dan VIXX. Akhirnya jadi juga.

Semoga tidak mengecewakan. ^^

38 thoughts on “More Than Alteration [Chapter 1]

  1. Bca ff ini dari awal sampai akhir bikin nangis bombay tega bgt yahhh tn.park dan chorong yg jahat bgt sama jiyi huhu

Leave Your Comments Juseyo ^^