[Chapter 3] Forbidden Love

Forbidden Love

We shouldn’t have lived in the same building.

by Shinyoung (ssyoung)

Main Cast: Kim Myungsoo & Son Naeun || Support Cast: Jung Krystal & Others || Genre: School Life & Romance || Length: Chapter 3/? || Rating: Teen (PG-15) || Credit Poster: goldenblood || Disclaimer: Casts belong to God. No copy-paste. Copyright © 2015 by Shinyoung.

Chapter 3 — A New Neighbor

Prologue | Characters | 1 | 2

*

“Kau bisa bicara denganku disini. Kenapa harus keluar dari kafe ini?”

“Aish,” gumam Krystal pelan. Ia melirik Bomi sebentar dan Eunji yang baru saja datang dengan kertas bill di tangannya. “Arasseo! Kita bicara disini.”

“Jadi, ada apa? Jangan lama-lama, aku belum sarapan. Kalau kau ingin bicara yang tidak penting, sebaiknya kau segera pergi dari sini.”

“Cih,” Krystal tertawa pelan kemudian menunjuk Naeun dengan kesal. “Dengar, jangan dekati Kim Myungsoo. Aku tahu kemarin kalian berdua pulang bersama, bukan? Aku tidak suka Myungsoo bergaul denganmu. Terutama seorang gadis seperti dirimu.”

“Ah… Ya, aku pulang bersama dengannya karena kami dapat hukuman. Puas? Silahkan pergi. Kau membicarakan sesuatu yang sama sekali tidak penting.”

Naeun berdiri dan melangkah menuju kasir, sedangkan itu Krystal langsung menjerit kesal dan meninggalkan kafe sekolah. Beberapa murid meliriknya bingung lalu menandainya sebagai gadis gila.

Di sisi lain, Eunji dan Bomi ternganga tak percaya dengan apa yang baru saja dilihat mereka. Mereka pun memperhatikan Naeun yang tengah sibuk memesan makanan dan minuman. Gadis itu tampaknya tidak menyadari bahwa kedua sahabatnya tengah memperhatikannya.

Sekembalinya Naeun, Bomi langsung mendekat, begitu pula dengan Eunji. “Mwoya? Kau pulang dengan Myungsoo? Bagaimana bisa kau pulang dengannya? Kau bicara dengannya? Krystal lebih tahu daripada kita? Ah… Kau pasti sudah gila, Son Naeun.”

“Mungkin.”

“Ya! Jangan bercanda,” tegur Eunji.

Arasseo. Arasseo! Aku akan cerita. Jadi, aku pulang bersama Myungsoo dan kami hanya membicarakan soal keadaan apartemen. Sekian. Kami diam sampai kami tiba di dalam apartemen,” jelas Naeun.

Dengan sekuat tenaga, Naeun menampilkan wajah jujurnya. Bagaimana pun, Naeun tidak akan sudi apabila ia menceritakan dirinya yang dibawa Myungsoo sampai ke dalam apartemen. Jelas-jelas kedua sahabatnya pasti akan menganggapnya sudah tidak waras.

Namun, sekuat apapun ia berusaha menyembunyikannya, pasti ada sedikit celah dimana rahasianya itu akan terbongkar. Walaupun, memang cukup menyebalkan untuk mengatakan kejujuran.

“Kau yakin kalian berdua hanya diam?”

Tiba-tiba saja Dongwoon sudah bergabung di meja mereka dengan kopinya dan menyeruputnya dengan santai. Ia melirik Naeun sekilas, lalu tersenyum ke arah Bomi dan Eunji secara bergantian. Eunji dan Bomi pun langsung bersemangat.

Oppa! Naeun pasti menyembunyikan sesuatu, benar bukan?” tanya Bomi bersemangat.

“Jangan sembunyikan sesuatu dari kami, Oppa! Kami sahabat Naeun juga,” ujar Eunji sambil memasang wajah sedihnya.

Beberapa murid gadis yang melewati mereka hanya bisa melirik mereka dengan iri. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Dongwoon disukai oleh para murid gadis sama seperti Hyuna yang disukai oleh murid lelaki. Namun, begitu tahu bahwa Naeun adalah adik dari guru tersebut, mereka langsung memekik bagaikan orang tidak waras.

Naeun dengan takut melirik kakaknya dan meminta kakaknya untuk tetap tutup mulut. Meskipun Dongwoon tahu bahwa Naeun pasti sudah kesal memintanya untuk tetap merahasiakan hal tersebut, setidaknya dia harus menjawab pertanyaan Bomi dan Eunji.

“Um… Sebenarnya aku hanya bercanda. Jangan dianggap serius.”

“Ya, Oppa… Kau selalu saja bercanda,” ucap Bomi kecewa.

“Tapi aku merasa Naeun menyembunyikan sesuatu. Ah, sudahlah. Mungkin juga Dongwoon oppa hanya bercanda,” sahut Eunji, lalu melanjutkan sarapannya. Begitu juga dengan Bomi yang belum memesan apapun.

“Siapa yang menyangka bahwa aku bisa bercanda juga.” Dongwoon tertawa pelan, lalu beralih pada Naeun. “Oh, ya, Naeun. Kau sudah tahu kalau kita punya tetangga baru? Dia baru saja pindah hari ini. Dia sepertinya seusia denganmu.”

“Huh? Maksudmu Myungsoo? Dia memang tinggal dia 205!”

“Aish…” Dongwoon menyentil kening gadis itu tanpa perasaan. Naeun pun meringis pelan lalu mencibir ke arah Dongwoon sehingga membuat laki-laki itu sedikit kesal akan perilaku adiknya.  “Maksudku di apartemen 203. Tepat di samping apartemen kita, Bodoh. Tadi pagi truk pengangkut barangnya berhenti di depan gedung apartemen.”

“Kau serius, Oppa?”

“Tentu saja aku serius. Apa wajahku berkata bahwa aku sedang bercanda?”

“Ish,” Naeun mendesis ke arah Dongwoon lalu memutar bola matanya. “Kau sudah melihat pemilik apartemennya? Dia seumuran denganku? Kenapa aku berfirasat bahwa dia akan sekolah di sini juga, ya?”

Bomi melirik Naeun lalu mendengus. “Tidak usah sok serius, Naeun. Aku tahu sebenarnya kau hanya menanggapi kabar ini untuk menghormati kakakmu, bukan? Kau bahkan tidak menunjukkan kepedulianmu sedikit pun. Cih, memangnya aku tidak tahu.”

Naeun menoleh ke arah Bomi lalu tersenyum lebar. “Nah, kau tepat sekali!”

Setelah mengatakan hal tersebut, Naeun langsung berdiri dan pergi meninggalkan meja tersebut bersamaan dengan bel sekolah yang berdering kencang. Dongwoon yang baru saja ingin memarahi gadis itu mengurungkan niatnya lalu memijat pelipisnya sebentar. Ia melirik Eunji dan Bomi yang masih di sana dengan santai dan menunggu Dongwoon.

“Apa yang kalian berdua lakukan? Tidak dengar sudah bel?”

“Bukan kah Ssaem yang mengajar pelajaran pertama? Kami menunggumu,” ujar Bomi tenang sambil mengerjap pelan. Begitu pula dengan Eunji yang duduk di sampingnya pun ikut mengangguk setuju.

“Kami siap membantumu, Ssaem.”

“Cih,” Dongwoon tertawa pelan. “Saat sudah memasuki waktu belajar, baru kalian memanggilku dengan sebutan ‘Ssaem’. Saat sudah keluar waktu belajar, kalian memanggilku ‘Oppa, Oppa’.” Dongwoon mengikuti gerak-gerik mereka ketika ia menyebutkan kata-kata tersebut.

Baik Eunji dan Bomi pun langsung tertawa.

 

 

“Hari ini aku akan memberi kalian tugas untuk penelitian selama 3 bulan penuh.”

Ssaem! Memangnya ada penelitian untuk pelajaran seni, ya?”

Kim Hyuna menghela nafas panjang. Lalu ia mengangguk dan menghentakkan penggarisnya pada meja guru meminta untuk semuanya diam. “Iya, murid-murid. Aku akan membagi kalian menjadi 3 orang per kelompoknya. Jadi, ada dua kelompok yang hanya terbagi dua orang. Nah, salah satu kelompok akan mendapat tambahan anggota dari luar kelas. Yang kalah harus menerima anggotanya hanya dua orang.”

Murid-murid mulai heboh lagi, namun mereka kembali diam ketika melihat Hyuna yang memasang wajah galaknya. Hyuna menarik nafas dalam-dalam lalu menghelanya perlahan. Dia tahu mengurus murid SMA memang tidak mudah, terutama pada sekolah elit seperti ini. Ketika Jang Hyunseung melewati kelasnya, laki-laki itu tersenyum tipis padanya dan Hyuna pun membalas senyuman itu.

Tiba-tiba saja, Hyuna merasa ia mendapatkan energi kembali. Rasanya dia seperti hidup kembali setelah melihat senyuman dari tunangannya itu. Setidaknya, dia bisa mengendalikan kemarahannya setelah melihat senyuman hangat tersebut. Tanpa ia sadari, beberapa murid telah bersiul ke arahnya.

“Jadi ada yang ingin bertanya?” tanyanya ketika ia kembali ke realita.

“Kalau begitu tidak adil untuk anggota yang hanya mendapat dua orang saja?”

“Tentu saja adil! Karena aku sudah mempersiapkan tugas yang lebih ringan untuk mereka. Jadi, kalian berdoa lah agar kalian bisa mendapatkan kesempatan tersebut! Sekarang, kalian maju satu persatu ke depan dan mengambil nomor, ya!”

Murid-murid sedikit heboh dan berdoa agar mereka bisa sekelompok dengan teman mereka. Bahkan Tiga Sekawan Aneh pun juga berharap agar mereka bisa sekelompok walaupun mereka tahu takdir selalu berkata baik pada mereka. Mereka tidak pernah berpisah walaupun mereka mengambil nomor. Mereka selalu bersama. Aneh memang.

Seperti ada yang menyulapnya.

“Sekretaris!”

Ne?” Park Joy mengangkat tangannya lalu berdiri.

“Tunggu apa lagi? Kau sudah tahu tugasmu, bukan? Tulis nama-nama yang sekelompok di depan sana. Bagi jadi 9 kelompok, ya,” perintah Hyuna dan Joy pun menanggapinya dengan anggukkan kepala.

Dalam hitungan menit, mereka telah mendapatkan nomor mereka di tangan. Anehnya, Tiga Sekawan Aneh tidak sekelompok dan hal tersebut membuat ketiganya cukup frustasi sambil menggeleng-gelengkan kepala mereka. Seperti biasa, karena mereka aneh maka mereka akan melakukan hal-hal yang aneh.

“Kelompok 1?”

Awalnya hanya Hoya dan Kyungsoo yang mengangkat tangan. Namun, akhirnya dengan paksaan Naeun dan Bomi, Eunji pun mengangkat tangannya. Mereka semua tahu bahwa hubungan Eunji dan Hoya sangat buruk. Mereka sering bertengkar dan pertengkaran mereka merupakan pertengkaran yang sama sekali tidak penting.

Terutama, ketika Eunji mengejek laki-laki paling tampan di sekolah sebagai lelaki paling buruk yang pernah ia temui. Eunji langsung melotot ke arah Hoya tanpa malu-malu dan laki-laki itu hanya mendengus pelan ke arahnya. Sejujurnya, Hoya sendiri tidak bisa terima karena kelompok ini. Dia bisa dengan Kyungsoo, namun dengan Eunji, dia tidak bisa sama sekali.

“Kelompok 2?”

Kali ini hanya Myungsoo dan Naeun yang mengangkat tangannya. Naeun melirik dan mencari-cari satu anggota lagi, namun ia segera menghela nafas berat begitu mengetahui bahwa ia merupakan salah satu anggota yang mendapatkan dua anggota.

“Hanya berdua?”

Ne,” jawab Myungsoo dan Naeun serempak.

“Ah, kalau begitu baiklah.”

“Kelompok 3?” tanya Hyuna lagi. Bomi, Dongwoo, dan Joy pun mengangkat tangan mereka. “Kelompok 4?” Kali ini Sungyeol, Yookyung, dan Yerim mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi. Beberapa murid mendesah karena mereka tahu sekelompok dengan Yookyung adalah hal yang menyenangkan. Gadis itu merupakan gadis terpintar yang pernah ada dalam menyusun makalah.

“Kelompok 5?”

Woohyun, Chorong, dan terakhir Seulgi mengangkat tangan mereka. Beberapa murid bersiul ke arah mereka karena hal tersebut merupakan hal yang menguntungkan bagi Woohyun dan Chorong. Sedangkan Seulgi sendiri harus memutar bola matanya karena dia bisa menjadi nyamuk di antara keduanya.

“Kelompok 6?”

Sunggyu, Namjoo, dan Minseok mengangkat tangan mereka. Beberapa murid tertawa karena mereka tahu bahwa Sunggyu dan Namjoo tidak pernah memiliki pendapat yang sama meskipun mereka kembar. “Kelompok Kim! Ketiganya punya nama depan Kim!” ujar Sungyeol, lalu ditanggapi dengan tawa gelak dari murid-murid.

“Kelompok 7?”

Hanya Hayoung dan Sungjong lah yang mengangkat tangan. Mereka melirik satu sama lain lalu mendapati bahwa mereka hanya mendapatkan dua anggota.

“Kelompok 8?”

Irene, Sehun, dan Suho mengangkat tangan mereka. Murid-murid kelas 2-2 langsung bersiul heboh karena ketiganya punya hubungan cinta segitiga. Awalnya hanya Sehun yang menyukai Irene, namun lama kelamaan Suho pun ikut menyukai gadis itu. Baik Sehun dan Suho langsung menatap tajam satu sama lain. Namun, Irene hanya mengibaskan rambutnya ke belakang tidak peduli.

“Kelompok terakhir?”

Kali ini, Chanyeol, Baekhyun, dan Wendy mengangkat tangan mereka. Mereka pun bersorak-sorak heboh. Tentu saja, mereka sudah berteman sejak mereka dilahirkan. Mereka pun langsung memberikan tos secara bersamaan. Bahkan, sepertinya mereka memang ditakdirkan untuk selalu bersama-sama.

“Sekarang, salah satu perwakilan dari kelompok yang hanya beranggotakan 2 orang maju ke depan untuk melakukan gunting, batu, kertas. Yang menang tidak perlu mendapatkan anggota tambahan dari luar kelas.”

Naeun melirik Myungsoo dan meminta dirinya yang maju ke depan. Bagaimana pun Naeun harus kalah agar tidak hanya berdua dengan laki-laki itu. Dia tidak mau sama sekali bekerja lagi dengan laki-laki itu. Kemarin saja, mereka sudah canggung bicara berdua apalagi selama 3 bulan ke depan. Hal tersebut bukan lah sesuatu yang baik. Myungsoo hanya mengangkat bahunya seolah tidak peduli apabila gadis itu memilih dirinya untuk maju.

Lalu, Sungjong pun maju setelah Naeun maju. Keduanya pun berdoa satu sama lain. Sungjong yang berharap agar anggotanya hanya dua dengan begitu mereka mendapatkan tugas yang lebih mudah dan Naeun yang berharap agar dia mendapatkan satu anggota tambahan agar tidak ada kecanggungan di antara keduanya.

“Gunting, batu, kertas!”

Hasilnya…

Naeun yang menang dan Sungjong yang kalah. Keduanya tampak sangat kecewa dengan keputusan tersebut. Terutama, Naeun. Ia melirik Hyuna dengan penuh harap, namun Hyuna menggelengkan kepalanya pelan dan tersenyum ke arah Naeun senang. Gadis itu kembali ke tempatnya dengan berat hati.

“Kalau begitu, Sungjong dan Hayoung. Kalian akan sekelompok dengan Im Hyungsik dari kelas 2-4. Dia sudah setuju apabila dia sekelas dengan salah satu kelompok dari kelas ini. Kalian hanya perlu menemuinya dan mendiskusikan tugas kalian. Sekarang perwakilan anggota kelompok maju lagi karena aku akan membagikan tugas kalian.”

 

 

AHH!

Naeun mengacak-acak rambutnya kesal. Dia tidak peduli apabila hanya dia yang berisik. Bomi dan Eunji pun tidak mencoba menghentikan gadis itu untuk berhenti berteriak di kantin karena mereka tahu sekeras apapun mereka melakukannya, Naeun tidak akan berhenti dan murid SMA Skoolite sudah maklum.

Mereka adalah Tiga Sekawan Aneh jadi tidak aneh melihat mereka seperti itu.

Murid-murid lain tampaknya juga tidak peduli dengan keributan Naeun. Mereka hanya menganggapnya sebagai angin lewat kecuali Myungsoo yang tengah duduk di sudut kantin memperhatikan gadis itu dari kejauhan. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya melihat kejadian itu.

“Dasar gadis tidak tahu malu,” gumamnya pelan.

“Siapa?”

Myungsoo langsung tersedak begitu melihat Dongwoon yang tiba-tiba duduk menghampiri mejanya dengan semangkuk jjajjangmyeon. Laki-laki itu mengaduk mi hitamnya sambil menatap wajah Myungsoo dengan penuh tanya. Dongwoon pun mengikuti arah pandang Myungsoo dan mendapati Naeun di sana.

“Ah, adikku rupanya. Kau membicarakannya?”

“Tidak, ssaem,” kilah Myungsoo cepat.

Dongwoon tertawa pelan. “Tidak perlu setakut itu padaku. Sudah wajar aku mendengar hal tersebut dari murid-murid. Kau baru tahu bahwa dia tidak tahu malu? Di rumah saja, dia sering berteriak seperti orang gila padahal suaranya tidak bagus.”

Myungsoo mengerutkan keningnya. “Dia melakukan itu?”

Dongwoon mengangguk lalu melepaskan sumpitnya. Dia mengaduk-ngaduk lagi mi hitamnya dengan sumpitnya lalu menyuapkanya dengan nikmat. Ia menatap Myungsoo lalu tersenyum. “Kau mau?”

“Tidak, ssaem. Aku sudah ada makanan.”

“Ah, ya, Myungsoo. Soal kemarin. . .”

“Lupakan saja. Anggap saja aku hanya membantu tanpa imbalan.” Myungsoo tersenyum tipis. Ia menggigit roti yang ia beli di kantin sekolah kemudian menyedot minuman bersoda merek ternama. “Apa dia selalu melakukan itu?”

Dongwoon mengangkat bahunya. “Entahlah. Bukankah kau sendiri tahu bahwa aku selalu pulang malam karena mengerjakan tugas di sekolah? Dia memberitahumu, bukan? Aku yakin dia pasti memberi tahumu, Myungsoo.”

Myungsoo hanya diam. “Benar. Dia memang memberi tahuku. Dia juga menceritakan padaku soal keluargamu yang bekerja di luar negeri. Lebih tepatnya, sepertinya dia memberi tahuku soal semuanya. Soal bagaimana dia bertemu dengan teman-teman tak warasnya. Apa dia memang secerewet itu?”

Dongwoon tertawa. “Bukan cerewet lebih tepatnya. Dia hanya kesepian. Kau sendiri bagaimana? Kau tidak merasa kesepian tinggal sendiri? Kau yakin kau akan menyendiri terus tanpa berteman dengan siapa pun?”

Pertanyaan tersebut bagaikan sebuah tembakan tepat mengenai dada Myungsoo. Ia bisa merasakan bahwa bulir-bulir keringat mulai mengalir membasahi kening lelaki itu. Dongwoon tertawa pelan.

“Santai saja. Aku tidak menyalahkanmu tapi aku menyalahkan keputusanmu.”

“Keputusanku?” tanya Myungsoo bingung.

Dongwoon mengangguk. “Tentu saja. Kau yang memutuskan untuk sendiri tanpa teman. Bukan kau. Tapi keputusanmu yang menentukannya. Mungkin kau selama ini berlebihan tapi aku yakin sebenarnya kau juga ingin seperti yang lainnya. Berteman.”

Tepat saat itu, Dongwoon menyelesaikan makanannya. Ia bangkit dari tempatnya kemudian menepuk bahu lelaki itu. Tak lupa pula, Dongwoon tersenyum ke arahnya lalu meninggalkannya sendirian. Tak lama setelah Dongwoon meninggalkannya, seseorang menghampiri mejanya lagi. Laki-laki itu mendongakkan wajahnya.

“Kau barusan bicara tentang apa dengan kakakku?”

“Sebaiknya kau tidak bertanya soal itu.”

Myungsoo bangkit dan meninggalkan Naeun sendirian. Naeun langsung mendecak kesal, sementara itu seorang gadis dari kejauhan memperhatikan mereka dan tersenyum penuh kemenangan.

 

 

“Kau mau kemana?”

“Pulang.”

“Oh… Kau lupa dengan hukumanmu, Son Naeun?”

Naeun menepuk keningnya. “Aku baru saja ingat setelah kau mengingatkanku. Ayo, aku tidak mau berlama-lama di sana. Aku juga mau pulang cepat. Kau juga, bukan?”

Myungsoo hanya diam, tak menanggapi pertanyaan Naeun. Lalu, mereka segera melangkah menuju gudang tersebut. Naeun segera membuka gudang tersebut dan menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin karena dia juga ingin pulang cepat. Walaupun dia tahu, masih ada waktu sekitar 5 hari lagi untuk menyelesaikan tugas tersebut.

Namun, sepertinya gudang kotor tersebut tidak akan membiarkan Naeun untuk pulang cepat begitu saja. Rupanya masih ada bagian di belakang gudang yang harus mereka bersihkan pula. Myungsoo melirik gadis itu lalu menghentikan pekerjaannya. Ia mengangkat tangannya dan menatap jam tangannya.

“Ayo, pulang. Sudah jam 5 lewat.”

Naeun menoleh ke arahnya lalu menatapnya bingung. “Mwo? Jam 5 lewat? Kau yakin?!”

Myungsoo mengangguk lalu menunjukkan layar ponselnya pada Naeun. Pada layar tersebut, Naeun bisa melihat bahwa jam memang sudah menunjukkan pukul 5 lewat. Ia mendecak kesal karena dia tidak sadar bahwa waktu berlalu begitu cepat.

Sementara Myungsoo memungut tasnya yang ia letakkan di bawah meja bekas, Naeun merapikan rambutnya yang berantakkan akibat kumpulan debu. Ketika ia ingin mengambil tasnya, Myungsoo justru mengambilkan untuknya. Naeun hanya terdiam lalu menerima tasnya tanpa mengucapkan terima kasih.

“Kau tidak bisa berterima kasih?”

Naeun menoleh ke arahnya sekilas lalu tersenyum miring. “Kupikir kau tidak membutuhkan terima kasih dariku.”

Myungsoo tertawa sinis. “Terserah.”

Keduanya hanya diam lagi sepanjang jalan menuju rumah mereka. Tidak ada suara yang diciptakan. Naeun sadar bahwa dalam sehari saja, Myungsoo berubah. Padahal, kemarin mereka berbicara baik-baik saja. Bahkan, Myungsoo pun mengajaknya berbicara saat mereka masih di dalam apartemen Naeun.

Akibat terlalu lama menunggu bus, Naeun merasa lelah dan sangat mengantuk. Namun, dengan keras, ia menolak untuk kembali tertidur di bus. Dia teringat akan apa yang ia lakukan kemarin—tertidur dan membiarkan Myungsoo mengantarnya masuk ke dalam apartemen. Artinya, Myungsoo juga mengetahui kunci apartemennya. . .

YA!”

Myungsoo langsung terkejut begitu Naeun berteriak seperti itu padanya. Beberapa orang yang tengah berada di dalam bus pun juga ikut terkejut dan melirik ke arah mereka sambil berbisik-bisik. Cepat-cepat Myungsoo meminta maaf kepada orang-orang tersebut dan melirik kesal ke arah Naeun.

Mwoya?” desis Myungsoo tajam. “Bisakah kau tidak melakukan itu saat di dalam bus? Ini banyak orang. Kau pikir kita sedang di lapangan sekolah, huh?”

Arasseo! Arasseo!” sahut Naeun kesal dengan suara yang lebih pelan kali ini. Ia memasukkan tangan kirinya ke dalam saku jas tebalnya. “Kau sudah tahu kunci apartemenku? Kalau kau tidak tahu bagaimana kau bisa membawaku masuk seperti kemarin? Gina unnie yang memberi tahumu, bukan?”

Ani. Gina noona yang membukakannya untukku. Dia sudah menelpon kakakmu dan kakakmu setuju apabila aku membawamu masuk untuk sementara,” jawab Myungsoo santai. Dia memilih untuk berbohong pada Naeun dan dia sendiri tidak tahu alasan dia memilih jalan tersebut. “Kalau kau tidak percaya, kau bisa tanyakan hal tersebut pada kakakmu, sekarang juga. Melalui telepon kalau kau mau melakukannya.”

Naeun menatap lurus ke dalam mata Myungsoo, mencoba mencari-cari kebohongan yang mungkin dilakukan oleh Myungsoo. Namun, gadis itu tidak dapat menemukannya. Mata Myungsoo terlalu tajam untuknya sehingga Naeun hanya bisa percaya padanya.

Ne. Aku percaya padamu. Awas saja sampai kau bohong!”

“Diamlah.”

 

 

“Ada apa ini?”

Pertanyaan itu muncul begitu saja dari mulut Naeun dengan wajah kesalnya sambil melangkah dengan hati-hati menuju pintu apartemennya ketika ia melihat tumpukkan barang di depan koridor apartemennya. Myungsoo yang berada di belakangnya pun membatalkan niatnya untuk memasuki apartemennya karena ikut penasaran dengan tumpukkan kardus-kardus tanpa identitas tersebut.

Awalnya, Naeun ingin menendang kardus tersebut agar menjauh dari depan apartemennya, namun Myungsoo segera menghentikan aksi gadis itu dan memberikannya pandangan tajam yang tidak dapat Naeun kalahkan.

YA! Kau sudah gila?!”

“Apa-apaan kau?!”

Myungsoo menarik gadis itu sebelums eorang laki-laki berpakaian hitam keluar dari apartemen bernomor 203. Laki-laki itu mendongakkan wajahnya dan menatap kedua murid tersebut dengan tatapan tidak suka.

Naeun tertawa kesal menanggapi respon laki-laki itu. “Permisi. Kau siapa, ya?”

Laki-laki itu hanya mendengus. “Ah, aku tetangga barumu, Agassi. Kau tinggal di apartemen 204, bukan? Dan kau, laki-laki muda, kau tinggal di apartemen 205, bukan? Senang bertemu kalian. Aku pemilik apartemen 203 yang baru.”

Naeun membulatkan matanya dengan mulut ternganga. “Apa? Kau? Ah. . . Benar-benar.”

Laki-laki itu menatapnya bingung. “Ada masalah?”

Naeun memutar bola matanya. “Aku paling benci tetangga baru tidak tahu sopan santun seperti dirimu! Benar-benar. Bagaimana bisa kau meletakkan barang-barangmu di depan rumahku? Kau tidak lihat bagaimana kau meletakkan barang-barangmu? Memangnya kau tidak memesan orang untuk membawakan barang-barangmu ke dalam?”

Sedangkan itu, Myungsoo yang berdiri di belakangnya langsung menggosok-gosok pelipisnya yang terasa berdenyut sedari tadi. Ia menarik lengan gadis itu agar mendekatinya dan ia pun segera mendekatkan bibirnya pada telinga kiri Naeun. “Berhenti lah berbicara seperti itu! Kau memangnya sudah tahu berapa umurnya?” bisik Myungsoo sekecil mungkin. “Hentikanlah, kau mau tetangga yang lain keluar?”

Mwo? Hentikan? Ah! Aku bisa mengetahui umurnya hanya dengan sekali melihat wajahnya saja. Dia pasti kelas 1 SMA. Dia pasti lebih muda dari pada kita!” sahut Naeun dengan suara lantangnya.

Laki-laki pemilik apartemen 203 itu tersenyum miring. “Mari kita lihat saja nanti,” kata laki-laki itu lalu mengalihkan pandangannya pada Myungsoo. “Ah, kau! Bisakah kau memberi tahukan pacarmu untuk berhenti bersikap seperti ini? Aku yakin, orang lain tidak akan suka melihat sikapnya.”

Baik Myungsoo maupun Naeun langsung membulatkan matanya. “Pacar? Cih! Mana mau aku berpacaran dengannya,” ujar Naeun duluan.

Laki-laki itu mengangkat bahunya lalu menggerakkan dagunya menuju tangan Myungsoo yang menggenggam erat lengan Naeun. “Siapa yang tahu? Kalian tampak seperti pasangan kekasih yang baru saja merayakan hari jadinya.”

Setelah mengatakan hal tersebut, laki-laki itu segera mengangkat kardus-kardus yang masih tertinggal di luar sana ke dalam apartemennya. Ia tidak mengusik bagaimana terkejutnya Naeun dan Myungsoo mendengar ucapan lelaki itu. Cepat-cepat, Myungsoo melepaskan tangannya dan memasuki apartemennya.

Naeun membalikkan badannya lalu menatap pintu apartemen Myungsoo. “Michyeosseo! Michyeosseo!

 

 

Dongwoon memasuki apartemennya dengan tertatih-tatih. Ia mengusap keningnya dengan punggung lengannya, lalu melepaskan sepatunya. Didapatinya Naeun yang tengah sibuk menonton televisi sambil memasukkan satu per satu makanan ringan ke dalam mulutnya dengan santai.

Ya! Naeun, sudah dengar ada orang masuk bukannya langsung bantu. Kau tidak lihat aku bawa apa saja hari ini?” tanya Dongwoon sedikit kesal.

Naeun menoleh dan tersenyum cerah. “Oh, aku pikir kau tidak mau dibantu.”

Gadis itu mematikan televisinya lalu meletakkan bungkusan makanan ringannya di atas meja yang terdapat di hadapannya. Ia segera menghampiri kakakknya tersebut lalu mengambil beberapa tumpukkan kertas yang dibawa oleh Dongwoon. Gadis itu melirik Dongwoon kesal lalu membawa masuk tumpukkan yang dibawanya.

Ia melirik Dongwoon sekilas sambil meletakkan tumpukkan tersebut di atas salah satu meja bersih berwarna putih. Meja tersebut juga berdekatan dengan kamar Dongwoon, jadi nanti Naeun tidak perlu jauh-jauh membawa kertas tersebut.

“Kenapa hari ini kau bawa banyak pekerjaan? Bukannya kau bisa meninggalkannya di ruang guru, ya?” tanya Naeun sambil menatap kakaknya itu penasaran.

Dongwoon meletakkan beberapa tumpukkan kertas lagi di samping tumpukkan yang baru saja di bawa Naeun lalu menghela nafas lega. “Akhirnya.” Ia mengalihkan pandangannya pada Naeun lalu mengangguk. “Memang benar aku bisa meninggalkannya di ruang tersebut, namun bagaimana bisa aku meninggalkan soal-soal ulangan ini disana? Aku takut salah satu dari kalian akan menyelinap masuk ke sekolah untuk mencuri soal.”

Naeun membulatkan matanya. “YA! Kau pikir kami akan melakukan itu?”

Dongwoon mengangkat bahunya dan memasang wajah pura-pura tidak tahu. “Molla. Kalau kelasmu, sih, aku bisa percaya. Lalu, bagaimana dengan kelas lain? Apa kau bisa membuktikan bahwa mereka tidak akan melakukan hal tersebut? Kau tahu… Murid-murid masa kini menyeramkan. Mereka akan melakukan apa pun demi mendapatkan nilai yang bagus tanpa perjuangan.”

Nauen menghela nafas lalu kembali menuju ruang televisi. “Molla!

Dongwoon tertawa kecil melihat tingkah adiknya. “Ah, kau sudah bertemu dengan tetangga baru kita?”

Mwo? Kita punya tetangga baru?”

“Iya… Laki-laki di apartemen nomor 203. Dia pindah saat kau pulang tadi.”

“Ah… Aku lupa bahwa kita punya tetangga baru.” Naeun menghidupkan televisinya. “Tentu saja aku bertemu dengan laki-laki tidak sopan itu. Dia benar-benar… Menguji kesabaranku. Bagaimana bisa dia meletakkan barang-barangnya di depan apartemen kita? Dia pikir apartemen kita merupakan tempat penitipan barang?!”

Dongwoon tersenyum tipis lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Baiklah. Tenangkan dirimu, Son Naeun. Dia akan jadi tetangga kita mulai hari ini. Kau harus bersikap baik padanya. Ah, aku lupa namanya. Siapa namanya tadi? Kim Jungwoon? Kim Jongwoon? Ah, sudahlah. Besok kalau bertemu lagi dengannya, tanyakan namanya, ya?”

“Cih, untuk apa?”

“Eh, bukannya kau sudah tahu, ya?”

“Sudah tahu apa?” Naeun mengerutkan keningnya bingung. “Jangan membuatku penasarann.”

“Dia seumuran denganmu. Ada kemungkinan dia akan sekolah di SMA Skoolite karena sekolah itu merupakan sekolah terdekat dengan gedung apartemen ini, bukan?” Dongwoon memastikan hal tersebut pada Naeun.

NE? Seumuran denganku?” tanya Naeun tak percaya. “Andwae! Dia tidak boleh sekolah di SMA Skoolite. Aku tidak bisa tahan melihat sikap tidak sopannya! Ah, aku berharap dia adalah adik kelas. Aku bisa memberinya pelajaran dengan menjadikannya sebagai asisten pribadiku untuk sementara waktu.”

“Jangan coba-coba.”

Mendadak, Naeun langsung menjadi kecil saat mendengar Dongwoon mengatakan halt ersebut. Dia tahu apabila Dongwoon sudah mulai mengatakan hal tersebut artinya dia harus berhati-hati karena Dongwoon akan mengubah segalanya dalam waktu singkat.

 

 

Seminggu sudah berlalu.

Son Naeun tidak bisa menghilangkan rasa kesalnya yang masih memupuk di dadanya. Ia ingat bagaimana betapa sulitnya seminggu itu ia lalui. Membersihkan gudang bersama Kim Myungsoo merupakan hal yang paling buruk dalam minggu tersebut. Terutama, dengan adanya tambahan waktu sebagaimana ia harus mengerjakan tugas seni yang diberikan oleh Hyuna padanya.

Bersama Kim Myungsoo, hari ini keduanya berencana untuk mengunjungi museum musik. Sebenarnya, tugas mereka merupakan tugas paling mudah yang ada di kelas. Namun, Naeun merasa tugas tersebut menjadi berat apabila ia harus mengerjakan hal tersebut dengan Kim Myungsoo.

Saat Naeun baru saja ingin merebahkan tubuhnya untuk tidur di atas meja, seseorang menyentuh bahunya dan langsung membuatnya terbangun. Tentu saja, dia sedikit terkejut karena tak biasanya seseorang menyentuh bahunya hanya untuk memanggilnya. Ia mendapati Myungsoo yang menatapnya dengan malas.

Mwo?” tanya Naeun sedikit kesal.

“Hari ini… Kau tidak melupakannya, bukan?”

Setelah melihat Naeun menganggukkan kepalanya, Myungsoo segera berlalu pergi dan kembali ke mejanya. Sedangkan itu, Bomi dan Eunji langsung terkikik melihat sikap Naeun yang langsung membatalkan niatnya untuk tidur. Mereka menunjuk-nunjuk Naeun sambil menggoda gadis itu.

“Apa-apaan, sih, kau ini? Tidak bisakah kau sedikit lembut padanya?” tanya Bomi sambil terkekeh pelan melihat wajah kesal Naeun.

“Untuk apa lembut padanya? Dia juga mengesalkan.”

“Ah… Sudahlah, lupakan saja, Bomi­-ya. Jangan menggoda Naeun terus,” komentar Eunji sambil menengahi.

Tepat setelah itu, bel sekolah pun berbunyi. Murid-murid segera berlari masuk ke dalam kelas mereka. Ada yang sibuk merapikan dandanan mereka dan ada yang masih saja bermain-main dengan teman mereka. Ada beberapa murid juga yang mulai menghapus papan tulis dan merapikan meja guru.

Tak lama kemudian, Hyuna memasuki kelas dengan penggaris panjangnya. Ia memukul-mukul meja yang ada di depan kelas lalu meminta seluruh murid untuk diam. Woohyun menenangkan murid-murid dengan meminta mereka untuk memberikan salam pada Hyuna. Setelah tenang, Hyuna pun tersenyum tipis pada semuanya.

“Ah, ya, hari ini kita punya murid tambahan atau lebih baik disebut murid baru.”

“Laki-laki, ssaem?” tanya Seulgi penasaran.

“Ya. Laki-laki.”

Beberapa murid gadis bersorak kecuali Naeun yang hanya bisa mendengus kesal. Ia melirik Myungsoo yang berada di jauh sana tak mengacuhkan berita murid baru tersebut. Laki-laki itu hanya melipat kedua tangannya di depan dadanya dan memperhatikan Hyuna yang masih menjelaskan beberapa hal.

Saat menyadari bahwa dirinya diperhatikan, laki-laki itu menoleh pada Naeun. Gadis itu terkesiap dan menyadari bahwa Myungsoo sudah mengangkat alisnya dn memberikannya gerakan seolah-olah laki-laki itu bertanya padanya.

“Tidak ada apa-apa,” jawab Naeun tanpa bersuara dengan menggerak-gerakkan bibirnya ke arah Myungsoo. Myungsoo hanya mengangkat bahunya lalu kembali menatap ke depan kelas. “Ah, benar-benar. Bagaimana bisa laki-laki itu menyadari bahwa aku tengah memperhatikannya,” gumam Naeun.

“Masuklah, murid baru.”

Setelah perkataan Hyuna itu, masuklah seorang laki-laki dengan wajah yang cukup misterius. Laki-laki itu memasuki kelas sambil memandangi murid-murid tersebut. Setelah laki-laki itu berada di depan kelas, Naeun langsung membulatkan matanya.

Tepat saat laki-laki itu ingin membuka mulutnya, Naeun menggebrak meja dan berdiri. Semua murid kecuali Myungsoo langsung terkejut dengan sikap gadis itu. Ia bahkan menunjuk lelaki itu tanpa malu.

YA! Kau bukannya laki-laki tidak sopan pemilik apartemen 203, ya?!”

“Ah… Benar-benar tidak tahu malu, Son Naeun,” gumam Myungsoo.

Laki-laki itu melirik sekilas Naeun lalu menghela nafas berat. Ia menggosok pelipisnya yang terasa pusing kemudian menatap ke depan sana mendapati laki-laki itu tengah tersenyum mengejek ke arah Naeun.

 

To be Continued 

July 14, 2015— 06:00 A.M.

::::

a.n.: Jangan lupa komentar, like, rate, dan segala macam feedback lainnya, ya!♥

6 thoughts on “[Chapter 3] Forbidden Love

Leave Your Comments Juseyo ^^