[Winter Giveaway] FRATRES (Oneshoot)

Fratres appinee @ Cafe PosterTitle : FRATRES

Story by : Author Hana Aninda

Cast(s) : EXO D.O, EXO Kai.

Genre : Brotherhood, Drama.

Rating : Teen

Disclaimer : Do Kyungsoo dan Kim Jongin hanya milik Tuhan, namun alur dan ide cerita asli milik saya. Cerita mitos Air dari Utara hanya imajinasi saja dan fanfiksi ini tidak terinspirasi dari cerita lain dalam bentuk apapun.

The flawless poster goes to this amazing person appinee @ Cafe Poster

Perang…

Dunia tak akan pernah berhenti berperang. Manusia adalah makhluk yang gila mengangkat senjata dan saling membunuh satu sama lain. Menjatuhkan dan membuat genangan darah mereka sendiri. Penyiksaan dan penghancuran selalu mengalir dalam tiap aliran darah mereka. Hak asasi dianggap tulisan di atas kertas tanpa ada kekuatan. Korban yang berjatuhan layaknya boneka yang tak penting. Pembantaian telah mendarah daging, menanamkan dendam kepada hati yang tersakiti.

Perang akan terus menjadi adat di dunia yang sudah tua ini.

Aku terlahir di atas kejamnya perseteruan, hidup dalam dunia peperangan, dalam masa kegelapan Korea.

Aku, Pemimpin Pasukan Angkatan Darat Korea Selatan, Jenderal Besar Do Kyungsoo.

“Jenderal, bagaimana keputusan Anda dengan surat perang dari Korea Utara?” Choi Heungsoo, bawahanku, melipat lengannya ke belakang punggung ketika bertanya. Menunduk seperti biasanya.

“Akan aku pikirkan dulu,” aku menerawang keluar jendela. Di luar sana, sekumpulan orang berseragam perwira seperti Heungsoo sedang berbaris rapi. Sebagian dari mereka mulai menguji fisik satu sama lain. “Kau bisa tinggalkan aku sendiri.”

“Permisi, Jenderal,” Heungsoo mengangguk dan berlalu.

Secarik kertas yang ditulis rapi dengan aksara hangeul masih tergeletak di atas meja. Secarik kertas yang membuat seluruh nyaliku sebagai seorang jenderal runtuh seketika. Bukan karena itu adalah surat perang dari lawan—bukan, aku sudah sering menerima surat semacam ini selama aku menjabat sebagai jenderal. Tapi karena surat itu dikirim langsung oleh pemimpin pasukan dari negara sebarang, dengan namanya yang tertera sangat tegas. Jenderal Besar Kim Jongin.

Kim Jongin.

Nama itu terdengar sangat akrab di telinga, terlebih lagi jika aku masih bisa mengingat wajahnya. Mengingat semua perangainya sebagai seorang teman, saudara, serta seorang adik.

Aku meremas kertas tadi dengan hati yang piuh, melayangkan kembali ingatan pada masa-masa itu. Masa ketika aku masih belia untuk mengerti apa itu perang, masa ketika pertama aku bertemu Kim Jongin.

“Hei, kau tak apa-apa?” Aku berlari ke arah anak lelaki yang meringkuk di sudut lorong kota. “Kenapa kau berada di tempat yang tidak aman seperti ini? Kau bisa mati terbunuh. Ayo ikutlah denganku.”

Dia tidak bergerak, masih memeluk erat lututnya yang terluka. Tubuhnya gemetar hebat dan terdengar sesenggukan tiap kali ia menarik nafas.

“Ayo ikutlah denganku, aku akan mengobati lukamu.”

Bocah yang tampak seumuran denganku itu hanya menggeleng perlahan.

“Tidak apa-apa, aku tidak akan melukaimu, justru aku akan mengobati lukamu. Aku tidak punya saudara kandung dan aku yakin orang tuaku juga akan senang jika aku punya teman di rumah.”

“Kyungsoo!”

Aku memutar kepalaku dan melihat ayahku, Jenderal Besar Do Woojin, menghampiri kami dengan kecemasan. Anak itu makin memeluk tubuhnya yang kecil.

“Apa yang kau lakukan di sini?! Tempat ini berbahaya, kembalilah ke rumah! Ikut ayah!”

“Ayah, tapi dia sendirian. Boleh kah aku mengajaknya pulang?”

“Tidak, cepat pulang!”

“Aku tidak ingin pulang tanpa dia,” aku berlutut, memeluk anak lelaki yang masih tak bergerak tersebut. “Dia bisa mati jika tetap di sini. Bayangkan saja dia adalah aku, Ayah.”

Ayah terdiam untuk beberapa saat kemudian menghela nafas. “Baiklah, bawa dia dan ikut ayah pulang.”

Aku tersenyum, mengangkat tubuh kurus anak malang itu. Kini aku bisa melihat wajahnya yang tertutup hitamnya debu, tanpa ada secercah asa untuk hidup, beserta mendung kelam dan kelabu di sekitar matanya yang sembab. “Namaku Do Kyungsoo, panggil saja Kyungsoo. Siapa namamu?”

“Jongin,” ia bergumam pelan dengan suara yang menyayat dada. “Kim Jongin.”

“Nah, Jongin, ayo jalan dan ikut bersamaku,” aku melingkarkan lenganku di sekitar bahunya. “Kau tampak tak sehat, tapi jangan khawatir. Ibuku seorang dokter.”

Kim Jong-In, namanya masih melekat di pikiranku, terpatri dalam benak. Mengingatkanku akan kenangan masa kecil, kenangan manis yang terlampau indah untuk dilupakan begitu saja. Kim Jong-In, lelaki yang berhasil memberi semua coretan indah di kehidupanku yang sepi, memberi semua tawa renyah di hari-hariku yang kosong. Kim Jong-In, lelaki yang juga mengirimkan surat perang dari Korea Utara.

Jongin adalah korban dari perang berkepanjangan antara Korea Selatan dan Korea Utara. Ia hidup sendirian, tak pernah sedikit pun menceritakan ceritanya. Dia hanya lelaki biasa yang bernama Kim Jongin, selebihnya tertutup di balik wajahnya yang rupawan. Aku selalu beramsumsi bahwa keluarganya lenyap di bawah kejamnya tusukan pedang, atau hilang diseret paksa oleh para penguasa.

“Lukamu akan segera sembuh jika dibalut dengan perban seperti ini,” ibuku dengan terampil membalut luka di kaki kiri Jongin, aku mengamati di sebelahnya. “Jadi, Jongin ya? Berapa umurmu, Jongin?”

Jongin belum menjawab, masih memandang kosong pada kakinya. “Tujuh tahun.”

“Tujuh tahun?” Ibu terkejut, dengan seulas senyum yang terlukis di bibirnya. “Kebetulan sekali, Kyungsoo sekarang berumur delapan tahun. Kalian pasti akan menjadi teman yang akrab jika kalian tinggal di sini.”

“Tentu saja, Ibu. Jongin dan aku akan menjadi teman terbaik sepanjang masa,” aku berseru, merangkul pundaknya dengan lenganku. “Iya kan, Jongin?”

“I-Iya, terima kasih,” Jongin membalas dengan amat lirih. Namun aku bisa melihat seulas senyum penuh harapan muncul di balik kesakitan yang ia rasakan.

“Kau jangan khawatir, mulai sekarang kau akan tinggal di sini sampai dewasa. Aku akan menjadi kakakmu, panggil aku Kyungsoo hyung!”

Jongin tersenyum. “Kyungsoo hyung.”

“Nah begitu,” aku tertawa.

Mulai detik itu, aku menobatkan diriku menjadi kakak bagi Jongin. Aku merasa sangat puas dengan keputusanku, dan memang itulah yang kurasakan. Aku bersyukur atas apa yang telah ditulis dalam cerita hidupku; bahwa hidup yang kujalani tidak seburuk yang pernah kupikirkan. Karena dengan hadirnya Kim Jongin dalam kehidupanku, semuanya tidak segelap yang kubayangkan. Jongin adalah keluargaku, Jongin adalah adikku.

Ayah dan ibuku juga menyayangi dan memperlakukan Jongin seperti seharusnya seorang anak. Mereka memberi Jongin sama dengan apa yang mereka berikan padaku. Termasuk pula akademik. Jongin berada di satu kelas di bawahku, dan dia termasuk murid teladan di sekolah kami. Jongin adalah anak yang cerdas, dengan semua pemikiran-pemikiran jenius yang selalu muncul di kepalanya. Selain itu, Jongin juga mahir dalam ilmu bela diri. Tangannya sangat terlatih untuk mengayunkan pedang. Dan ayah melihat potensi perang itu ada pada diri Jongin.

“Dulu pernah ada mitos tentang Air dari Utara,” ayah duduk bersila, menyilangkan lengannya di depan dada. “Air dari Utara adalah predikat untuk seseorang yang berhasil menciptakan kedamaian di dunia.” Ia memandang aku dan Jongin bergantian.

“Julukan Air dari Utara terdengar sangat meyakinkan,” aku menyeletuk.

“Apa kau tahu mengapa namanya Air dari Utara, Kyungsoo?” Ayah menaikkan kedua alisnya, ia melirik Jongin. “Jongin?”

Aku menggeleng.

“Air dari Utara,” Jongin bergumam. “Air melambangkan kesejukan dan ketentraman karena air memang sumber suatu kehidupan. Semua makhluk hidup bergantung pada air, tidak ada makhluk yang bisa hidup tanpa air. Bahkan darah yang mengalir dalam tubuh mereka juga berupa air,” ia berhenti sebentar. “Dan Utara, aku beranggapakan Utara adalah suatu tempat di belahan dunia bagian Utara. Seperti yang kita ketahui, belahan bumi bagian Utara dipenuhi salju yang dingin, atau air yang membeku. Jika keduanya disatukan, akan berarti; ketentraman yang terus mengalir, yang berasal dari kesejukan abadi.”

Cerdas. Kim Jongin memang cerdas.

“Jongin, besok pagi kau bisa masuk di kelas yang sama dengan Kyungsoo,” ayah tersenyum puas. “Dunia ini seperti sebuah padang rumput, dan peperangan ibarat api yang membara. Manusia senang menyulut api peperangan dan membakar semua rumput yang ada di ladang. Padahal mereka lupa, di bawah tanah masih ada air yang mengalir, yang menjadi sumber kehidupan bagi tumbuhan di atasnya. Air di bawah itu adalah semangat perdamaian,” ayah berhenti untuk menarik nafas. “Dan ketika padang rumput telah habis terbakar, akan ada air dari Utara, dari tempat yang tinggi, datang menghidupkan kembali tumbuhan yang telah mati. Memberi mereka harapan untuk bersatu dan menghancurkan ketidakadilan.”

Aku dan Jongin masih membisu, terhipnotis dengan cerita panjang ayah.

“Orang-orang terdahulu, sejak Dinasti Ming, percaya bahwa akan lahir seseorang yang menciptakan kedamaian di dunia ini. Mereka percaya Air dari Utara itu bukan hanya mitos, melainkan sebuah ramalan yang pasti akan terjadi. Dunia ini pasti akan seimbang, seperti dialiri Air dari Utara,” ayah menghela nafas panjang sekali lagi. “Sudah cukup untuk pelajaran kali ini. Kalian bisa bermain sekarang.”

“Kami tidak akan bermain, tapi berlatih!” Aku bangkit. “Ayo Jongin!”

Kim Jongin, masih kah kau ingat dengan cerita Air dari Utara?

“Hyung, apa kau percaya dengan cerita ayah tadi?” Jongin bertanya pada hari itu juga, setelah kami istirahat dari berlatih pedang seperti biasa. Matanya menyisir langit yang jernih—terlalu jernih tanpa adanya awan.

“Tentang Air dari Utara?” Aku duduk di sebelahnya, di bawah pohon besar yang teduh di halaman belakang. “Entahlah. Ayah bilang itu hanya mitos.”

“Kurasa itu bukan sekedar mitos. Karena aku yakin,” Jongin tersenyum, masih dengan matanya yang menerawang. “Suatu hari nanti manusia akan bisa saling memahami dan berhenti membunuh. Aku ingin menciptakan kedamaian, hyung.” Kini ia melirikku.“Aku ingin menjadi Air dari Utara seperti yang diceritakan ayah, seperti yang dipercayai orang-orang terdahulu.”

“Itu ide yang sangat bagus, Jongin.”

“Maka dari itu, untuk menciptakan ketentraman, kita harus berlatih lebih giat lagi. Setelah menjadi kuat, aku akan melawan ketidakadilan, menentang pembantaian, dan menggerakkan kedamaian di dunia ini,” Jongin menghela nafas, seolah membayangkan keindahan dunia yang damai dalam pikirannya. “Aku juga akan melindungi semua yang kusayangi. Termasuk keluargaku yang ada di sini.”

Senyum Jongin merekah seindah matahari di siang itu. Harapan baru muncul bersamaan dengan matanya yang berbinar. Dan mimpi Jongin pada saat itu menjadi mimpiku juga. Kedamaian dunia yang Jongin bicarakan, yang Jongin idamkan, seketika menjadi tujuanku juga. Aku juga ingin menjadi Air dari Utara seperti Jongin.

Untuk itu, aku juga ingin melindungi orang yang kusayangi. Termasuk melindungi Jongin sebagai adikku.

“Kalau begitu ayo latihan lagi, kau sudah mengalahkanku tiga kali. Kali ini aku akan mengalahkanmu,” aku bangkit.

“Baiklah!”

Aku membenamkan wajahku di atas meja tatkala kembali mengingat semuanya yang terekam dengan nyata dalam pikiran. Kim Jongin adalah tujuanku, Kim Jongin adalah inspirasiku. Tapi, apakah Kim Jongin juga penyulut api perang yang sempat padam? Apakah Kim Jongin adikku juga akan menjadi orang yang menentangku? Apakah Kim Jongin lupa dengan keinginannya? Apakah Kim Jongin lalai dengan cerita Air dari Utara?

Apakah Kim Jongin akan melakukan itu?

Kehidupan kami berdua berjalan sangat lancar seperti seharusnya. Kami tumbuh menjadi seorang prajurit terlatih dalam berbagai bidang, pada usia kami yang masih terlogong muda, 16 tahun. Jongin adalah ketua tim gabungan sekaligus ujung tombak di pasukan kami. Dia lelaki yang jenius dan perhitungan; semua strategi perang yang disusunnya selalu berhasil. Semua orang mempercayainya, termasuk ayah. Jongin adalah cahaya perang baru di mata ayah, maka tidak salah jika dia sering hadir untuk mengikuti rapat bersama ayah dan para petinggi lainnya.

Hingga pada suatu hari Jongin absen dalam rapat. Tidak ada yang tahu ke mana dia pergi, termasuk pula aku. Bahkan hingga beberapa hari kemudian, dia juga tidak kembali. Seolah terbawa angin, Jongin lenyap begitu saja. Ketua tim gabungan secara resmi diberikan kepadaku.

Sampai kemudian pada sore itu.

“Kyungsoo!” Ayah menggebrak pintu kamarku tanpa ampun. “Saudaramu itu adalah mata-mata!”

“Siapa? Jongin?”

“Ya!” Ayah menyilangkan lengannya. “Tidak kah kau tahu bahwa dia itu warga negara Korea Utara? Selama ini dia menyamar tinggal di sini hanya untuk mencari informasi. Pantas saja dia selalu tampak misterius akhir-akhir ini!”

“Tidak mungkin.” Pernyataan ayah berhasil memukulku.

“Dia hanya memanfaatkanmu, Kyungsoo!” Hardik ayah. “Dia melihat celah untuk menusuk dari belakang ketika kau lengah. Dan sekarang kau sudah tertusuk olehnya, itu karena kau tidak cukup pintar untuk mengetahui kelicikannya!”

Tidak! Jongin tidak akan berbuat seperti itu. Dia adikku dan tidak ada adik yang melukai kakaknya.

“Jika saja sebelumnya aku mengetahui kalau dia musuh. Sudah kupatahkan tulang lehernya!”

Tapi Jongin sudah menghilang. Raganya telah lenyap bersamaan dengan mimpinya untuk menciptakan kedamaian dunia. Kim Jongin telah kabur, sebelum ayah sempat membunuhnya. Dia membawa semua yang dia ketahui tentang negara ini kepada musuh. Aku merasa telah hancur, dan seolah justru aku-lah yang dibunuh—bukan dibunuh oleh ayah, tapi oleh perasaan. Selama ini Jongin menyembunyikan identitasnya sebagai warga Korea Utara. Dia tidak pernah menunjukkan satu petunjuk pun, semuanya tertutup dengan rapat.

Aku merasa dikhianati.

Bukan karena dia dari pihak musuh—bukan, tapi karena dia tidak pernah jujur kepadaku.

Setelah peristiwa itu, aku tidak pernah bertemu batang hidungnya lagi. Mendengar namanya saja bahkan tidak lagi. Kim Jongin hanyalah tinggal nama dan kenangan untukku.

Tahun terus berputar dengan cepat, bumi tempat berpijak juga semakin tua dari hari ke hari. Seiring bergantinya satu dekade, tidak ada perubahan yang signifikan dengan dunia ini. Perang masih membunuh pikiran manusia untuk bergerak maju, masih melumpuhkan niat manusia untuk memunculkan perdamaian. Tidak ada yang berhasil menghilangkan keegoisan manusia yang semakin menjadi. Kedamaian sebagai harga mati hanyalah angan-angan yang tidak akan bisa tercapai. Hatiku seolah berbisik, bahwa cerita Air dari Utara hanyalah sebuah mitos belaka.

Tekadku nyaris padam. Semangat menyelesaikan peperangan perlahan sirna.

Setelah berubahnya tahun, nama anak itu akhirnya muncul lagi di dunia. Kim Jongin, dia menampakkan dirinya lagi. Dan kali ini ia datang, bukan sebagai teman atau saudara, tapi sebagai musuh.

Jenderal Kim Jongin dari pihak Utara ingin bertemu denganku, dalam sebuah battle satu lawan satu yang ia anggap sebagai reuni. Dia mengirim undangan, untuk bisa melawanku.

Adikku, Kim Jongin. Telah melakukannya dengan amat sangat baik.

Undangan Jongin kuabaikan begitu saja dengan berat hati. Aku ingin melindungi semua pasukan dan rakyatku dengan segenap jiwaku, aku ingin mati untuk mereka, memberikan semua yang aku punya hanya untuk kemenangan negara ini. Aku bersumpah aku akan menyusuri jejak ayahku, yang bersedia menerima hukuman gantung sebagai ganti nyawa rakyatnya yang disandera. Aku ingin menjadi seperti ayahku. Tapi janjiku, pada Jongin kala itu…

Aku juga ingin melindungi orang yang kusayangi, termasuk melindungi Jongin sebagai adikku.

Kim Jongin, harus kah kita melakukan ini?

Sebagai seorang mantan kakak, aku mengenal Jongin lebih baik dari siapapun. Jongin adalah orang yang ambisius, dia akan lakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Selain itu dia juga sangat keras kepala, tidak mudah menganggukkan kepala setuju untuk sesuatu yang tidak diinginkannya. Dia memang keras kepala, bersikap sangat menentang dengan apa yang tidak dikehendakinya. Dia memang keras kepala, bersikeras menemuiku untuk bertarung.

Sampai kemudian, pada suatu pagi yang mendung, Jongin datang ke markasku beserta dua orang pasukan yang mengekor di belakangnya.

“Lama tak bertemu, Jenderal?” Jongin menyeringai, setelah meminta dua prajuritnya untuk meninggalkan arena latihan markas pasukanku. Dia melepas perisai besi yang membungkus tubuhnya. “Kali ini kita akan menguji kekuatan kita masing-masing. Kita lihat seberapa jauh kemampuan kita berdua sejak terakhir kita berlatih.”

Aku menghela nafas, memperhatikan sosoknya yang telah tumbuh menjadi pria yang tinggi. Dia tidak berubah secara fisik, masih sama dengan Kim Jongin ketika aku pertama dan terakhir bertemu. Hanya saja, dia pasti sudah jauh lebih kuat dari sebelumnya.

“Aku ingin bertarung secara adil, tanpa ada gangguan dari prajurit-prajuritmu,” mata Jongin menyipit dan bola matanya berputar seolah mengusir orang-orang bersenjata yang mengelilingiku.

“Kalian bisa tinggalkan aku,” aku menoleh dan dalam sekejap semuanya mundur. Meninggalkan aku dan Jongin di halaman belakang yang luas ini.

“Jenderal Kyungsoo, lepaskan armour pelindungmu dan mari kita berperang seperti seorang lelaki,” Jongin mengeluarkan pedang yang menggantung di pinggangnya, membuat bunyi gesekan yang menunjukkan ketajaman pedang tersebut.

Aku menghela nafas, melepas perisai yang menempel di badanku, “Jongin, aku—”

Jongin memutar pedangnya di udara, merelaksasikan pergelangan tangannya.

“Ada yang ingin aku tanyakan ketika aku bertemu denganmu,” aku berhenti, menunggu reaksi darinya. Dan ia hanya menatap mataku sinis, seolah memberi sinyal untuk berhenti berbicara. “Apa yang membuatmu jadi seperti ini? Apa yang merasukimu?”

Jongin mengernyitkan keningnya.

“Di mana Kim Jongin yang cinta damai? Di mana Kim Jongin yang ingin perdamaian dunia?”

Seketika Jongin tergelak, masih dengan suara tawa yang sama. “Jenderal Kyungsoo, apakah kau tidak berkembang selama ini?” Ia berhenti tertawa, “jika kau bertanya, aku akan katakan; aku sudah bukan Kim Jongin seperti yang kau pikirkan. Aku sudah bukan anak kecil cengeng yang kau bayangkan. Aku sudah dewasa.”

Aku menghela nafas panjang sekali lagi.

“Dan hanya untuk kau ketahui, Jenderal,” Jongin memainkan pedang di tangannya. “Kedatanganku ke mari bukan untuk bertarung saja, tapi aku juga ingin membunuhmu.” Dalam sedetik, aku merasakan seolah-olah pedang Jongin tiba-tiba bergerak cepat dan menghunus tubuhku seketika.

“Orang tuaku mati ketika aku masih kecil. Dan yang membunuh mereka,” Jongin melanjutkan, memejamkan matanya. Aku segera meraih pedang yang menggantung di pinggangku. “Adalah ayahmu! Dan aku ingin membayarnya kembali!” Ia berteriak, berlari mendekat dan mengacungkan pedangnya. “Jika aku tidak bisa membunuh orang yang telah membunuh orang tuaku, maka aku akan balas pada anaknya!”

Serangannya sangat cepat, tapi berhasil kutepis. Pedang kami bertautan dan membuat bunyi gesekan yang mengganggu. Aku bisa merasakan kekuatan dari tangannya yang mengalir dengan sangat cepat, mendorongku hingga kakiku tertarik mundur ke belakang. Dia memang Kim Jongin yang kukenal, Kim Jongin yang kuat.

Sepasang mata elang Jongin membara, seperti menyemburkan bola-bola api dari neraka. Dua gigi taring seolah muncul di barisan geliginya. Jongin siap menyantap mangsanya; dan aku adalah makanan yang empuk baginya.

Jongin mundur, membuatku surut dua langkah ke belakang. Dia mengatur nafasnya, begitu juga denganku.

“Saat kau menolongku waktu itu,” Jongin kembali menerawang. “Aku merasa sangat senang, karena masih ada orang yang peduli denganku. Masih ada seseorang yang mengganggap keberadaanku, masih ada seseorang yang menyayangiku seperti seorang kakak. Tapi aku tidak bisa mengelak fakta bahwa kau adalah putra Jenderal Woojin. Orang yang membunuh orang tuaku tepat di depan mataku.”

Aku merasakan tubuhku roboh seketika, hatiku piuh mendengarnya. Pengakuan Jongin tentang orang tuanya benar-benar menusukku dalam ke ulu hati. Aku sama sekali tidak tahu tentang keluarganya; termasuk kenyataan bahwa orang tuanya mati di tangan ayahku. Dia berhasil menyembunyikannya dariku. Maka aku tidak bisa mencela keputusannya, untuk membunuhku sebagai balas dendam.

“Dan aku harus hidup denganmu di rumah Jenderal Woojin, mengabdi pada seorang pembantai. Saat itu aku sadar bahwa tindakanku tidak lebih dari seorang pengkhianat,” gigi Jongin bergemerutuk. “Aku mengkhianati keluargaku, teman-temanku, dan juga seluruh warga Korea Utara. Aku tidak ingin hidup menjadi kaki tangan kalian dan mendapat predikat pecundang!” Jongin melangkahkan kakinya dengan cepat, beserta pedangnya yang siap menusuk. “Kau sama sekali tidak tahu bagaimana rasanya hidup menanggung beban sepertiku, Jenderal Kyungsoo!”

Aku mencoba tak bergerak, menutup mataku rapat-rapat.

Anak itu ingin membunuhku sebagai dendam keluarganya.

Dan aku ingin melindunginya sebagai adikku.

Jika memang ini yang dia inginkan,

Jika memang ini satu-satunya cara untuk mengembalikannya,

Aku akan melakukan semuanya yang aku bisa.

Untuk bisa melihat Kim Jongin yang dulu.

Untuk bisa melihat semangat adikku yang dulu.

Aku melepas pedangku, yang seketika terjatuh di tanah.

Satu, dua, tiga.

Secara nyata, aku merasakan tajamnya pedang Jongin yang menusuk. Dalam, menembus tubuhku hingga ujungnya berhasil keluar dari punggungku. Aku bisa merasakan dinginnya pedang Jongin di antara organ dalamku. Aku bisa merasakan sakit yang luar biasa ketika Jongin menggerakkan pedangnya. Dan aku bisa merasakan perlahan cairan merah kental mendesak keluar, mengalir melalui gigiku, keluar dari mulut.

Kubuka mataku, untuk melihat wajah Jongin yang tiba-tiba berubah pias.

“A-Ada apa? Ke-kenapa pedangnya…?” Aku bisa merasakan tangan Jongin gemetar, mengalir melalui pedangnya yang masih menusuk abdomen kiriku.

Aku masih menatap sorot matanya yang bening, sorot matanya yang ketakutan. Sorot mata yang sama ketika aku menemukannya dulu.

“Jika dengan ini…,” dengan seluruh tenaga yang tersisa, aku mulai berbicara. “…Semuanya telah terbalas…,” darah di pedang Jongin yang menancap di perutku mulai menetes. “…Berjanjilah padaku untuk menciptakan perdamaian di dunia ini.” Aku berhenti berbicara, merasakan tubuhku makin bergetar hebat. Kepalaku terasa pening, seperti ada palu raksasa yang terus mengetoknya. “Aku percaya padamu, Dongsaeng.”

Saat itu aku terhuyung, kedua kakiku sudah tak mampu menahan badanku. Wajah pucat Jongin berputar dalam penglihatanku, dan aku merasakan tubuhku terjatuh ke belakang. Namun tiba-tiba tangan anak itu meraih bahuku, menarik pedangnya dan menyisakan kesakitan yang teramat sangat ketika tajamnya pedang beradu dengan organ dalamku.

“Kyungsoo hyung… .”

Adikku, suaranya masih terdengar sama seperti dulu.

Tiba-tiba terdengar suara dentuman peluru yang diluncurkan dari berbagai arah. Bersamaan dengan robohnya tubuh Jongin yang masih mencengkram bahuku. Ia terjatuh, dengan erangan kesakitan yang terdengar sangat nyata. Aku tergeletak, dengan posisi telentang. Jongin masih di sebelahku, menggenggam erat dada kanannya yang mulai mengucurkan darah.

“SERANG DIA!!”

Satu dentuman lagi dan tubuh Jongin roboh seketika. Dia terbaring, tepat di sampingku. Kini aku bisa melihat wajah adikku dengan jelas.

Bibir Jongin bergetar, “Maafkan aku, hyung,” sebutir air jernih menetes dari sudut matanya, mengalir turun ke pipinya. “Terima kasih, Kyungsoo hyung.”

Ia mengulas satu senyuman dan aku mencoba membalasnya. Terdengar suara derapan langkah kaki di atas tanah yang dingin ini, tanah tempatku berbaring. Aku bisa merasakan sepuluh orang mengepung kami berdua, menghalangi pandanganku pada Jongin.

“Jenderal Kyungsoo!”

“Segera panggil pihak medis!”

“Bawa Jenderal Kyungsoo ke dalam!”

“Sudahlah,” aku bergumam, ketika tangan-tangan mereka meraih tubuhku. “Biarkan aku di sini dan patuhi satu pemintaan terakhirku,” aku mencoba memasukkan oksigen melalui rongga hidung. “Aku memang kalah di sini, tapi kedamaian dunia ini yang akan menang. Bawa Jenderal Jongin ke dalam dan obati lukanya, setelah itu patuhi perintahnya,” semua prajuritku fokus mendengarkanku. “Mulai sekarang dialah pemimpin kalian. Patuhi semua perintahnya, karena dia-lah Air dari Utara yang membawa kedamaian. Aku percaya padanya, maka kalian juga harus mempercayai adikku, Jongin.”

Aku memejamkan mataku.

Ayah, tugasku selesai sampai di sini. Maafkan aku tidak bisa menjadi sosok yang sama sepertimu. Maafkan aku, aku memang anak ayah yang payah. Tapi ayah, bukankah seorang pahlawan bisa disebut pahlawan jika dia tidak mati sia-sia?

Aku sudah kembali, membawa cahaya lama ayah yang telah hilang. Aku sudah kembali, memulangkan anak ayah yang lain. Aku sudah kembali, mengembalikan tekad dan semangat adikku Jongin. Mengembalikkan Air dari Utara yang sering ayah sebut.

Jongin, tidak salah lagi. Kau memang Air dari Utara yang orang dahulu ramalkan. Kau memang akan membawa perdamaian di dunia yang keras ini. Tekad itu masih ada padamu. Dunia ini kuserahkan padamu, aku percaya padamu, Jongin.

Aku masih bisa mendengar suara pasukan medis yang datang dan juga suara erangan Jongin ketika mereka mulai bekerja. Namun aku juga masih merasakan detak jantungku perlahan melemah, paru-paruku makin sulit untuk menukar oksigen. Kubuka mataku untuk melihat wajah cemas pasukanku. Wajah mereka berputar, suara mereka melemah, sentuhan mereka mulai tak terasa.

Setelah itu semuanya benar-benar gelap.


A/N: Menerima sequel; hanya untuk cerita versi/ sudut pandang Kim Jongin. Yay or nay?

5 thoughts on “[Winter Giveaway] FRATRES (Oneshoot)

  1. suka banget sama tulisan author ini^^
    Pemilihan katanya bagus, ide ceritanya gak mainstream, trs alurnya jg pas. Ditunggu untuk fanfiksi selanjut2nyaa ya, author. :))

  2. ampun, ini bagus banget. dari penyuguhan ide, bahasa, dan penyampaiannya bagus banget. aku malah kebayang film Black Hawk Down, mungkin juga ada beberapa yang udah baca. ceritanya sejenis, tentang perang. dan aku sangat suka banget sama penulis yang berani nulis fic action seperti ini, karena menyampaikan detil kejadian yang kaya gini itu susah sumpah and you’re so amazing for writing this story aduh aku suka keep writing!! btw, aku tata 99l 🙂

    p.s : for the sequel, I demand a yes from you haha

  3. aaa daebak daebaak ❤ ❤ *bacanya belum selesai, tapi comment dulu entar lupa.__./*

    beneran, kagum sama kyungsoo jongin :') , andaikata mereka sampai tua selalu bersama/? pasti engga ada bunuh bunuhan kaya gini;__;

    keep writing ! ^^

  4. Ya, ini cerita perang. Paragraf pertama q pikir seperti Avatar Aang. Pemgendali Udara. Yak, ini cerita yang sangat bagua. Aq membacanya dengan miris. Banyak hal yang mengerikan dari perang. Dan apapun itu oerang bentuk menghancuran masal. Cara termudah membunuh orang , manusia, mahluk Tihan , Roh, jiwa, …

    Tidak ada yang menang atau kalah. Perang bentuk keegoisan sejati dari sosok penguasa, penindas, mungkin mereka disebut sebagai iblis. Dan apapun itu dalam perang tidak ada yang menang dan kalah.

    Salut sama authornya yang bisa menhusung cerita ini dengan diksi yang indah. Menyusun kalimat dengan apik dan rapi, dan tidak memnosankan. Di sini detail dan menarik, menceritakan bagaimana DO dan Kim, mereka adalah jendral dan anak yang baik untuk Ayah mereka.

    kesan yang begitu dalam terlampir dalam deretan makna dendam, kasih sayang juga harapan untuk masa depan. Dan mereka tidak bersalah. Mereka korban dari keadaan. Perang.

    Dan ending yang mengharukan. Jika air memnag menenangkan semoga Jongin bisa membuat perdamaian yang tidak menenggelamkan.

Leave Your Comments Juseyo ^^