[OneShot] Clumsy Suho

c56a02614e73ee891f12530e6495726c8cf9e2f0

Clumsy Suho

by Zora

Suho (EXO), OC //  Romance, fluff // OneShoot  // PG

Summary :

Dia kartu kredit berjalan dan seorang supir gratis.

Dan butuh 100 hari kurang satu untuknya memanggil namaku.

 

=*=

 

Aku tidak ingat bagaimana persisnya kejadian tiga bulan lalu. Saat aku diberi bunga dan ditawari untuk berkencan dengan seorang pria bernama belakang Kim itu. Bukan-bukan, bukan si penyanyi terkenal Kim Jongdae yang satu klub tenis denganku, bukan juga si seksi Kim Jongin dari divisi seni tari ataupun Kim Minseok si senior imut yang memiliki lengan berotot. Hanya seorang junior, setahun lebih muda dariku yang berpakaian seperti pekerja kantoran. Kim Junmyeon. Aku bahkan baru tahu namanya setelah dia memberiku bunga.

 

“Kang Eunsoo-sunbaenim, aku s-sudah … memperhatikan Sunbae dari dulu. Jika diizinkan … aku ingin berkencan … dengan … Sunbae.”

 

Kau bisa bayangkan bagaimana malunya aku di depan (hampir) seluruh mahasiswa yang memaksaku untuk menerima tawaran dari bocah cantik ini. Oh ya, dia cantik untuk ukuran lelaki. Tampan? Terkadang. Dia tidak begitu tinggi tapi jelas lebih tinggi dariku, lebih putih dariku dan aww… aku benci mengatakan ini tapi dia lebih feminim dariku.

 

Sunbae, apa tanganmu tergores? Ah iya, biar kuobati. Aku punya plaster.”

 

Bayangkan dia membawa tisu, obat-obatan, plaster luka, obat merah, pelembab wajah, parfum dan hal-hal yang umumnya biasa dilakukan wanita-wanita yang tingkat feminimnya sudah akut. Berbeda denganku yang terlalu malas untuk membawa barang-barang itu. Ehm, kecuali lipstick dan bedak. Tentu Junmyeon tidak membawa hal seperti itu. Beruntung juga dia tidak membawa eyeliner dan pelembab bibir seperti Byun Baekhyun yang satu kelas Bahasa Inggris denganku. Jadi harga diriku sebagai wanita tak begitu terluka.

 

Sunbae, biar kuantar pulang nanti sore.”

Sunbae, mau kemana akhir pekan ini?”

Sunbae, aku telah memesan tempat di Moratti’s. Kudengar pasta di sana yang terbaik.”

Sunbae, aku tak sengaja melihat baju ini kemarin. Dan kupikir ini akan sangat cocok untuk Sunbae.”

Sunbae, biar aku yang bayar.”

 

Dan ini adalah beberapa hal menyenangkan menjalin hubungan dengan Kim Junmyeon. Dia hampir selalu mengantarkanku pulang-pergi kemanapun dengan mobil SUV miliknya, meski ia berdalih itu milik orangtuanya. Lalu terkadang mengajakku makan malam di restoran mewah, yang mengharuskanku berdandan. Seringkali pula dia memberiku barang-barang yang tak terbilang murah, seperti baju branded ataupun sepatu limited-edition.

Perlu diingat! Bukan aku yang memintanya, dia sendiri yang memberikan semua barang-barang itu padaku. Well, aku bukan orang yang menolak rezeki dari Tuhan. Biarlah bocah cantik yang kaya itu berbagi isi dompetnya. Ha. Junmyeon juga memberi surprise party di hari jadi kami yang ke-50 dan berbagai kejutan lainnya. Meski terdengar romantis, pada dasarnya Junmyeon adalah orang yang mudah canggung, kikuk dan seringkali memalukan untuk dibawa pergi.

Percayalah, ketika di hari jadi ke-50 kami pergi naik kapal pesiar di sungai Han. Dia bilang dia tidak menyewa seluruh kapal itu, tapi aku tahu dia menyewa kapal pesiar itu dari sore hingga tengah malam. Saat selesai makan malam, dia mulai gugup dan berkeringat. Dia tersenyum paksa dan terkadang terlihat seperti Ajusshi mesum. Aku bahkan merinding ketika mengingat-ingat lagi wajahnya itu.

Lalu dia memberiku sebuket bunga mawar merah. Tangannya bergetar seperti getar ponsel yang memiliki frekuensi tertentu di periode tertentu. Dan konyolnya, dia memiliki catatan kecil di tangannya yang lain saat ia menyanjungku dengan kalimat puitis. Hingga membuatku mual mendengar kata-kata yang dirangkai sedemikian mengerikan. Dia tidak tahu saja kalau itu adalah hal terbodoh yang di lakukan pria di abad 21 ini. Dia kurang naif apa lagi coba?

Aku sendiri tidak begitu ingat. Kenapa aku mengatakan ya? Kenapa Tuhan? Kenapa kau membuat mulutku mengatakan ya saat lelaki itu bilang menyukaiku? Oh mungkin saat itu aku sedang tak waras. Dan sekarang aku mulai bertanya-tanya bagaimana lelaki itu menyukaiku. Sebelum kejadian tiga bulan yang lalu itu, aku hanya pernah bertemu beberapa kali dengannya di perpustakaan sekolah (mungkin) atau mungkin kami berpapasan di jalan. Namun sepanjang ingatanku, aku tak pernah berbicara dengannya. Itulah masalahnya.

Jadi sebelum melebar, aku sempat memintanya untuk menghakhiri hubungan tak wajar ini. Yah, meskipun aku akan kehilangan kartu kredit berjalan dan seorang sopir gratis. Aku tetap tidak bisa menjalin suatu hubungan dengan terpaksa terlalu lama. Lagipula aku juga tidak mau mencap diriku wanita matrealistis.

 

“Bisakah Sunbae bertahan sampai hari ke-100? Aku janji akan menjauhi Sunbae, jika Sunbae tak menyukaiku.”

 

Itulah perkataannya ketika aku minta putus, seketika hatiku mengelos entah kemana. Kenapa harus 100 hari? Kenapa? Kenapa? Terlalu banyak kenapa, dan aku tidak tahu kenapa aku harus bertanya kenapa. Oh demi bulu ketiak Kim Han Bin–sahabat karibku yang sibuk dengan dunia keartisannya. Aku bahkan tak pernah mendapat ciuman dari orang yang berstatus kekasihku itu. Okay, jangankan ciuman, dia bahkan tak pernah berani memegang tanganku. Lalu kenapa dia mengajakku berkencan? Oh Tuhan aku sudah tidak tahan.

Aku mengerjap sesaat ketika dering ponsel tanda panggilan masuk berbunyi. Sudah dipastikan itu Junmyeon. Aku mengganti nada dering ponsel, khusus bila dia yang menghubungiku. Dan meja belajar yang kutiduri terasa tak nyaman lagi. Aku bangkit dan mengangkat telepon itu.

“Ada apa?” kataku malas.

Sunbae … besok jam tiga. Di taman depan apartemenmu, bisakah kita bertemu?”

 

=*=

 

“Sudah kubilang aku ingin Coca Cola bukan Sprite!” Aku menatapnya sinis saat Junmyeon kembali dengan dua kaleng soda berwarna hijau metalik.

Dan seperti biasa butuh sepuluh detik untuknya berbicara dengan kaku. “Begitukah? Baiklah, aku akan membeli Cola.”

“Sudahlah, ini saja,” kataku yang langsung menarik satu kaleng Sprite dari tangannya. Membuka paksa segel di kaleng itu hingga pengaitnya patah. Ini memalukan. Aku seorang gadis yang menunjukan betapa perkasanya diriku di depan kekasihnya sendiri. Namun, Junmyeon tak mengatakan apapun. Dia hanya memberikan kaleng minumannya padaku yang sudah dibuka segelnya. Sedangkan kaleng milikku yang sudah hancur pengaitnya itu berdiri begitu saja di antara aku dan Junmyeon.

“Maafkan aku …,” kata Junmyeon tiba-tiba ketika aku meneguk kaleng soda.

Aku melirik ke samping. Lelaki berambut hitam dengan potongan pendek yang rapi itu terlihat murung. Dan lagi, aku merasa bersalah (lagi). “Myeonnie-ku bisakah kau berhenti meminta maaf?”

“Aku salah, jadi aku harus minta maaf. Itu kata ibuku.” Oh tuhan, lelaki macam apa yang masih berbicara ‘kata ibu’ di umurnya yang ke-21 tahun. Tolong siapa saja percepat waktu, jadi aku bisa memutuskan hubungan aneh ini. Tunggu, bukankah hari ini adalah hari ke-99? Itu berarti besok semua mimpi buruk ini akan berakhir. Oh Tuhan terimakasih.

“Sudah kukatakan bukan? Kau harus belajar untuk berhenti mendengar kata ibumu.”

“Tapi, itu tidak baik, itu ….”

Stop. Kau mengajakku berkencan hari ini bukan untuk mendengarkanmu bercerita betapa luar biasanya ibumu membesarkanmu, bukan?”

“Maaf ….”

“Oh, sayang. Harus berapa kali kukatakan, tak boleh mengatakan maaf. Tidak untuk hari ini.”

“Baiklah, ma ….” Aku menekan pandanganku padanya. Dan ia hanya tersenyum ragu.

“Jadi kau punya rencana hari ini?” tanyaku sekali lagi meneguk kaleng soda.

Dia yang duduk di sebelahku berpikir sejenak. “Ehm, sebenarnya aku hanya ingin kita duduk di sini dan melihat sungai Han. Tak masalah?” katanya skeptis.

“Tak masalah. Apa kaupikir aku adalah wanita yang ingin diajak ke mall setiap kali pergi berkencan?”

“Ya,” jawab Junmyeon dengan polos.

“Kau bercanda?”

“Tidak.” Sekali lagi dia menggeleng. Dan aku bingung harus bagaimana. Memang benar akhir-akhir ini aku selalu meminta Junmyeon menemaniku berbelanja dan hampir selama itu pula aku memintanya membayar tagihan belanjaanku. Namun aku pun tahu diri, aku tak meminta dibelikan barang-barang mahal. Hanya beberapa keperluan kecil. Sungguh.

“Perkataanmu cukup kasar. Kau harusnya minta maaf,” kataku berusaha untuk tidak terlihat canggung.

Sunbae yang bertanya. Dan bukankah aku tidak boleh mengatakan maaf.” Duarr … meledak sudah isi kepalaku. Dia sebenarnya pintar atau bodoh?

“Sudahlah lupakan. Jadi bagaimana dengan kuliahmu?” ujarku mengalihkan topik pembicaraan.

“Baik, hanya ada beberapa kendala dalam tugas kelompok.”

“Yah, aku juga. Kau tahu? Park Chanyeol, teman sekelasku. Karena terlalu pintar dia salah dalam mengkompisisi aransemen lagu. Dan kau tahu? Profesor Cho langsung memarahinya karena tidak teliti.” Aku terkekeh sendiri mengingat kejadian tadi pagi, saat ujian praktek seni musik sedang dilaksanakan.

“Apa Sunbae senang melihat kesalahan orang lain?”

“Ah, kau ini tidak bisa diajak bercanda. Aku bukan senang di atas penderitaan orang lain, hanya saja bukankah lucu seorang Park Chanyeol yang selalu sempurna di semua mata pelajaran, gagal dalam ujian praktek gegara kesalahan kecil.” Aku hanya mengangkat bahu berusaha membuat lelucon lain, tapi Junmyeon dengan wajah lurus sejalan tol–tapi tak selurus wajah Oh Sehun–hanya terdiam seperti patung.

“Bagiku itu tidak lucu,” jawabnya lagi mengubah posisi duduknya menghadapku.

“Ah, kau ini. Tidak bisa diajak bercanda.” Aku hanya melempar punggung ke sandaran kursi taman yang kami duduki. Memandang sekumpulan rumput liar yang tumbuh di tepi pagar pembatas antara area pejalan kaki dengan garis sungai.

Ah, aku baru sadar. Aku dan Junmyeon sudah sering kali kemari, duduk sambil bercerita tentang apapun. Meski pada akhirnya seperti tadi, Junmyeon tak bisa diajak bercanda. Dia tidak tahu apa itu menjadi humoris. Dia orang yang terlalu lurus dalam berpandangan dan orang yang terlalu kaku untuk menjalin sebuah hubungan. Kalau dia berubah menjadi sedikit saja lebih ‘manusiawi’ dalam hubungan bodoh ini, mungkin aku akan bertahan lebih lama dengannya.

Sunbae, sepertinya akan hujan. Sebaiknya kita mencari tempat teduh,” katanya memandang langit gelap di atas kepala kami. Tangannya terulur kedepan menunggu satu tetes air tiba di telapak tangannya itu. Seolah ia tahu hujan memang akan datang ketika ia berkata seperti itu. Atau memang itu salah satu kemampuan Junmyeon, karena selalu, guyuran titik-titik air itu akan datang.

Detik berikutnya setetes air jatuh di atas punggung tanganku. Aku pun beranjak dan meninggalkan bangku itu menuju sebuah pondok di tengah taman. Namun belum sempat aku sampai di pondok itu, hujan melebat secara ajaib. Segera aku berlari, di saat bersamaan sebuah jaket biru tua milik Junmyeon tersemat di atas kepalaku. Junmyeon sendiri tetap berjalan di belakangku. Hingga kami-atau hanya dia–setengah basah kuyup saat tiba di pondok itu.

“Ini.” Kuberikan jaketnya lagi tapi dia malah memberi sapu tangan mliknya dan menyampirkan jaketnya di punggungku. Sedang sapu tangan yang dia berikan padaku kugunakan untuk mengeringkan lengan kemeja putihku yang basah.

Sunbae, besok hari jadi kita yang ke-100,” kata Junmyeon tiba-tiba ketika aku terduduk di bangku kayu tanpa sandaran itu.

“Ah, kau benar. Lalu?”

“Itu berarti besok aku akan mendengarkan jawaban Sunbae.” Jawaban? Oh, jawaban itu.

Uh-huh.”

“Jadi … Sunbae tahu ‘kan? Aku akan segera menjauh jika Sunbae tak menyukaiku. Namun aku tidak berharap hal itu terjadi. Karena aku sangat senang berada di samping Sunbae sambil mendengar Sunbae berbicara. Aku merasa 99 hari ini terasa begitu menyenangkan, dan aku harap Sunbae juga merasakan hal yang sama, jadi, jadi … bagaimana kalau dipercepat satu hari. Sebenarnya tak masalah jika besok, tapi, t-tapi ….” Seperti biasa dia gugup dan canggung dan kikuk. Ingin sekali aku menendangnya dan memberitahu Junmyeon untuk tenang. Namun lenganku malah menarik ujung kemeja biru langit yang dia kenakan. Memberi isyarat untuknya duduk di sampingku.

“Boleh kutanyakan satu hal padamu, Junmyeon?”

“Eh?” Dia mengangguk ragu.

“Kenapa kau menyukaiku?”

“Kenapa tiba-tiba bertanya hal itu?” jawabnya cepat.

“Kenapa harus menunggu 100 hari untuk mendengar jawabanku?”

“Itu ….”

“Aku ingin kau menjawab pertanyaanku terlebih dahulu sebelum kujawab pertanyaanmu,” kataku sambil mengeluarkan sapu tangan milikku untuk dia gunakan. “Dan jangan berputar-putar, to the point.”

Junmyeon terpaku sesaat, dia tak menjawab perkataanku dan hanya sibuk mengeringkan sudut pakaiannya yang basah dengan sapu tangan milikku. Hingga ia menghela napas panjang dan bersuara kecil. “Sejujurnya waktu itu aku tak benar-benar menyukai Sunbae.”

“Hah? Lalu kenapa kau mengajakku berkencan? Ommo, apa aku baru saja tahu aku dipermainkan?” candaku. Meski aku sedikit–tidak–aku sangat sedikit terkejut.

“Tidak itu … begini. Mungkin Sunbae tak mengingatku, tapi aku ….”

To the point, sayang,” kataku berusaha manis. Meski aku sendiri tidak tahu kenapa aku harus bersikap manis.

“Aku adalah calon ketua siswa saat sekolah menengah dulu. Dan saat itu Sunbae adalah kakak kelasku.”

“Jadi dulu kita juga satu sekolah? Lalu?” Aku berusaha terdengar biasa. Mulai bertanya-tanya apa maksudnya ini, kemana kisah ini akan berujung. Mungkinkah aku cinta pandangan pertamanya, tunggu, atau mungkinkah kisah ini cinta bertepuk tangan. Ah, sekarang fantasi dramaku mulai melonjak naik.

“Saat itu … aku sedang berpidato dan tak ada seorang pun … yang mendengar.” Aku mengerjap sesaat, berpikir apa yang akan dikatakan selanjutnya. “Dan … dan hanya Sunbae yang mendengarku dan menghargaiku … dan aku mengagumi Sunbae sejak saat itu.”

Lima detik pertama mulutku terbujur kaku tak bisa mengatakan apapun sampai aku mengerti kata ‘mengagumi’.“Hanya karena itu?”

Junmyeon mengangguk kaku.

Perutku terlonjak naik, suaraku tak tertahankan dan aku tertawa sekeras yang aku bisa. Meski aku berusaha menutupi mulutku dengan tangan tapi napasku mulai tersenggal-senggal karena selama dua menit aku hanya tertawa. “Ayolah Myeonnie, tak ada yang lebih dramatis? Mungkin aku menolong salah satu anggota keluargamu dan kau sangat berterimakasih padaku. Atau kau hanya jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gadis sembrono sepertiku. Ayolah jangan bercanda, ceritakan hal yang sebenarnya.” Masih dengan air mata yang memenuhi kelopak mataku.

“Itulah yang sebenarnya. Sunbae selalu terlihat keren, bisa bergaul dengan siapapun dan orang yang sangat pemberani, Sunbae juga terkenal. Semua orang mengetahui Sunbae. Kang Eun Soo, Kang Eun Soo, Kang Eun Soo. Begitulah nama yang sering digumankan seluruh temanku, aku ingin menjadi seperti Sunbae.” Dia idiot. Dan aku tidak bisa berhenti tertawa.

Setelah kewarasanku kembali. Aku berusaha terdiam seperti paku yang tengah di pukul-pukul dengan palu dan berusaha berpikir. “Oh oke, terserah kau saja. Meski tak masuk akal. Jadi kau hanya perlu menyapaku dan mengobrol baik-baik. Jika memang benar kau hanya mengagumiku, kau tak perlu mengajakku berkencan dan mempermalukanku di depan semua orang,” candaku diselipi nada sarkasme.

“Itu karena ….”

“Jangan berbelit-belit.”

“Sehari sebelum aku mengatakan menyukai Sunbae. Aku melihat Sunbae menangis karena seorang pria. Jadi kupikir … aku bisa … menghibur Sunbae. Jadi kalau Sunbae punya pria baru, Sunbae takkan sedih. Maka dari itu aku berusaha menjadi pria baik. Aku pikir Sunbae akan suka jika aku membelikan barang-barang mewah, mengajak ke restoran dan ….” Junmyeon terus mengoceh sementara aku melempar ingatanku ke tiga bulan lalu.

Aku tak pernah mempunyai kekasih semenjak aku masuk kuliah. Kekasih terakhirku Do Kyungsoo, hanya bertahan empat bulan ketika aku masih kelas tiga sekolah menengah atas. Dan barusan dia bilang melihat aku menangis oleh pria. Ah, aku ingat.

“Oh, Myeonnie.” Kupotong kisah panjang lebarnya. “Dia hanya Hanbin, aku menangis karena terharu akhirnya dia debut juga sebagai artis.”

“Hanbin?”

“Ya, B.I, nama panggungnya. Kau tidak tahu? Dia sahabatku sejak kecil, dia selalu bermimpi menjadi penyanyi besar. Tapi sudah tujuh tahun dia di-trainee, dia tak kunjung debut juga. Lalu setelah mendengar kabar dia debut. Aku menangis. Hanya itu. Hanya itu. Dia sahabatku yang sudah seperti saudara lelakiku. Okay?”

“Aku tidak tahu, Sunbae punya teman seorang artis.”

“Aku pun tidak tahu, aku punya pacar yang memacariku hanya karena kasihan.” Dan sekarang aku terlihat menyedihkan. Aku mendengus kesal. Entah kenapa aku merasa menyesal menanyakan alasannnya. Dan, entahlah, aku juga merasa … wah, dia lelaki yang benar-benar baik.

“Tidak, bukan seperti itu,” sahutnya cepat.

“Lalu apa selain kasihan?”

Dia terdiam sejenak, meraih tangan kananku dan menggenggamnya hingga ke atas dadanya. “Sunbae merasakannya.” Aku mengangguk, aku merasakan debaran yang seirama dengan jantungku. Cepat dan terlalu berdesak hingga sulit bernapas. “Inilah yang kurasakan sejak Sunbae meminta mengakhiri hubungan ini. Aku tidak tahu kenapa, tapi yang aku tahu, aku tidak ingin mengakhiri hubungan ini. Tidak disaat jantungku sakit seperti ini. Jadi aku tak ingin mengakhiri hubungan ini sampai hari ke-100. Setidaknya sisa 50 hari yang kumiliki mungkin waktu yang cukup untuk membuat Sunbae menyukaiku. Tapi, kurasa Sunbae sepertinya tak menyukaiku.” Dia tersenyum mengakhiri pidato panjangannya itu. Meski matanya berbinar air dan mulutnya kaku oleh angin yang melewati celah di antara kami. Dia tetap tersenyum dengan pipinya yang mengembung bulat.

“Kau benar, kau menyebalkan.” Aku menarik tanganku yang masih merasakan dadanya.

“Begitukah?” katanya kikuk.

“Bukankah kau seharusnya meminta maaf? Kau berkencan denganku hanya karena kasihan.”

“Katanya aku tidak boleh mengatakan maaf.”

“Ah iya, sudahlah lupakan.” Aku merasa bodoh sekarang.

Hening. Dalam 99 hari yang kulewati bersama Kim Junmyeon, ini pertama kalinya aku merasa aneh berada di sekitarnya. Merasa terlalu bersemangat untuk mengatakan kalimat lelucon. Merasa terlalu kaku untuk memeriksa penampilanku di hadapannya. Dan merasa bahwa akulah yang dibodohi selama ini. Ah, jantungku, kurasa aku harus memeriksakan diri ke dokter.

“Untuk hari ini saja, bolehkah aku memanggil Sunbae, Eunsoo?” katanya memecah suara halilintar yang berkumandang di langit sana. Hujan semakin deras.

Aku mengerjap. Mataku melihat matanya yang kini menatap lurus ke kedua mataku. Bukan pertama kalinya dia melihatku seperti ini, tapi, pertama kalinya aku merasa tak ingin melepaskan pandangan itu. “M-memang kapan aku menyuruhmu untuk selalu memanggilku Sunbae, sunbaenim. Kau pacar-ku tapi selalu saja menggunakan bahasa formal. Itu memalukan kalau didengar orang lain, seperti kaulah yang terpaksa berpacaran denganku.”

“Kalau begitu, aku akan memanggimu Noona? Eunsoo-noona? Atau Eunsoo-ya? Eunsoo-ah? Soonie. Bagaimana?”

“Eunsoo saja. Jangan pakai embel-embel ie.” Juga jangan noona, aku merasa sangat tua jika dia memanggilku begitu.

“Tapi kau memanggilku, Myeonnie.”

Kuangkat tanganku meraih kedua pipinya. Memainkan pipi itu sambil berkata, “Itu karena kau begitu menggemaskan setiap kau bertingkah canggung. Hingga aku ingin mencubit pipimu berulang kali dan melakukan seperti ini.”

Tiba-tiba dia tersenyum dan menggenggam tanganku di pipinya. “Jadi, bagaimana jawabannya?”

“Eh?”

“Aku mungkin orang yang kikuk. Namun aku akan belajar bersosialisasi. Aku mungkin tak seperti Kim Jongin-sunbaenim, Kim Jongdae-sunbaenim ataupun Kim Minseok-sunbaenim, yang terkenal dan dipuja banyak orang. Meski begitu aku hanya akan menjadi suho-mu, guardian-mu. Melindungimu dan menjagamu. Jadi?”

“Ini masih hari ke-99, Myeonnie.”

“Kalau begitu, jika Sunbae–tidak maksudku–jika kau menghindar berarti jawabannya tidak.” Barulah kusadar ketika bibirnya menyentuhku. Lima detik, ciuman pertama kami. Dan dimana Junmyeon yang kikuk? “Dan jika kau tidak menghindar, kuanggap jawabannya adalah ya.”

“Kau ternyata bisa mencium seseorang,” kataku masih mematung di posisiku.

“Aku sudah berlatih … untuk … momen ini.”

Aku tertawa tak tertahankan. Dia bodoh atau naif atau keduanya, mungkin ditambah tak waras. “Awalnya aku tidak berpikir untuk menjawab Ya. Tapi kalau kau seperti ini terus mungkin aku akan bertahan sampai hari yang tak bisa ditentukan,” kataku menghentikan hujan yang tiba-tiba menghilang entah kemana dan hanya ada langit cerah sejauh mata memandang

 

 

-END

 

 

A/N :

Sebenernya ada beberapa judul untuk ff ini, contoh : 100-1 days; Why? Why?; Awkward Boy dan masih banyak lagi yang lewat di kepalaku. Tapi, aku milih judul Clumsy Suho. Suho yang kikuk. (bener gak sih?) Walau enggak begitu yakin nyambung apa engga sama isinya, tapi aku suka artikulasi waktu bilang Clumsy Suho~ Oh apa ini? /abaikan/

Wekk .. aku sendiri engga nyangka nulis ff kayak gini … terinspirasi dari betapa-kakunya-suho-si-leader-exo-di-fluttering-india-dan-dia-sangat-menggemaskan … oh oke … tengkyu sudah membaca… di tunggu reviewnya dan maaf soal typo dan tulisan yang kaku <=sudah lama engga nulis fluff^^

 

 

 

Zora

6 thoughts on “[OneShot] Clumsy Suho

  1. ouh…dr fluttering inspirasiny n cerita. pntess aj, secara maknae dadakan stlh bergabung dg kyuline…..
    mna kyu bersikap over bgt lg am suho selaku kka kpd adik tersayang

    iri…. 😥
    am Eunsoo…ak jga mw…
    sampe nikah mlah

    • iyups~ di sana dia lucu sih hehehe …
      maknae dadakan tapi kelihatan suhonya … dan aku pun iri sama eunsoo ..
      hahahah… yang sabar aja ‘-‘
      dan makasih XD

Leave Your Comments Juseyo ^^