[Chaptered] SCARLET SERIES [1]: Scarlet Heart, Girl and The Troule!

scarlet-1

SCARLET HEART: Girl and The Trouble

A fanfic by Bluebellsberry

Starring by Park Jiyeon, Kai, Myungsoo, V and others

“Percayalah, setiap orang yang datang bukan cuma kebetulan. Mereka memiliki porsinya masing-masing untuk mengajarkan kita sesuatu”—anonim.

Inspired by a little story about family.

.

.

.

Don’t be a silent reader, because karma has no menu—it’s served as you  deserved.

.

.

.

Aku mengerjap beberapa kali. Bola mataku kemudian bergerak cepat, berusaha keras mengingat tempat dimana aku berada sekarang—well, itu tidak berhasil sepertinya. Pikiranku buntu. Yang bisa terjangkau netraku cuma langit-langit putih dengan lampu kristal yang berpendar redup.

“Sudah sadar?”

Oke, aku mendengar seseorang bicara sekarang. Khas dengan suara baritonnya. Dan yang bisa ku lakukan cuma menatapnya bingung.

Gwencanna?”

Kali ini ku dengar suara yang agak berbeda. Dia sedikit bass, mungkin. Dan lagi-lagi yang bisa ku lakukan cuma menatap dengan tatapan yang mungkin bisa di kategorikan polos.

“Dia tidak mati, kan’?”

Yang satu ini sukses membuatku naik darah. Apa maksudnya bicara begitu? Memangnya aku ini sekarat atau apa?

Oh—baiklah, oke. Aku mengerti sekarang. Otakku yang tidak terlalu pintar ini sepertinya sudah mulai bekerja dengan baik, kecuali kalau ketiga lelaki ini melakukan sesuatu. Bisa jadi kan’ kalau mereka adalah sekelompok psikopat yang suka mencuri organ tubuh?—Uuh, aku sama sekali tidak mau memikirkannya.

“Gadis itu masih hidup?”

Kali ini runguku mendengar suara sopran khas anak kecil—tapi anak kecil yang satu ini kelihatannya akan sangat menyebalkan. Sangat. Aku jamin.

“Siapa namamu?”

Kulihat ada seorang pria yang kira-kira beberapa tahun lebih tua dariku, kulitnya agak coklat dengan surai legam dan sorot mata setajam elang. Dia menatapku lekat-lekat dengan pandangan yang…er…lembut, mungkin?

“Park Jiyeon, mungkin?”

Pria berkulit gelap itu terlihat agak kaget, “Apa kau tidak ingat namamu?”

Aku tertawa garing, sambil bertanya dalam hati—apakah intonasiku tadi benar-benar seperti orang bodoh yang menanyakan namanya sendiri? Lalu dari tatapannya aku thau bahwa sepertinya aku memang melakukannya. Ya Tuhan, Park Jiyeon, apakah ada satu syaraf lagi yang putus di kepalamu, huh?

“Apa kau baik-baik saja?” dia bertanya lagi—si pria kulit cokelat maksudku—dan tatapannya menyiratkan kekhawatiran.

Aku menatap ke sekitar, rupanya masih ada tiga orang lagi disana. Seorang pria yang sepertinya seumuran denganku, seorang remaja dengan seragam SMA, dan bocah kecil yang imut nan menggemaskan. Dan pertanyaan itu muncul seketika: Dimana aku?

“Apa ada yang sakit?” lagi, si pria kulit cokelat yang perhatian itu bertanya—masih dengan kekhawatiran yang tadi. “Lihat kan’ Myung, sudah berkali-kali kuingatkan untuk hati-hati!” dia berseru, sepertinya ditujukan pada seorang pria dengan wajah, sikap dan penampilan sedingin es.

“Dia kelihatan bodoh, hyung!” aku mendelik pada seorang anak yang tampaknya masih balita itu, “Dan semakin terlihat jelas saat dia berbicara.” sialan. Bocah kecil itu memang harus disumpal mulutnya dengan cabai.

Lantas detik berikutnya orang yang paling tidak ku gubris kehadirannya—si remaja berseragam SMA—menarik napas panjang dan meninggalkan kami sisanya disini, sendirian. Eh, tidak—maksudku, berempat.

“Apa yang terjadi?” pertanyaan itu lolos begitu saja. Oke, aku mengaku saja bahwa kapasitas berpikirku mungkin sama dangkalnya dengan anak SD—atau lebih dangkal, tapi semoga tidak—dan mulut ini rasanya tidak tahan untuk membendung rasa penasaran yang jelas tidak bisa kujawab dengan analisa murahanku.

“Minta maaf padanya, Myung.” Oh—ya Tuhan, dimana kau menciptakan lelaki nan tampan penuh perhatian ini?—kalau ini mimpi, tolong, jangan bangunkan aku. “Kim Myungsoo, minta maaf.”

“Aku tidak salah. Orang ini yang dengan bodohnya menyebrang, hyung.” Mulutku baru saja ternganga lebar. Dan aku bersumpah akan mengutuk pemuda es yang tidak tahu diri ini!

“Tak apa, jangan dipikirkan. Dia selalu begitu pada semua orang,” si kulit cokelat menjelaskan, “Oh iya, namaku Kai—anyway, bagaimana denganmu?”

“Hah?”

Dia tersenyum, “Kau.”

“Aku?” tanganku menunjuk diriku sendiri, “Apa?”

“Kau benar-benar tidak ingat?” dia mulai khawatir lagi, “Apa kita perlu ke dokter?”

Aku diam sejenak, mencoba menanggapi kata-katanya—meskipun sebetulnya aku lebih sibuk menatap wajahnya, sih, “Tidak—tidak. Sama sekali tidak, maksudku adalah…aku cuma akan berjalan pulang, mungkin.”

“Pulang kemana?” dia bertanya lagi, “Ayo, kuantar.”

Untuk kedua kalinya rahangku terjun bebas, membuat mulutku membentuk huruf O yang sangat besar. Sebenarnya pria cokelat ini terbuat dari apa?—mengapa semua hal yang ada pada dirinya begitu menggoda? Dan—oh, ya Tuhan! Kenapa jantungku harus bereaksi berlebihan terhadap senyumnya? Kurasa aku sudah gila—entahlah.

“Kau tidak ingat alamatmu?” dia bertanya lagi, masih menatapku—siapapun, tolong selamatkan jantungku yang malang.

“Tidak. Aku sehat, baik-baik saja dan tidak kurang satu apapun.” ucapku akhirnya membuka suara. Dan sepertinya itu memberinya harapan, bahwa—

“Bagus!” dia berseru tiba-tiba, “Aku senang kau tidak apa-apa, karena akan merepotkan kalau harus membawamu kerumah sakit atau pergi ke kantor polisi.” Dia tersenyum cerah, secerah matahari pagi—atau mungkin matahari pun masih kalah cerah dengan cengiran ala pasta giginya itu. “Bayangkan, berapa banyak uang pengobatan atau denda yang harus dihabiskan kalau kita ke rumah sakit—atau ke kantor polisi.”

Hening. Aku sama sekali tak bisa melakukan apapun atas ucapannya, kecuali menganga lebar-lebar. Entah sudah berapa kali rahang ini terjun bebas—mungkin kalau sekali lagi aku melakukannya, maka  akan ada hadiah gelas cantik.

“Tapi, apa kau yakin kalau kau baik-baik saja?” dia bertanya lagi, masih dengan mimik khawatirnya. Aku juga tidak menjawab, cuma mangangguk kecil, “Bagus. Aku tidak mau kalau sampai ada tuntutan mengenai ini—akan sangat memalukan kalau seorang pengacara di tuntut atas tindak kriminal.”

Aku terkejut, “Memangnya tidak kriminal apa yang kau lakukan padaku?!”

“Te—tenang, maksudku adalah, Myungsoo—bukan, kau… baru saja terserempet mobil yang dikendarai adikku.”

“Ya Tuhan, apa aku sungguh tidak apa-apa?” aku bertanya pada diriku sendiri, dan di hadiahi tatapan keheranan oleh pria tampan eksotis bernama Kai ini.

“Kau sungguh tidak apa-apa?” Kai mengulang pertanyaanku, kali ini tampaknya dia benar-benar serius. “Lupakan ucapanku soal uang tadi, dan kalau memang ada yang sakit…maka kita bisa pergi kerumah sakit. Aku akan bertanggung jawab penuh.”

“Termasuk pada hidupku.” jawabku cepat—terlalu cepat.

Dan sepertinya pria ini sudah gila, “Ya, termasuk hidupmu.” Katanya.

Aku membelalakan mata, menyakinkan diri kalau aku memang tidak salah dengar.

“Eh?” Kai tiba-tiba saja menatapku kaget, seperti sadar akan sesuatu. “Maksudku adalah…aku akan bertanggung jawab terhadap pengobatanmu—itupun kalau sampai terjadi sesuatu setelah kejadian itu.”

“Kalau tidak, bagaimana?”

Aku mengutuk diriku, bahkan ribuan kali setelahnya. Tanya kenapa? Tentu saja karena pertanyaan bodoh yang baru saja terlontar. Itu kelewat bodoh, pastinya.

“Kau mau apa?” dia bertanya, menatapku lekat-lekat hingga manik kami beradu, “Kompensasi, mungkin?”

Otakku tampaknya benar-benar kehilangan satu syaraf. Ini terlihat jelas terhadap kebingunganku menjawab pertanyaan yang mudah itu. Tapi aku harus memikirkannya matang-matang—apakah ini akan menjadi solusi bagi masalahku, atau justru sebaliknya?

“Kalau aku mau tinggal ini disini, bisa?” sial. Lagi-lagi aku tidak bisa mengontrol mulut sialan ini. Kau sangat memalukan, Park Jiyeon!

“Memangnya kau tidak punya tempat tinggal?” dia bertanya serius, menatapku dengan tatapan seolah aku tengah membodohinya. Padahal…hei! Aku cukup yakin kalau tidak akan bisa mengelabui bocah kecil tadi. Jadi bagaimana mungkin aku mengelabui seorang pengacara seksi yang perhatian ini?

Aku cuma menggeleng untuk menjawab pertanyaannya tadi, benar-benar tidak paham dengan cara berpikir orang cerdas. Jangankan paham, hampa lebih masuk akal.

“Aku benar-benar membutuhkannya…setidaknya untuk saat ini—dan maaf kalau aku harus mengatakan ini: terimakasih pada adikmu yang sudah menyerempetkan mobil kalian padaku, karena secara tidak langsung aku mendapatkan pemecahan masalahku.” Aku terhenti, masih di intimidasi oleh tatapannya, “Dan bukannya aku tuna wisma atau apa, tapi dengan mengizinkanku tinggal sama artinya kau telah membantuku keluar dari sebuah labirin bernama…keluarga.”

“Kau serius?”

“Aku bisa membantu menjaga bocah kecil itu, pastinya.” Jawabku kikuk, lengkap dengan senyuman ala iklan pasta gigi, “Dan aku juga bisa mencuci, beres-beres atau—”

“Maksimal dua bulan.” Potongnya cepat.

Aku menatapnya sengit, sambil menghitung dalam kepala mengenai berapa lama sebaiknya aku tinggal disini—menunggu keadaan disana mereda.

“Empat bulan.”

Kai menarik napas, “Dua bulan.”

“Tiga bulan.”

Sengitku kemudian, tak mau kalah—ini adalah hidup dan matiku—kalau sampai melepaskannya begitu saja, maka unnie akan cepat-cepat menemukan aku lalu menyeretku pulang. Tidak. Aku sama sekali tidak mau berada di rumah yang hampir sama dengan neraka itu. Aku sudah terlalu lelah menjadi bayangan di balik cahaya—terlalu lelah untuk dianggap kasat mata. Tolong, aku ini cuma manusia biasa…bukan mahkluk invisible yang biasa muncul di tivi.

Kai tampak berpikir sejenak, kemudian mengalah. “Baik, tiga bulan.” Ucapnya, “Dan kau harus mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan baik.” Sejurus kemudian bangkit, menuju ke buffet kayu yang tampak antik itu lalu mengambil secarik kertas—dan memberikannya padaku untuk selanjutnya aku bubuhi stempel. Tapi berhubung keadaan darurat dan aku tidak membawa stempel, kurasa tanda tangan mau tak mau cukup baginya.

Ya Tuhan, aku tidak tahu harus bahagia atau apa—orang itu, si pria kulit cokelat eksotis yang seksi, baru saja menyetujui proposalku. Dan tentu saja tidak gratis, karena sepertinya aku baru saja terjebak disini sebagai seseorang yang kurang lebih sama seperti pembantu—dan tanpa di gaji. Bagus, Jiyeon, kau memang sangat jenius.  Jelas-jelas kau tahu bahwa kai adalah pengacara, dia sudah mengatakannya—dan kau dengan bodohnya menandatangani secarik kertas kosong. Dia bisa saja kan’ menulis kontrak budak selama tiga bulan untuk menyiksa?

Dan dengan hal ini Jiyeon semakin yakin kalau salah satu syaraf di otaknya telah terputus—benar-benar putus sampai ia yakin kalau kepalanya makin tidak berisi, makin kosong, dan cara berpikirnya semakin dangkal. Yeah! You got it, Park Jiiyeon! Aku benar-benar sukses lari dari kandang harimau dan masuk ke kandang macan.

“Ayo, ku kenalkan pada semuanya.” Pemuda itu bangkit lagi dan mengetuk dua kamar yang berjejer di sebelah tenggara, memanggil keluar mahkluk-mahkluk yang tadi sudah sempat dia lihat.

“Oke, semuanya, dia adalah Park Jiyeon.” Kai membuka obrolan, dan aku tahu persis kalau tidak satupun dari mereka yang menanggapi dengan serius. “Mulai hari ini dia akan tinggal bersama kita.”

“APA?!” mereka protes bersamaan. Heol!

“Dia akan menjadi pengasuhmu, Gyu,” Kai melanjutkan, “Termasuk beres-beres dan mengurus hal-hal yang berkaitan dengan rumah.”

Aku mendengus, meratapi nasibku selanjutnya tanpa bisa melakukan pembelaan sedikitpun—yeah, ini memang salah otakku yang terlalu lambat berpikir…aku benar-benar bodoh.

“Tidak mau!” bocah yang bahkan belum berusia lima tahun itu mendengus, “Dia tampak bodoh, hyung, sudah kubilang kan’?”

“Kim Gyubeom!” Kai berseru, “Aku tidak menerima protes, ingat?”

Remaja lelaki itu masih dengan seragam SMA-nya, memegang game konsol dan mengemut lolipop di mulutnya—terlihat seperti bukan siswa yang baik. Aku cuma menatapnya sekilas tanpa minat.

“Yang ini adalah Kim Myungsoo, mahasiswa Seoul University—orang yang menyebabkan kekcauan ini pastinya.” Kai menarik napas, “Dan yang satunya Kim Taehyung, tingkat akhir di Seiryu High School. Sisanya balita berusia empat setengah tahun, Kim Gyubeom—tolong kerjasamanya, Jiyeon-ssi…”

“Astaga, apa kau serius hyung?” bocah Kim itu masih terlihat kesal, “Dia bodoh dan tidak secantik Irene Red Velvet, tidak seseksi HyunA dan menyedihkan seperti saudara tiri Cinderella.”

“Kim Gyu, tolong-terima-saja-dia-sebagai-pengasuhmu.” Kata Kai penuh penekanan, diakhiri dengan cengiran lebar yang di paksakan.

o—oh, ya Tuhan, bocah! Tolong, berhenti membuatku menjadi orang paling tak berguna—demi apapun, aku yang akan merawatmu sampai tiga ulan kedepan. Shit! Aku baru saja menyesali keputusanku untuk memanfaatkan Kai atas kelakukan adiknya, yang tadinya kupikir akan menguntungkanku—tapi sepertinya aku salah orang. Yah, kapan sih aku benar? Sialnya hampir tidak pernah. Kebanyakan zonk dan dengan bodohnya aku selalu mengulangi kesalahan yang sama.

“Kau berdarah?” tanya Kai tiba-tiba, membuatku sontak menatapnya heran, “Lututmu berdarah, kau tidak sadar?” lanjutnya lagi.

Dan sejurus kemudian aku cuma menoleh kebawah, melihat ada luka dibawah sana sambil tersenyum kikuk.

“Lihat kan’? Kebodohannya itu diluar batas wajar.” Kim Gyubeom, bocah sialan itu—tolong, siapa saja boleh membantuku merebusnya nanti.

Aku mengabaikannya, begitu pula pemuda es bernama Myungsoo itu. Dia cuma menatapku sekilas dengan muka ditekuk—mimik kecut yang sangat menyebalkan.

“Mau main?” suara remaja bermarga Kim itu menyapa rungu, sambil mengisyaratkan konsol gamenya dia tersenyum padaku—senyuman khas anak SMA.

Gyubeom semakin kesal sepertinya, “Jangan ajak dia hyung! Percayalah, kebodohan itu menular.”

“He—hei!!” aku melotot, menatap kepergian mereka dengan garang hingga dua orang itu masuk ke dalam kamar dan pintu di tutup. Aku benar-benar tidak menyukai bocah Gyu itu!

Detik berikutnya Kai datang dari arah lainnya, muncul dengan sekotak P3K sambil menatapku heran. Dia kemudian mengisyaratkan padaku untuk duduk. Dan tanpa banyak bicara pemuda itu menarik kaki ku hingga ke atas meja, kemudian membuka kotak obatnya. Dengan cekatan dia membalurkan alkohol pada kapas dan menempelkannya sebentar pada bagian yang terluka itu sebelum membubuhkan obat merah dan menutupnya dengan plester dan perban secara sempurna.

“Jangan di ambil hati, ya?” dia tersenyum, “Mereka sering begitu, tapi tidak punya maksud apapun—terutama Myungsoo. Dia memang…yah, seperti itu.”

Aku menatapnya tanpa berkedip, memperhatikan setiap lekuk wajahnya kemudian kulit cokelatnya dan akhirnya terlalu fokus pada seorang Kai. Dia masih menggulungkan perban ketika aku tiba-tiba saja tertarik pada jakunnya yang tampak…er…menggoda. Aku tahu kalau seketika itu juga syaraf-syaraf di otakku seperti berhenti bekerja—mungkin karena aku terlalu bodoh, dan sepertinya sudah mulai gila.

“Kau bisa pakai ruang mencuci dan mengubahnya jadi kamar. Maaf, tapi kami tidak punya kamar lain lagi.” Begitu katanya.

Aku mengerjap dua kali ketika sadar kalau ternyata Kai sudah menatapku keheranan. Apa aku sebegitu bodohnya, ya? Entahlah. Yang jelas aku tahu satu hal, bahwa aku sudah jatuh cinta pada Kai dipertemuan kami yang pertama!

-To be Continued: Scarlet Sun, The Truth is…[Coming Soon]-

20 thoughts on “[Chaptered] SCARLET SERIES [1]: Scarlet Heart, Girl and The Troule!

  1. Hayo nanti endingnya sama siapa? Jamgan-jangan sama Gyubom. LOL
    Ruang mencuci? Hmmm kaya apa coba tu ruangan yang mau jadi kamar Jiyeon? Yang keluar dibayanganku banyak baju bergantungan dimana-mana, mesin cuci hahaha

  2. huahhh keren alurnyaa tapi ada Myung ahh pengennya Myungyeon huahh berharap tapi Jiyi udah kecantol ama jongin dulu.. semoga perasaan jiyi ke jongin hanya sekadar kagum wkwk #maksa

    lanjut baca

  3. Ciee… jiyi langsung ke sem-sem ma sih joong dari pandangan pertama. Kira-kira tar ff ini bakalan menghasilkan couple apa yah? Ditunggu part 4nya yah yun..

    Baru sadar kalo aku bacanya ngacak masa, heehehee…
    Keep writting n fighting!!

  4. Huahh,bkalan seru nih critanya..apalagi main castnya jiyeon sama kai…kluarga kai jga klihatannya lucu bgt..lnjutan ya thor…aku reader bru disini..izin bca ya thor..:)

Leave a reply to BluebellsBerry Cancel reply