[Oneshoot] Autumn Event – Autumn Under Your Shoes

auys

Autumn Under Your Shoes

 Jinho48 & Dazdev

 Angst | Hurt | Sad | Romance | Friendship

Park Hyung Shik (ZE:A) || Lim Ji Yeon (Actress) || Kang Minhyuk (CNBLUE)

Based on Prompt : Ia benci menunggu, namun karena rasa penasarannya ia telah melakukan itu selama bertahun-tahun tanpa ia sadari. – BaekhyuneeYixing

Poster By Berserkheal @ArtFantasy

HAPPY READING~

Lim Ji Yeon duduk bertopang dagu di tepi jendela dan tak pernah berhenti memandangi rumah Hyung Shik seakan ada keajaiban dunia tengah bertengger di sana.

Ji Yeon lupa bagaimana ia memulainya, menunggu Hyung Shik seakan-akan ia tak memiliki dunia lain untuk digandrungi. Ji Yeon selalu dihantui rasa penasaran perihalbagaimana kehidupanHyung Sik sedang berlangsung, maka ia menemukan dirinya menghabiskan waktu demiwaktu untuk menyaksikan keseluruhan hidup pria itu seperti potongan-potongan film yang tak pernah ia mengerti alurnya.

Ji Yeon penasaran. Masihkah Hyung Shik menyimpan bola bekel pemberiannya dulu? Apa Hyung Shik masih suka makan telur setengah matang? Atau apa ia masih mengidolakan Lionel Messi dan poster-poster pemain bola masih terpampang di dinding-dinding kamarnya?Apakah Hyung Shik yang sekarang masih sama dengan Hyung Sik 15 tahun lalu?

Nyatanya pria itu bahkan tak melambaikan tangan meski keduanyasecara tak sengaja bertukar pandang. Ia tak tersenyum, tidak menyapa, seakan Ji Yeon hanyalah aksesoris jendela—ia tidak perlu repot-repot beramah tamah padanya. Hyung Shik tentu tak lagi sama.

Ini tidak adil bagi Ji Yeon. Hyung Shik telah beranjak dari bocah kecil penggila bola menjadi pemuda club yang kerap pulang tengah malam sementara dirinya masih terjebak di antara ingatan gadis 6 tahun dan kekaguman pada tetangganya sendiri.

Dengan langkah gontai ia beranjak dari tempatnya. Memilih untuk mengabaikan rasa ingin tahu tentang sang tetangga. Namunsebuah figura foto yang berdiri manis di atas meja nakas menarik perhatiannnya kali itu.

Foto itu mengingatkannya akan kenangan yang pernah ia lalui bersama Hyung Shik. Ia ingat betul kapan foto itu diambil, penghujung musim gugur sekitar 15 tahun silam di Jeju. Pada foto itu mereka tampak tersenyum bahagia. Ji Yeonmemeluk teddy bear kesayangannya sementara Hyung Sik merangkulnya erat.

Ji Yeon ditarik secara paksa dari angan-angannya ketika seseorang mengetuk pintu kamarnya tak sabaran. “Noonaaa! Ayo makan bersama! Aku membeli jjajangmyeon kesukaanmu.”

Itu Jaebum, adik kecil kesayangan Ji Yeon yang super cerewet. Ji Yeon buru-buru mengusap wajahnya yang telah dibasahi air mata tanpa ia sadari.“Ne, Jaebum-ah. Tunggu sebentar!”

Ia menyusuri dapur dan memandangi meja makan dengan hidangan jjajangmyeonnya di atasnya. Ji Yeon tersentuh. Jaebum benar-benar adik yang penuh dengan perhatian, hingga pada detik itu Ji Yeon lupa bagaimana rasanya terabaikan.

Ketika ia Jaebum menyantap makanan dengan lahap, Ji Yeon menatapnya lekat-lekat. Tangannya terulur untuk mengacak rambut legam adiknya. Jaebum mendongak, memandangi kakaknya dengan heran. “Ada apa Noona? Kau baik-baik saja ‘kan?” Tanyanya polos.

Ji Yeon tersenyum lembut. “Entahlah. Hanya saja… Kau mengingatkanku pada seseorang.” Ji Yeon memandang ke luar jendela dan mulai menyadari musim gugur akan segera melanda setelah ini, “Saat dia semurmu, dia benar-benar anak yang baik.”

‘Saat itu musim gugur dan dedaunan yang mengering keemasan begitu berkesan di matanya. Mungkin sekarang… ia menginjak dedaunan itu dan mengabaikannya.’

Jaebum nampak bertanya-tanya. “Eum, siapa orang itu?”

“Dia itu cinta pertamaku.”

“Apa sekarang ia menyakitimu? Karena demi jjajangmyeon dalam perutku, Noona, wajahmu murung sekali saat ini. Aku jadi kahawatir padamu. ”

Ji Yeon tertegun. Hyung Shik tak semestinya merenggut kebahagiaan yang ia pancarkan terhadap orang lain. Ia harus menepis kesedihannya dan menyembunyikan perasaan itu ke balik senyum palsu yang manis dan indah . “Ah, cinta pertamaku itu… Sudah lama tiada, Jaebum-ah. Jadi aku merasa berduka setiap kali mengingatnya.” Dusta Ji Yeon berusaha meyakinkan adiknya “Boleh aku minta jjajangmyeon milikmu?”

“Tentu saja! Noona harus makan yang banyak. Tidak perlu takut gendut. Noona akan selalu cantik bagaimanapun bentuk badanmu.” canda Jaebum dan Ji Yeon terkekeh geli karenanya.

Perhatian Jaebum selalu membuatnya lupa bagaimana rasanya terabaikan.

.

.

Hyung Shik kelewat betah bersembunyi di balik selimut tebalnya meski silau mentari menyelinap dari balik tirai, meski alarm ponselnya berdering keras, ia tak menghiraukannya barang sedetik. Hingga ketukan kasar terdengar dari luar kamar. Dia bisa menebak siapa pelakunya namun dia memilih untuk tidak bergeming dari kasurnya.

“Hey, Park Hyung Shik! Aku tahu kau mendengarku. Segera bangun dan lekas mandi! Temanmu sudah menunggu di bawah. Cepatlah dasar pemalas!”

Hyung Shik dengan terpaksa mendudukan diri dan pergi mandi. Tak sampai setengah jam ia telah siap. Ia Bergegas keluar dari kamar lalu mencomot roti panggang yang ada di meja makan lantas menghampiri sahabat baiknya yang tengah memasang wajah jengah di ruang tamu sementara dirinya hanya mampu melontarkan cengiran tak bersalah.

“Bisa lebih lama dari ini, eoh? Kapan kau akan menghilangkan tabiat burukmu ini? Dasar payah!”

“Hei, calm down, Minhyuk-ah. Pagi-pagi sudah menggerutu saja. Ayo berangkat!”

“Kau tidak berpamitan pada noona-mu?” Ujar Minhyuk sebelum keduanya melangkah meninggalkan ruang tamu.

Hyung Shik memutar bola matanya kesal, “Entahlah. Aku sedang malas berbicara dengannya. Kaja!” Ajaknya sambil berlalu melewati Minhyuk.

.

.

Dengan langkah angkuh, Hyung Shik berjalan melewati lorong utama universitasnya. Sementara Minhyuk mengekor di belakangnya sembari menebarkan senyuman manis pada mahasiswi yang menyapanya. Ya, keduanya memang bertolak belakang. Jika Hyung Shik suka bersikap angkuh dan dingin, Minhyuk kebalikannya. Tapi karena perbedaan itulah mereka bisa saling melengkapi.

Tiba di kelasnya, pemuda jangkung itu memilih bangku yang paling belakang dan terletak di pojok ruangan. Sementara sahabatnya lebih memilih duduk di depannya. Dia sedang malas duduk bersebelahan dengan orang yang sudah membuatnya kesal di pagi hari. Dan Hyung Shik tak ambil pusing dengan tingkah Minhyuk itu.

Di seberang bangku Hyung Shik ada seorang gadis yang sejak tadi terus memperhatikan pria itu. Gadis berkuncir kuda itu sibuk mengagumi betapa indahnya sosok pemuda jangkung yang kini tengah tertidur pulas dengan bertumpu pada tumpukkan buku tebal. Ia tersenyum melihat wajah polos Hyung Sik saat tertidur.

“EHEM~” deham Dosen Min yang kini tengah berkeliling dan tepat berhenti di meja Hyung Shik. Buru-buru gadis tadi mengalihkan pandangannya sebelum ada yang menyadari aksinya yang diam-diam memperhatikan pemuda tampan itu.

“Dilarang tidur saat jam pelajaranku berlangsung, Tuan Park! Sekarang cuci wajahmu dan lekas kembali ke kelas! Jangan sampai kau bolos lagi, oke?” titah Dosen Min. Hyung Shik hanya mengangguk lalu berjalan gontai menuju kamar mandi yang ada di sebelah ruangan.

Dosen Min kembali melanjutkan dengan menerangkan materi baru. Semua sibuk memperhatikan penjelasan dari dosen itu termasuk gadis berkuncir kuda tadi. Dia tampak sibuk mencatat beberapa hal penting yang di sampaikan dosennya. Tak lama Hyung Shik pun masuk dan mulai memperhatikan apa yang di terangkan oleh dosen killer itu.

.

.

Gemerlap lampu diskotik begitu menyilaukan dan tampak menggoda. Banyak muda-mudi yang tengah meliukkan tubuhnya mengikuti irama dari piringan hitam yang di putar oleh DJ. Ada pula yang tengah meneguk berbagai macam minuman beralkohol. Bahkan ada juga yang tengah bercumbu mesra di salah satu bilik khusus yang memang di sediakan di tempat itu. Salah satu diantaranya adalah Hyung Shik.

Pemuda itu tengah sibuk mencumbui seorang gadis bertubuh mulus dan seksi. Ya, dia memang suka menyewa gadis-gadis yang ada di tempat ini. Salah satu yang sering di sewanya adalah Park Jiyeon. Gadis itu jatuh cinta pada Hyung Shik namun sayangnya pemuda itu hanya menganggapnya sebagai pemuas saja. Tapi Jiyeon tak peduli dan tetap mencintai pemuda itu. Ia terus melayani pria itu kapanpun ia di butuhkan.

Tiba-tiba Hyung Shik melepaskan cumbuannya. Dia memilih untuk duduk di sofa sembari meminum winenya. Membiarkan bagaian atasnya topless dan juga membiarkan Jiyeon kebingungan dengan tingkahnya. Gadis itu membenahi pakaiannya lalu berjalan mendekat ke arah pemuda tampan itu.

“Ada apa denganmu, Hyung Shik Oppa?” tanyanya manja.

“Tidak apa. Aku hanya sedang tidak ingin. Temani aku minum saja, oke?” jawabnya datar. Jiyeon mengangguk paham tanpa mempertanyakan lagi. Dia duduk di samping Hyung Shik lalu meminum sparkling wine favoritnya.

“Tapi kau bisa cerita jika ada sesuatu yang tengah mengganggu pikiranmu, Oppa. Aku siap mendengarkannya.” Ujar Jiyeon pelan.

“Pasti. Aku akan menceritakannya nanti. Untuk saat ini, kau tidak perlu tahu apapun.”Tanggap Hyung Shik acuh.

Bagi Hyung Shik, tidak ada yang perlu diketahui oleh si-cantik-gila-minum ini tentangnya. Hyung Shik hanya merasa tengah dilanda kejenuhan tanpa ia ketahui penyebabnya. Lagipula, yang gadis itu bisa lakukan hanyalah berpura-pura mendengarkan, ber-oh ria, kembali minum-minum, mabuk, lalu meracau minta disetubuhi. Beruntungnya, Ji Yeon masih terlalu bagus untuk Hyung Shik depak dari malam-malamnya. Meski ia cukup memuakkan, tetapi kesempatan bermain-main dengannya tak boleh dibuang dengan percuma.

.

.

Tengah malam bahkan nyaris pagi, Hyung Shik baru terpikir untuk pulang. Ia meninggalkan Ji Yeon terkapar di biliknya sambil meronta ingin bercinta, mungkin ada pria lain yang dapat mengabulkan permohonannya, tapi bukan Hyung Sik. Ia terlalu malas dan ngantuk bahkan untuk melucuti baju gadis yang setengah tak sadarkan diri itu.

Hyung Shik cukup terkendali ketika menyetir mobilnya menuju rumah. Minum-minum hampir menjadi rutinitas hingga berliter-liter alkohol belum mampu untuk merubuhkannya. Ia mungkin masih tersadar, namun ia bisa saja menyerempet kendaraan lainnya di jalanan. Hyung Shik tak peduli, karena ia pikir, jikalau ia mati pun tak akan ada yang repot-repot menangisinya.

Hyung Shik sampai di perkarangan rumah dalam keadaan utuh dan kewarasan yang telah hilang setengahnya. Mendadak Hyung Shik ingin bernyanyi, menari, dan memainkan saxophone walau ia belum pernah menyentuh alat musik itu. Ia keluar dari mobil dengan terhuyung sembari bersenandung tanpa menyadari lagu apa yang tengah ia senandungkan.

Pintu depan terkunci atau memang sengaja dikunci dan tak akan dibukakan hingga pagi. Senandung dari bibir Hyung Shik menjelma menjadi rentetan sumpah serapah dengan nada yang masih sama. Ia mempersembahkan lagu itu untuk kakak perempuannya yang jelek dan menyebalkan. “Park Shin Hyeee! Buka pintunya atau kubakar kau dan rumah ini!”

Seruan Hyung Shik di respon dengan sangat baik karena daun jendela di lantai dua lantas terbuka, Shin Hye dengan gaun tidurnya tengah berdiri dibalik sana. Saudari Hyung Shik itu selalu cantik meski ia sedang menagantuk sekaligus geram. Hyung Shik sudah bosan menyaksikan raut wajah itu.

“Bakar dirimu sendiri dan segeralah kembali ke neraka!” Shin Hye meraih bantal dari tempat tidurnya lalu menohok benda itu ke perkarangan sementara Hyung Shik menyambutnya dengan sigap begitu saja. “Tidurlah di luar bocah neraka! Dan biarkan bekunya malam memadamkan api-api dosamu!” Setelah Shin Hye selesai dengan ceramah singkat sekaligus umpatannya, ia membanting daun jendela hingga Hyung Shik rasa kaca-kacanya akan segera rontok dari kusen jendela.

“Dasar wanita bertempramen buruk! Pria mana yang sudi menikahimu kelak, eoh?” Komentar Hyung Shik tanpa berniat memekik lagi demi mencegah benda yang jauh lebih membahayakan ditohok untuk kedua kalinya. Ia lalu melangkah teseok-seok menyusuri halaman, ia merasakan pusing yang berdentum ngilu seolah martil kasat mata tengah dihujamkankan berkali-kali dari atas kepalanya. Mungkin kepalanya hendak pecah dan jalannya sempoyongan, namun ia masih dapat menangkap bayang-bayang seseorang dari kejauhan.

Rambut gelap sepinggul, mata sayu dan garis bibir kaku yang kerap terlihat gundah. Hyung Sik tidak menyukai orang-orang dengan perawakan seperti itu. Mereka terlihat rapuh dan mudah terkoyak seperti dedaunan kering musim gugur. Khususnya perempuan ini, Hyung Sik membencinya dengan alasan tertentu yang bahkan belum ia ketahui.

“Kau boleh meminjam selimut milikku, Hyung Shik. Cuaca malam ini bisa membuatmu mati kedinginan.” Ujarnya. Sekarang Hyung Shik mengerti satu dari puluhan alasan mengapa ia tak menyukai Lim Ji Yeon, tetangganya yang terlihat lemah.

Hyung Shik pikir, anak ini sedang melakoni peran malaikat surga utusan Tuhan lantaran dirinya benar-benar naif. Hyung Shik menjauhi gadis itu ketika sekolah menengah. Ji Yeon memintanya untuk berhenti merokok dan selalu memiliki kesempatan untuk menuturkan naskah khotbahnya setiap kali mereka berjumpa. Hyung Shik benci dikendalikan dan diatur, maka ia pergi meninggalkan Ji Yeon dan tak mencoba menjalin hubungan apapun dengannya.

“Aku tidak butuh benda itu. Aku tidur di mobil.”

“Walau kau memilih tidur di mobil, kau pasti akan tetap membiarkan jendelanya terbuka ‘kan?”Ji Yeon bersikeras.

Hyung Shik mendengus, betapa dentuman di kepala seolah memintanya untuk memaki ketulusan Ji Yeon. Tapi ia urung, nampaknya membuat gadis itu menangis oleh perkataan lembut dan tajam lebih baik ketimbang bentakan dan umpatan.“Mengapa kau melakukan ini, eoh?”

Ji Yeon terpaku, “M-maksudmu?”

“Selama bertahun-tahun aku akan mengatakan kekesalan ini padamu. Kau benar-benar menyebalkan.”

Ji Yeon kehilangan cara untuk menghirup napas saat kalimat itu terlontar padanya. Kaki yang menopangnya seakan menjelma menjadi puding yang mudah lumat, sesuatu yang tajam mendesak masuk melewati rusuk dan menghujam dadanya. Hyung Shik lima belas tahun lalu tidak pernah menyebut dirinya menyebalkan. Hyung Shik jauh berubah.

“Terkejut nona? Bukankah aku sudah bersikap terang-terangan? Tapi kau sungguh-sungguh bermuka tebal untuk terus membiarkan matamu terpaku padaku, dimanapun, kapanpun, membuatku risih dan kau semakin terlihat menyebalkan. Apa yang kau harapkan dariku?”

Apa yang kuharapkan darimu Hyung Shik?

Ji Yeon juga merasakan hal yang sama, ia risih terhadap diri sendiri. Ia Terus-menerus memperhatikan Hyung Shik selagi berkhayal memiliki mesin waktu, mengajak pemuda itu kabur ke masa lalu, dan hidup bahagia di zaman itu. Mereka tidak perlu tumbuh dewasa, memikirkan kebahagiaan orang lain, mengenal minuman keras, mengerjakan tugas-tugas kampus, menjaga nama baik dan hal omong kosong lainnya yang hanya membuat keduanya depresi. Mereka hanya perlu bermain dan bermain, tertawa, memekik, berlarian di antara dedaunan kering yang gugur dari rantingnya.

Bisakah, Hyung Shik?

“Apa kau masih suka musim gugur?” Ji Yeon bergumam dan balik bertanya.

Hyung Shik tidak bergeming, tak berusaha memberi tahu bahwa ia tak punya jawaban. Ia ingin pergi dari sana, mendecih lalu masuk ke mobil yang punya suhu jauh lebih bersahabat tetapi sepasang kakinya membantah. Ia hanya mematung di hadapan gadis itu sambil merasakan sakit bukan main mendera kepalanya.

“Aku yakin jawabannya ‘tidak lagi’. Kau lebih menggemari musim panas, saat kau bersama teman-temanmu pergi ka pantai, berpesta semalam suntuk, dan meniduri gadis-gadis berbikini. Kau benci musim gugur ketika semua orang mengenakan syal dan mantel, angin mengembus lirih, dan suhunya membuatmu ingin bergelung seharian di tempat tidur.”

Itu benar. Hyung Shik benci musim gugur. Musim yang lemah.

“Tapi kau mungkin hanya melupakannya, Hyung Shik. Kau lupa bagaimana kau sangat meyukai musim gugur dulu. Kau akan meneriaki namaku dari perkarangan untuk bermain dan mengumpulkan daun mapple dan menyusunnya berdasarkan warna mereka. Kau hanya sedang lupa bagaimana dulu kau mencintai dedaunan kering itu. Lalu sekarang kau membencinya…”

Lim Ji Yeon juga terlihat rapuh dan mudah terkoyak seperti dedaunan kering musim gugur…

Mungkin Hyung Shik hanya sedang lupa atau ia tidak menyadarinya lantaran dedaunan kering itu selama ini tersembunyi di bawah sol sepatunya.

“Aku tidak akan bertingkah menyebalkan lagi.” Ucap Ji Yeon lirih, “Aku janji.”

.

.

Hyung Shik tersadar seiring dengan terik mentari yang menembus kaca jendela mobil dan cahaya yang bernaung di wajah kusamnya. Seluruh tubuhnya pegal, walau kepalanya tak sepusing semalam, rasa ngilunya masih begitu menyakitkan. Ia mengerjapkankan mata berulang kali, mengambil beberapa detik untuk menggali secara paksa memorinya tentang kejadian semalam. Ia nyaris tak ingat apapun tapi ia tak akan pernah lupa air mata yang yang bergulir di pipi sahabat semasa kecilnya. Gadis itu bilang ia tidak akan bertindak menyebalkan lagi.

Hyun Shik mendesah, mendaratkan tinjuan-tinjuan pelan ke jidatnya. ‘Ugh, aku membuat gadis naif itu menangis. Mungkin semalam aku sudah memakinya dan kurasa ia pantas mendapatkannya.’

Perlahan pemuda jangkung itu keluar dari mobilnya. Sambil memegang kepalanya dengan sebelah tangan, ia berjalan terseok menuju pintu depan rumahnya. Netranya sempat melirik kesekitarnya. Dan tak sengaja, tatapannya bertemu pandang dengan gadis naif itu. Keduanya hanya diam lalu gadis itu berjalan cepat menuju gerbang rumahnya. Hyung Sik menghela nafas sejenak kemudian kembali merajut langkahnya. Melihat wajah sembab gadis itu membuatnya kembali memikirkan kejadian semalam. ‘Apakah aku keterlaluan?’

Lagi-lagi, pemuda itu menghela nafasnya. Ia melangkahkan kaki menuju kamarnya lalu bergegas membersihkan diri. Pagi ini dia ada jam kuliah jadi ia harus segera bersiap.Tak butuh waktu lama untuk bersiap. Setelah selesai, Hyung Shik bergegas menuruni tangga rumahnya. Pemuda itu terus berjalan tanpa ada niatan sedikit pun untuk sarapan bersama kakak perempuannya yang tengah melahap nasi goreng di meja makan. Tak di hiraukannya panggilan sang kakak ia terus melenggang menuju halaman rumahnya. Kemudian dengan segera ia masuk ke mobil Aston Martin berwarna merah miliknya dan bergegas melajukannya dengan kecepatan tinggi.

Hyung Shik tidak peduli dengan keadaan jalan yang di lewatinya. Padahal jalan utama yang ia lewati cukup ramai di pagi hari. Tapi, pemuda itu benar-benar tidak mempedulikannya. Ia mengemudikan mobilnya dengan kencang seolah-olah jalanan itu hanya miliknya saja. Beberapa kali ia hampir menabrak dan ditabrak. Sumpah serapah dan makian pengemudi lain banyak yang di layangkan untuknya. Namun seakan tuli, dia mengabaikan semua itu. Dalam waktu kurang dari 20 menit, ia telah sampai di kampusnya. Untunglah Hyung Sik sampai di kampusnya dalam keadaan utuh.

Segera ia keluar dari mobil mewahnya itu. Seperti biasa, ia berjalan dengan angkuhnya melewati lorong utama.Hingga tak sengaja dia menabrak seorang mahasiswi. Gadis itu berjongkok untuk membereskan buku yang berserakan. Sedangkan Hyung Shik hanya menatapnya dengan tatapan dingin. Kemudian ia berlalu begitu saja tanpa ada niatan untuk membantu atau sekedar meminta maaf. Hatinya benar-benar terlampau dingin dan sulit untuk di jangkau.

Mahasiswi tadi pun kembali berdiri setelah buku-bukunya sudah terengkuh olehnya lagi. Ia membalik tubuhnya. Netranya menatap punggung Hyung Shik yang menjauh dengan tatapan redup. Lantas ia kembali memutar tubuhnya untuk melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan. Dia berjalan sembari menunduk. Di belakangnya, ada seorang pria yang menatap gadis itu sendu.

.

.

Dedaunan kering berguguran di sekitar taman belakang kampus. Angin berhembus sepoi-sepoi. Membuat siapapun yang melewatinya merasa tenang dan nyaman. Banyakmahasiswa dan mahasiswi yang memilih untuk berdiam diri di tempat itu. Entah hanya duduk saja sambil mendengarkan musik atau mengerjakan tugas bersama teman. Ada pula yang melahap bekalnya.

Seperti gadis berkuncir kuda tengah menyantap makan siangnya di salah satu bangku yang ada. Dia melahap bekalnya sembari mendengarkan musik dari MP3nya. Ia hanya sendirian tanpa ada yang menemani hingga akhirnya ada seseorang yang mendekatinya. Orang itu menyodorkan sekotak susu cokelat ke arah gadis itu. Otomatis, gadis itu mendongak. Dia melepas headsetnya.

“Kang Minhyuk-ssi?” tanya gadis yang masih terkejut itu.

Annyeong, Ji Yeon-ah!” sapa pemuda bermata sipit itu seraya tersenyum manis.“Bolehkah aku duduk disini?” lanjutnya.

Ji Yeon terdiam beberapa saat lalu mengangguk pelan. Dan Minhyuk segera mendudukan dirinya di sebelah gadis itu. Pria itu kembali menyodorkan sekotak susu cokelat yang ia bawa tadi. Lantas Ji Yeon menerimanya sembari tersenyum tipis. Minhyuk membalas senyum gadis itu dengan senyum yang amat manis.

“Terima kasih, Minhyuk-ssi.”Ujar Ji Yeon pelan.

“Sama-sama, Ji Yeon-ah.” balas Minhyuk seraya tersenyum lebar hingga membuat eyesmile miliknya tampak.

Karena hal itu, Ji Yeon terpaku. Dia merasa terpesona oleh senyuman manis itu.‘Whoa, senyumanya begitu manis dan eyesmilenya sangat menarik. Dia imut juga tampan.’ Pikirnya. Tapi, buru-buru ia menghilangkan pikiran-pikirannya tentang Minhyuk. Beberapa kali ia menggelengkan kepala untuk menyadarkan dirinya sendiri. Dia tidak boleh suka dengan pria itu. Hanya Hyung Shik yang ia suka.

“Ah ya, jangan panggil aku dengan embel-embel ‘ssi’. Cukup panggil Minhyuk atau Minhyuk-ah. Kau kan sahabatnya Hyung Shik sejak kecil dan Hyung Shik adalah sahabatku, berarti kau juga sahabatku, Ji.” Sambung pemuda sipit itu.

Ji Yeon tersenyum getir.‘Sahabat? Masihkah dia menganggapku seperti itu?’ tanyanya dalam hati.

Araseo, Minhyuk-ah.”

“Nah, begitu lebih baik. Oh ya, kau sudah selesai makan? Kalau sudah, aku ingin mengajakmu ke toko buku. Aku butuh beberapa buku untuk refrensi tugas dari Mr. Taylor. Kau mau menemaniku ‘kan?”

Gadis itu terdiam sejenak, ia memikirkan ajakkan Minhyuk. Kalau di pikir-pikir, tidak ada salahnya juga menerima tawarannya. Lagipula, dia juga ingin mencari novel keluaran terbaru dari penulis favoritnya. “Baiklah. Kita pergi setelah aku mengembalikan buku ke perpustakaan, oke? Kau tunggu di parkiran saja.”Jawab gadis itu.

Minhyuk tersenyum, “Cal! Aku tunggu di parkiran ya? Sampai nanti. Gomawo, Ji Yeon-ah!” ujarnya lantas ia memeluk Ji Yeon singkat dan juga mengecup pipi gadis itu sekilas.

Lalu ia bergegas meninggalkan tempat itu sembari sesekali menoleh ke arah gadis itu. Ia meninggalkan gadis berkuncir kuda yang masih tertegun di tempatnya karena terkejut. Sementara Minhyuk malah cekikikan. Pipi Ji Yeon pun bersemu merah karenanya. Dia malu karena di peluk seorang pria di depan umum. Ia melihat kesekeliling.

Untung tidak ada yang memperhatikannya. Lantas dia segera membereskan barang-barangnya sebelum akhirnya dia pergi ke perpustakaan yang jaraknya tak jauh dari sini. Kali ini dia benar-benar malu. Rasanya dia ingin segera bersembunyi di balik selimut hangatnya. Dan tanpa di sadarinya, ada seorang pria yang melihat adegan pelukan singkat tadi. Pria itu mengepalkan tangannya.

.

.

Kepulan asap dari sebatang cerutu membumbung tinggi di udara. Berbaur dengan aroma esspreso hangat yang menyengat. Angin segar yang berhembus kencang pun membawa aroma-aroma lain dan menebarkannya di sekitar tempat ini. Bersamaan dengan hembusan itu, aroma tembakau dan esspreso juga ikut terseret angin dan mengendap entah dimana.

Suasana hening yang tercipta di antara kedua pemuda itu membuat hawa di sekitar semakin dingin. Salah seorang di antaranya memilih untuk mengeratkan mantel hitamnya serta syal abu-abu yang di pakainya. Kemudian ia menyerutup esspresonya agar tubuhnya menjadi lebih hangat. Sementara pria lainnya masih asyik menghisap nikotin dan sesekali menegak wine –yang sebenarnya ia benci.

Netra pemuda bermantel hitam itu terus memperhatikan gerak-gerik pria yang duduk di hadapannya dengan seksama. Beberapa kali ia menghela nafas berat ketika orang itu menegak wine langsung dari botolnya secara brutal. Sudah berulang kali ia mencoba untuk menghentikannya namun si keras kepala itu tetap saja melakukannya.

“Hyung Shik-ah, sampai kapan kau akan begini? Jangan rusak dirimu dengan minuman keras dan cerutu itu. Masa depanmu masih panjang, dude.”

“Apa pedulimu, hah? Memang siapa kau? Seenaknya mengaturku. Tidak, tidak ada yang boleh mengaturku. Termasuk dirimu, Shin Hye sialan, dan gadis musim gugur itu. Aku benci di atur, Minhyuk-ah. Kau tahu itu dengan baik bukan? Jadi, jangan mengaturku.” Ketus Hyung Shik.

Lagi-lagi Minhyuk menghela napasnya, “Aku tidak mengaturmu! Aku hanya mengingatkanmu. Ini demi kebaikanmu, Hyung Shik-ah. Dan soal gadis musim gugur itu, apa kau yakin dengan keputusanmu untuk membiarkannya pergi? Kau tidak akan menyesalinya ‘kan?” tanya pemuda sipit itu dengan nada serius.

Hyung Shik langsung menatap sahabatnya lekat-lekat. Lantas ia tersenyum sinis, “Waeyo? Kau ingin mengambilnya? Bagaimana jika aku tak membiarkannya lepas begitu saja? Sepertinya seru jika aku sedikit bermain-main dengannya.”Jawab pemuda jangkung itu santai tapi sangat terlihat jika dia ingin memancing amarah Minhyuk.

Tanpa sadar, Minhyuk mengepalkan kedua tangannya hingga buku jarinya memutih. “Apa maksudmu, Hyung Shik-ah? Kau ingin menyakitinya?” tanyanya sembari menahan emosi yang bergejolak.

“Mungkin aku akan mengajaknya kencan lalu mabuk-mabukkan di klub malam dan terakhir, aku akan menidurinya. Bagaimana menurutmu? Bukankah itu seru? Apa kau ingin ikut, Minhyuk-ah? Haha.”Ujar Hyung Shik sembari menyeriangi.

BUG

“Jangan macam-macam padanya, Park! Atau aku akan membunuhmu nanti. Ingatlah, kau pasti akan menyesalinya ketika dia berpaling pada pria lain. Kau benar-benar pria bodoh! Tidak seharusnya kau mengabaikan kesempatan yang ia beri. Dasar brengsek! Cih! Awas kau! Jangan dekati Ji Yeon. Aku akan membuatnya berpaling darimu.”Sentak Minhyuk setelah memberi sahabatnya bogeman mentah. Kemudian ia bergegas meninggalkan tempat itu.

Tsk! Lihat saja nanti, Kang. Kau tidak akan berhasil! Selamanya dia akan menungguku berbalik padanya. Cih! Dasar keparat!” maki Hyung Shik seraya mengusap darah yang keluar dari sudut bibirnya. Lalu ia berjalan gontai menuju rumahnya yang tak jauh dari tempat ini.

Sampai di depan rumahnya, ia malah bertemu dengan gadis yang tadi membuatnya bertengkar dengan sahabat baiknya. Dalam kondisi mabuk berat, ia berjalan mendekati gadis itu. Lantas berhenti tepat di depan gadis yang kini menatapnya bingung. Perlahan, pemuda jangkung itu mendekatkan dirinya pada gadis itu. Semakin Hyung Shik mendekat, semakin gadis itu menjauh.

GREP

Tiba-tiba saja Hyung Shik memeluk tubuh gadis manis itu. Lalu, ia mengucup keningnya.Dan kecupan itu terus turun hingga ke bibir. Barulah pemuda itu menjauhkan dirinya. Ia tersenyum remeh . “Apa kau menyukainya, Ji Yeon? Ingin lebih, huh?” tanyanya datar.

“Apa maksudmu, Hyung Sik-ah?”

“Bukankah kau menyukaiku? Sebenarnya aku menyukai dan ingin menjadikanmu pacaraku. Tapi, aku punya satu syarat.”

“Syarat? Syarat apa? Hei, apakah kau mabuk?”

“Aku tidak mabuk. Aku masih sadar. Hm, habiskan malam ini denganku. Aku akan membuatmu melayang. Ayo!” Lantas ia menarik tangan Ji Yeon namun gadis itu segera menepisnya. Ia menatap pemuda itu tak percaya. Matanya mulai berkaca-kaca. Dia tidak percaya bahwa pujaan hatinya akan meminta hal seperti itu.

“Kenapa? Kau juga ingin ‘kan? Ayolah! Kita…”

PLAK

Hyung Shik menatap gadis itu dengan tajam. Ia tersulut emosi. Kemudian ia membalas tamparan gadis itu. Ji Yeon menangis karena perlakukan kasar pemuda itu telah melukai hatinya. Dia tak peduli akan perih di pipinya namun luka di hatinya kini semakin dalam. Hyung Shik hanya tertawa remeh. Dia menarik dagu Ji Yeon agar gadis itu menatapnya.

“Gadis jalang sepertimu harusnya tahu diri. Aku sudah berbaik hati padamu. Tapi apa? Kau malah menamparku. Dasar gadis sialan!” makinya.

Lalu ia melepaskan cengkramannya pada dagu gadis itu. Setelahnya, Hyung Shik segera memasuki rumahnya. Meninggalkan Ji Yeon yang menangis pilu di tengah jalan. Dari jauh, ada yang melihat semua kejadian itu. Tak banyak membuang waktu, dia berjalan mendekati Ji Yeon lantas ia menarik gadis itu ke dalam dekapannya.

Ji Yeon menumpahkan seluruh air matanya ke kaos yang di pakai pemuda itu. Dia yakin orang itu tidak akan memakinya hanya karena membuat basah kaosnya. Ya, gadis itu tahu siapa yang kini tengah memeluknya. Dia cukup pandai untuk mengenali bau parfum mint pemuda bermata sipit itu. Siapa lagi jika bukan Kang Minhyuk.

Pemuda itu mengertakkan giginya. Dia sangat marah kepada sahabat baiknya itu. Namun dia berusaha meredam emosinya. Sekarang yang terpenting adalah menenangkan gadis pujaan hatinya yang baru saja di sakiti oleh sahabatnya sendiri. Minhyuk bersumpah akan membuat Hyung Shik menyesal karena telah membuat gadis yang di cintainya terluka.

.

.

Hyung Shik tak ingat bagaimana pekan-pekan berlalu tanpa meninggalkan kesan yang berarti di ingatannya. Pagi itu ia tak lagi terusik oleh teriknya matahari atau tetangga yang sibuk meneriaki anak-anaknya untuk menyirami bunga. Ia tak berani meyakini bahwa secara perlahan ia kehilangan hangatnya pagi hari dan menduga bahwa musim panas telah beranjak pergi. Ketika ia menyaksikan satu-persatu dedaunan keemasan gugur dari rantinganya, ia mulai menyadari sang waktubergulir terlalu cepat dan musim yang paling tak disukainya telah terbentang di depan pintu, musim gugur.

Hyung Shik melewati aktivitas membosankan yang sama setiap hari. Pulang setelah puas minum-minum, mendengarkan kakak perempuan yang memekik berusaha membangunkannya, membasuh tubuh, sarapan, menuju Aston Martin merahnya selagi melewati perkarangan depan dan menyadari bahwa satu-satunya yang berubah adalah Lim Ji Yeon tak lagi menantikannya melalui jendela kamarnya.

Itu bagus. Lim Ji Yeon mungkin sedang menikmati awal musim gugurnya dengan cara yang berbeda. Dengan jatuh cinta pada orang lain, mungkin. Entahlah, Hyung Shik tak suka memikirkan Ji Yeon terlalu keras. Lantaran Hyung Shik berada dalam kondisi yang membingungkan. Perasaan benci pada musim gugur sama besarnya dengan ia membenci Lim Je Yeon. Musim gugur dan Lim Ji Yeon begitu memuakkan tanpa suatu alasan yang kritis. Hyung Shik rasa satu-satunya alasan sepele yang membuatnya muak adalah, keduanya sama-sama menjemukan.

.

.

Sepuluh menit sebelum mata kuliah selanjutnya dimulai Hyung Shik pergi ke area belakang kampus, duduk di salah satu bangku panjang lalu menikmati kopi panasnya. Sesekali ia melirik ke arah barat dimana pohon Chesnut tua senantiasa menggugurkan dedaunan kering keemasannya saat musim gugur. Biasanya gadis kutu buku itu duduk seorang diri di sana, di bawah naungan Chesnut tua sembari membaca buku atau novel super tebal yang terlihat sama memuakkan dengan dirinya.Tetapi hari itu Hyung Shik tak menemukan gadis itu duduk sendirian lagi. Ia bersama orang lain, tertawa bersama, terlihat bahagia.

Ternyata Kang Minhyuk tak main-main dengan janjinya, detik itu Hyung Shik menjadi saksi mata bahwa sahabatnya telah membuktikan ia akan membahagiakan Lim Ji Yeon, membuatnya tertawa, membuatnya jadi jauh lebih cantik dengan senyum yang mengembang dan rona pipi yang manis merekah.

Hyung Shik tercenung, apa ia barusan memikirkan bahwa Lim Ji Yeon terlihat cantik?

Ji Yeon jadi jauh lebih cantik dengan senyum yang mengembang dan rona pipi yang manis merekah.

Ia mengumpat dalam hati, merutuki dirinya yang benar-benar membingungkan. Hyung Shik membenci Ji Yeon, di lain sisi ia tak menginginkan gadis itu tertawa karena orang lain. Tapi Ji Yeon tertawa untuk Minhyuk dan menangis untuk Hyung Shik, maka pemuda itu berusaha meyakinkan diri bahwa Ji Yeon tidak bersungguh-sungguh mencintai Minhyuk lantaran gadis itu tidak pernah menangis untuk Minhyuk melainkan untuk Hyung Shik.

Keesokan harinya Hyung Shik tidak dapat melepaskan pandangannya dari Ji Yeon, memperhatikan serta memandangi tawanya yang meneduhkan. Minhyuk tak pernah pergi dari sisinya, tapi itu tak masalah, Hyung Shik selalu menanamkan gagasan bahwa Ji Yeon tergila-gila pada dirinya selama 15 tahun dan Minhyuk datang ke dalam hidup gadis itu kurang lebih dua setengah pekan yang lalu. Ji Yeon hanya menyukai Minhyuk tapi tidak mencintainya.

Satu pekan setelahnya, Hyung Shik nyaris kehilangan kepercayaan diri. Lim Ji Yeon tak lagi seperti gadis menyebalkan yang menguntit dan memperhatikan dari kejauhan, ia tidak lagi peduli akan kepulangan Hyung Shik ke rumah dan terabaikan di depan pintu, ia tidak lagi duduk di kusen jendela yang tak khawatir terjengkah jatuh demi keingintahuannya perihal apa yang tengah Hyung Shik kerjakan di Minggu pagi.

Hyung Shik tidak ingin repot-repot memikirkan ini, namun pemikiran itu selalu terlintas di benaknya menjelang ia jatuh tertidur nyaris di setiap malam dan memaksa ia memandangi rumah Ji Yeon melalui jendela. Siluet gadis itu masih nampak mondar-mandir di dalam kamarnya, Hyung Shik tebak ia sedang menghubungi seseorang. Pukul 11 malam, dan orang penting seperti apa yang membuat gadis kutu buku rela menghabiskan waktu untuk bertelponan selama berjam-jam?

Lim Ji Yeon berubah.

.

.

Hyung Shik sudah terlalu lama diam hingga ia kehilangan banyak hal termasuk rasa bencinya terhadap musim gugur dan Lim Ji Yeon. Perasaan muak itu luruh perlahan tanpa ia rencanakan. Satu-persatu helai daun gugur dan tanpa diminta mereka mengingatkan Hyung Shik akan masa kecilnya bersama Ji Yeon. Bermain sepanjang hari dengan dedaunan kering, bertukar syal, menertawai tetangga baru yang nampak linglung lantaran dedaunan yang menumpuk di halaman rumah, dan jika Hyung Shik mengatakan kenangan menyenangkan lainnya bersama Ji Yeon dulu, maka butuh waktu sepekan penuh untuk menyebutkannya satu-persatu.

Hyung Shik tidak dapat menahan diri lagi, karena pelan dirasakannya ia tidak mampu terlelap dengan nyenyak, ia sering menonton film seru namun setelahnya merasa kosong dan tak punya dunia yang lebih menyenangkan untuk dijalani, minum-minum tak banyak membantu. Hari-hari menjenuhkan melandanya semenjak Minhyuk menggenggam tangan Ji Yeon dan merangkulnya di bawah naungan pohon Chesnut seakan mereka tak akan terpisahkan oleh apapun juga. Termasuk Hyung Shik.

Sore itu logika Hyung Shik berkata ia tidak perlu mengusik kehidupan gadis memuakkan itu yang telahterjalin manis dengan Minhyuk, sahabatnya yang meninggalkan ia demi seorang gadis perpustakaan seperti ji Yeon.Sementara kata hatinya berseru dan memohon untuk segera menemui Ji Yeon, ia mesti bicara banyak tanpa tahu apa yang harus ia sampaikan. Ia hanya ingin bicara.

Hyung Shik tak punya pilihan selain mengikuti kata hatinya. Sore itu ia pergi ke area kampus, menuju ke halaman belakang dimana pepohonan dan bangku-bangku panjang adalah satu dari sekian banyak tempat kesukaan Ji Yeon. Sialnya tidak ada siapa pun di sana, tidak ada gadis berkuncir yang membaca novel atau merenung memandangi langit senja.

Hyung Shik seorang diri.

Ia mendudukkan diri di bangku yang biasa ditempati Ji Yeon. Untuk pertama kalinya Hyung Shik memperhatikan pemandangan di sana dari perspektif Ji Yeon selama ini. Dari sana, ia bisa melihat apapun, jalanan setapak kampus, ruang perkuliahan yang bertingkat-tingkat, danlapangan basket. Hyung Shik menyadari, Ji Yeon tak sekedar menghabiskan waktu untuk membaca sepanjang hari di tempat ini melainkan juga memperhatikan banyak hal di sekitarnya.

Ji Yeon gadis yang cerdas dan mungkin ia menyadari jatuh cinta selama bertahun-tahun pada Hyung Shik adalah keputusan yang buruk. Hyung Shik adalah pemuda yang tak cukup cerdas, sukar baginya untuk menyadari bahwa sesungguhnya Ji Yeon begitu berharga.

Hyung Shik tiba-tiba merasa lelah dan kecewa karena terabaikan. Ia tersenyum mengingat sebelumnya ia telah memperlakukan Ji Yeon jauh lebih buruk dari sekedar mengabaikan, ia mempermalukan Ji yeon dan memandang rendah harga dirinya. Rasa terabaikan yang sekarang merundungnya bahkan belum cukup setimpal.

Ia memejamkan mata, merasakan angin musim gugur yang menghembus keras dan dingin, gemerisik dedaunan yang jatuh selalu membuatnya teringat masa kecil bahagianya lagi dan lagi. Dan kini ia telah kehilangan segalanya, masa lalu yang menyenangkan tidak akan berlanjut di masa depan.

“Hyung Shik…”

Hyung Shik terlalu banyak memikirkan Ji Yeon akhir-akhir ini, hingga ia mendengar suara itu melantunkan namanya.

“Hei, Hyung Shik?”

Ketika pemuda itu perlahan membuka matanya, bayangan gelap seseorang dengan dilatari langit senja. “Ji Yeon? Itu kau?”

Ji Yeon mengangguk mengiyakan sembari mempererat buku-buku yang melorot dari pelukannya. “Ya. Apa yang kau lakukan di sini?”

Hyung Shik mengernyit, gadis itu bicara lebih kepada sekedar basa-basi ketimbang ingin tahu. Ji Yeon melangkah mendekat tanpa rasa ragu kemudian terlihat memindai daerah sekitar dengan matanya. Ia tengah mencari sesuatu. “Aku hanya sedang bosan di rumah.”

“Oh…” Sahut Ji Yeon seadanya kemudian merunduk di permukaan tanah, “Maaf mengganggu. Aku hanya ingin menemukan pita kecil pemberian Minhyuk yang mungkin terjatuh di sini.”

Napas Hyung Shik seakan tercekat dan terperangkap di tenggorokannya. Ji Yeon bahkan menyebut nama itu di hadapannya tanpa ragu. Kemungkinan besar Hyung Shik telah kehilangan kesempatan untuk memberitahukan kegelisahan yang merundungnya akhir-akhir ini. Hyung Shik kemudian tak henti-hentinya memandangi Ji Yeon dan menyadari bahwa gadis itu menggerai rambutnya. “Kau tidak menguncir rambutmu?”

Ji Yeon nyaris tak menggubris pertanyaan Hyung Shik, ia sibuk meraba-raba permukaan rumput dan sesekali mengangkat bebatuan kecil dan melemparkannya kembali ke tanah. “Ya, Minhyuk bilang aku terlihat lebih cantik jika rambutku digerai.”Jawabnya tanpa menghiraukan tatapan pedih Hyung Shik.

“Tapi menurutku kau cantik di setiap keadaan.”

Ji Yeon berhenti mencari, Hyung Shik terkejut akan perkataannya sendiri. Semburat oranye turun perlahan di sisi wajah Hyung Shik dan Ji Yeon ketika keduanya saling bertukar pandang dan lagi-lagi Hyung Shik harus menerima kenyataan bahwa manik Ji Yeona tak lagi segelisah dulu, rona merah dan malu-malu tak tergambar lagi di wajahnya.

Lim Ji Yeon melupakannya.

“Kurasa pita itu tidak hilang di sini.” Uajr Ji Yeon lirih kemudian bergegas bangkit dan hendak pergi meninggalkan Hyung Shik beserta kelinglungan yang masih melandanya.

Hyung Shik segera tersadar bahwa senja itu adalah kesempatan terakhir baginya untuk meyakinkan Ji Yeon. Ia mencengkram lengan gadis itu dan menariknya secara kasar, “Ji Yeon… Kurasa perkataanmu benar.”

Ji yeon tidak mencoba berontak hanya saja manik kelamnya bergerak gelisah. Ia jelas tidak menginginkan situasi itu, ia takut kekasihnya ada di sana dan menyaksikan Hyung Shik tengah mencengkram lengannya. “Perkataanku yang mana? Lepaskan cengkramanmu dan kubiarkan kau bicara.”

Hyung Shik tidak mengindahkan perintah Ji Yeon, cengkramannya kian erat, mungkin seluruh peredaran darah di sekitar lengan Ji yeon berhenti seketika karenanya. “Tentang perasaanku. Kau pernah bilang mungkin aku sedang lupa bahwa aku mencintaimu, mungkin aku lupa betapa aku meyukai musim gugur dulu.”

Hyung Shik menangkap dengan jelas raut tertegun yang tak ia harapkan dari Ji Yeon. Gadis itu berusahe keras mengatur emosinya dan mencoba tenang dengan menghirup napas sedalam yang ia mampu, “Tapi Hyung Shik… kau terlalu terlambat untuk menyadarinya sekarang. Lupakan saja apa yang pernah kukatakan padamu dan kembalilah seperti dulu, saat kau merasa gembira dengan kehidupan malammu.”

“Tidak, tidak. Kau tidak mengerti bagaimana rasanya. Aku minum-minum hingga malam, ketika pulang ke rumah tak ada satu pun yang menaruh perhatian padaku. Itu menyakitkan. Aku terus melakukannya dan menyadari aku hanya bertambah gelisah karena kesepian. Sekarang aku menyadari bahwa aku membutuhkanmu, Ji Yeon. Kumohon, berikan aku kesempatan.” Hyung Shik memohon dan kehilangan harga diri yang ia jaga mati-matian. Ia mengucapkan kata-kata memuakkan yang tak pernah ia rencanakan sebelumnya. Ia tak peduli, yang diinginkannya sekarang adalah Ji yeon merasa tersentuh dan kembali menerimanya. Maka mereka akan melalui musim gugur dengan tawa gembira dan kasih sayang seperti 15 tahun lalu.

“Hyung Shik, dengarkan ini baik-baik.” Sementara tangan kirinya dicengkram erat, tangan yang lainnya bergerak untuk menyentuh wajah Hyung Shik yang memanas. Ji Yeon sudah lama sekali menantikan moment ini, ketika Hyung Shik datang padanya dan memilih Ji Yeon menjadi gadis yang terbalaskan cintanya. Namun sekarang bukan waktu yang tepat, ketika Ji Yeon menyadari bahwa ada pria lainnya yang lebih berhak mendapatkan cintanya. “Aku sudah jatuh cinta pada Minhyuk. Walau aku masih menyayangimu, itu tidak berarti aku mengharapkan hal yang sama seperti dulu. Waktu itu kau sedang mabuk saat aku mengatakan bahwa aku mungkin seperti dedaunan musim gugur di bawah sepatumu. Apa kau memahaminya?”

Hyung Shik berusaha menggali ingatannya secara paksa naun tak menemukan apapun untuk diingat. Ia payah dan rasanya ia benar-benar kehilangan harapan untuk mendapatkan Ji Yeon kembali.

“Kau tak ingat bukan? Sejak dulu kau tak pernah menganggapku berharga Hyung Shik. Maka biarkan aku berada di sisi orang lain yang menyayangiku dan membuat diriku merasa lebih berharga.” Ketika Ji Yeon menyentak keras lengannya, Hyung Shik tak memiliki kekuatan lagi untuk meraih tangan itu. Ji yeon melangkah mundur, untuk beberapa detik keduanya saling bertukar pandang dan Ji Yeon menyadari bahwa Hyung Shik 15 tahun lalu telah kembali.

Tapi Ji Yeon telah mencintai yang lainnya…

“Maafkan aku, Hyung Shik.” Ji Yeon mengucapkannya sembari tersenyum tipis, perasaannya pada Hyung Shik tak akan membuatnya menangis lagi, tidak akan membuatnya menunggu dan memohon. Maka ia pergi dari hadapan Hyung Shik yang termenung di bawah naungan pohon yang menjatuhkan dedaunan kering.

Punggung Ji Yeon semakin kecil dan jauh. Dari tempat Hyung Shik berdiri, ia bahkan mampu memandangi Minhyuk yang datang tak lama setelah ia dan Ji Yeon berpisah. Minhyuk merangkul gadis itu, menyadari mungkin sesuatu telah terjadi di antara kami berdua sebelumnya.

Hyung Shik membanting tubuhnya ke rangka kursi dan membiarkan rasa nyerinya mengalir hingga ke tulang-belulang. Ia memejamkan mata serta menengadahkan kepala memandangi ranting-ranting kosong yang kehilangan dedaunannya. Mungkin hatinya seperti ranting-ranting kesepian ini, kehilangan daun-daunyang layu dan jatuh ke tanah. Mungkin tanah itu Minhyuk. Dedaunan kering itu dilepaskan pergi oleh ranting yang bodoh kemudian tanah dengan senang hati menyambut kedatangan si daun kering. Hyung Shik tertawa, ia mulai merasa gila dengan menganalogikan hidupnya seperti musim gugur.

.

.

Derit sepatu yang bergesekkan dengan daun kering terdengar mengiringi langkah gontai orang itu. Tangan kirinya menggenggam sebuah daun ek kering sementara tangan kanannya ia gunakan untuk memegang batang cerutu. Sesekali di hisapnya lintingan tembakau itu. Banyak hal yang berkecamuk di pikirannya hingga berpengaruh pada penampilannya.

Lihat saja itu. Wajahnya begitu lusuh tidak seperti sebelum-sebelumnya. Bahunya pun tak sekokoh biasanya. Netranya yang selalu menyorot tajam kini menyiratkan kehampaan yang mendalam. Bibirnya yang biasa ranum tampak pucat dan membiru sekarang. Aliran kanal terbentuk di kedua belah pipinya. Menambah kesan kacau yang melekat padanya.

Ia kembali memikirkan perkataan demi perkataan dan perbuatan demi perbuatan yang dilakukannya di masa lampau. Tanpa sadar, dia kembali mengorek memori usang yang telah terlupakan olehnya. Dia ingat bagaimana dirinya begitu menyukai musim gugur, bagaimana dia tertawa bersama gadis itu dan bagaimana mereka mengucapkan janji suci di rumah Tuhan –walau hanya janji anak kecil.

Perlahan bibirnya kembali merekah hingga membentuk lengkungan ke atas ketika teringat kenangan indahnya. Namun sejurus kemudian lengkungan itu pudar. Dia teringat ketika ia mengabaikan gadis itu hingga akhirnya dia kehilangan gadis musim gugurnya. Helaan napas terdengar di jalanan yang amat sepi itu.

Pria itu mendongak lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan tak sengaja netranya menangkap suatu objek yang membuat hatinya kembali berdenyut. Pandangannya terpaku ke arah gadis musim gugurnya yang tengah tertawa bersama sahabat baiknya. Ia menyunggingkan senyum pilu. Hah, memang sudah terlalu terlambat baginya. Gadis itu telah berpaling ke arah lain.

Dia sadar. Semua ini memang salahnya. Tak seharusnya dia mengabaikan kesempatan yang telah gadis itu berikan padanya. Sekarang, mau tak mau ia harus menelan kenyataan pahit itu bulat-bulat. Mungkin ini karma untuknya. Tak mau menambah lukanya, ia memilih untuk melanjutkan langkahnya namun kembali terhenti ketika ia mendengar namanya di panggil.

“Hyung Shik!”

Pemuda itu menoleh dan mendapati sahabatnya yang tengah tersenyum lebar melambaikan tangan ke arahnya. Dengan terpaksa, ia membalas senyum pria itu. Dilihatnya ekspresi sang gadis yang tampak tak enak hati karena melihat dirinya.

“Kemari dan bergabunglah dengan kami! Di luar sangat dingin. Nanti kau bisa sakit, Hyung Shik-ah. Aku tak mau Shin Hye Noona marah-marah padaku. Keke.” Ujarnya seraya terkekeh geli.

“Tidak usah. Aku langsung pulang saja. Selamat bersenang-senang, Minhyuk-ah, Ji Yeon-ssi!” ucapnya dengan nada bahagia yang di buat-buat.

Tapi Minhyuk tak menyerah. Dia ingin sahabatnya bergabung dengannya dan Ji Yeon. Minhyuk ingin mengatakan tentang hubungannya dan Ji Yeon sekarang serta ia ingin meminta maaf pada Hyung Shik. Kemudian pemuda bermata sipit itu berlari menghampiri sang sahabat yang tengah berjalan di seberang jalan. Ia menahan lengan sahabatnya.

“Ayolah! Kumohon padamu, Hyung Shik-ah! Apa kau masih marah padaku? Jika iya, tolong maafkan aku! Ayolah, Park! Hanya sebentar. Sebentar lagi kita akan lulus dan kemungkinan untuk bertemu lagi juga tipis. Setelah lulus, aku akan melanjutkan studi S2-ku di Havard University dan Ji Yeon akan ikut denganku. Kami mungkin akan menikah di sana. Dia telah mendapatkan pekerjaan tetap di Amerika. Ia akan bekerja di kantor kedutaan, menjadi staf ahli. Kumohon!” pinta Minhyuk dengan tampang memelas. Hyung Shik menghela napasnya. Lantas ia mengangguk.

Tanpa basa-basi, Minhyuk langsung menariknya menyeberangi jalanan itu. Dia berjalan terlebih dahulu sambil bercerita dengan tingkahnya yang kekanakan. Sahabatnya hanya mengulum senyum melihat pemuda yang bertingkah seperti anak kecil itu. Ji Yeon pun tertawa melihat tingkah kekasihnya dan Hyung Shik melihat itu. Dia jadi ikut senang melihat tawa gadis itu.

Tapi siapa sangka, di jalanan yang sepi itu tiba-tiba muncul sebuah truk yang melaju dengan kecepatan tinggi. Hyung Shik yang menyadari hal itu, segera mendorong Minhyuk ke seberang jalan hingga kepala pemuda sipit itu membentur trotoar. Ji Yeon begitu terkejut dan segera menghampiri Minhyuk yang tengah merintih kesakitan.

BRAK

DEG

Seketika perhatian Minhyuk maupun Ji Yeon beralih pada jalanan. Mereka mendapati tubuh Hyung Shik yang tergeletak tak berdaya di tengah jalan dan supir truk yang menabraknya telah melarikan diri. Dengan tertatih-tatih, pemuda sipit itu menghampiri sahabat baiknya dan diikuti oleh Ji Yeon. Di dekapnya tubuh lemah sang sahabat. Minhyuk menangis dalam diam.

Hyung Shik mengerjapkan matanya beberapa kali. Pandangannya kini mulai buram. Tapi, ia masih bisa melihat Minhyuk dan Ji Yeon yang menangis di sampingnya. Sekarang Hyung Shik ingat betul. Ia ingat mengapa Ji Yeon mengatakan dirinya seperti dedaunan kering di bawah sepatu Hyung Shik. Hyung Shik tidak pernah menyadari dedaunan itu berada di bawah sepatunya.

Terinjak namun tetap menempel kemanapun ia pergi, namun ia terlalu sering berlari hingga dedaunan itu lelah mengikutinya. Kemudian ia terlepas dan menempel di tempat lain. Kini Hyung Shik tak punya kesempatan lain untuk menemukan dedaunan itu, ia kehilangan Ji Yeon untuk selamanya. Dan ia hanya dapat tersenyum pedih.

“Ji Yeon-ah, mianhae. Aku benar-benar menyesal sekarang. Tak seharusnya aku mengabaikan kesempatan yang telah kau beri. Selama ini aku tak menyadarinya, dedaunan itu selalu berada di bawah sepatuku dan mengikutiku kemana pun aku pergi hingga akhirnya daun itu terlepas karena lelah menungguku. Aku sungguh meminta maaf padamu.”

“Hyung Shik-ah…”

Uljima, Ji! Dan, Minhyuk-ah…. aku mohon padamu. Tolong jaga gadis musim gugurku! Kau tahu betul bagaimana karakteristik dari dedaunan kering yang telah gugur, walau tampak kuat dan matang, sebenarnya dia begitu rapuh dan mudah patah. Jadi, jaga dia baik-baik. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian.”

“Aku tahu. Tanpa kau suruh pun aku akan menjaganya. Terima kasih, Hyung Shik-ah. Terima kasih karena kau telah menjadi sahabat baikku selama ini. Aku sangat meyayangimu.”

Annyeong, Lim Ji Yeon, Kang Minhyuk! Saranghae…”

END

Annyeong, Karin, Readers!

Sebelumnya saya -Jinho48 dan Dazdev meminta maaf karena baru ngepos FFnya sekarang. Padahal yang pertama nge-take hehe

Ada banyak kendala dalam pengerjaan FF ini. Mulai penentuan plot yang berubah-ubah, lalu saya yang banyak kegiatan, dan Kak Dazdev yang sempet sakit juga. Jadi, tolong maafkan kami.

And, we hope you like this story! Don’t forget to RCL, oke?

Baiklah, sekian dan terima kasih. Maafkan atas typo yang bertebaran. Hehehe

*Salam sayang dari bias masing-masing^^

6 thoughts on “[Oneshoot] Autumn Event – Autumn Under Your Shoes

  1. Hula Gea , ka dazdev makasih bgttt yaaa .. Finally ff nya di publish juga . . karena aku pun udah nunggu” kapan tanggal mainnya ? Hahaha padahal sih ff colab ku sama ka hilda juga blm di publish” br ampe pengerjaan poster #kokcurhat? #abaikan .

    Hmm okay , ini ff keren bgtt bikin mewek di pagi hariii . . Daebak !! Musim gugur , musim favorit ku lhoo kalian jenius bgtt tau aja kesukaan karina hahaha

    Maaf br comment karena jujur bru buka IF karena aing sibuk bgtttt smpe gak smpt dan sbnr nya kuota abis hehehe maapkeunlah karina yang komen nya panjang lebar kayak benua yee #ehh #kaco

    Udah lah itu ajah pokok nya aku puas bgttt thanks ka dazdev and Gea yang udah buat ff super duper keren ini 🙂
    XOXO

    • Oke deh, Karin. Syukur deh kalo kamu suka sama FF ini hehe
      Karena komenmu panjang, aku balesnya pendek aja yah? wkwk 😀
      Di tunggu juga FF kamu wkwk 😀
      Udah deh, sekian dan terima kasih

  2. huah!
    aku semalam baca ini dan langsung ketiduran ge >.< ternyata panjang banget…
    kita terlalu terbawa suasana deh kayanya ge, hyung shiknya agak berasa kita siksa begitu. wkwk.
    selamat ya ge, akhirnya publish jugak hihi ^^
    fighting ge xoxo

Leave a reply to jinho48 Cancel reply